Alwin Suryono
Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Published : 14 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

PELESTARIAN ARSITEKTUR BANGUNAN KERTHA GOSA DI KLUNGKUNG - BALI Alwin Suryono
Research Report - Engineering Science Vol. 2 (2011)
Publisher : Universitas Katolik Parahyangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (18873.785 KB)

Abstract

Bale Kertha Gosa (pengadilan terbuka) dan Bale Kambang (tempat pencerahan,dikelilingi kolam), berdiri tahun 1700. Keunikan warisan arsitektur Bali ini karena bangunandikelilingi kolam dan plafonnya berupa lukisan-lukisan wayang khas daerah Klungkung. Saatini keduanya masih padat dikunjungi wisatawan domestik dan manca negara. Disayangkankondisinya kurang terawat dan ada kerusakan, mengganggu keindahan dan daya tahannya.Perbaikan telah dilakukan, namun agak mengganggu keutuhan/ keasliannya. Karena itu studipelestarian ini menjadi urgen untuk dilakukan.Studi pelestarian ini menggunakan paduan pendekatan arsitektural (mengungkapelemen-elemen arsitektur fungsi-bentuk-makna) dan pendekatan nilai (mengungkap NilainilaiBudaya). Tindakan pelestarian mengatasi masalah fisik elemen arsitektur di atas dantuntutan masa kini, sambil nilai-nilai budayanya dipertahankan.Aspek fungsi terkait kegunaan bangunan asal untuk pengadilan-pencerahan terbukadan kegunaan saat ini sebagai objek wisata. Perbaikan lantai, tiang-balok berukir, plafonlukisan, alas kolom perlu diupayakan mendekati aslinya, demi keutuhan-keaslian buktisejarah. Aspek bentuk mengacu pada bangunan (selubung, ruang dalam, struktur, ornamen)yang relatif masih utuh, dan ruang luarnya (kolam, patung-patung, pedestrian, ornamen) yangperlu dirawat lebih baik. Makna bangunan asal berupa pengadilan dan pencerahan terbukamelalui bentuk bangunan terbuka-posisi tinggi dan bangunan terbuka-dikelilingi kolam.Sebagai objek wisata, ke dua bangunan ini dapat dimaknai sebagai keterbukaan (strukturtiang), suasana tenang (di atas kolam) dan karya seni unik (lukisan plafon).Berdasar uraian elemen arsitektur dan nilai-nilai budaya, serta pemahaman penyebabpenurunan mutu bangunan maka cara pelestarian untuk Kertha Gosa ialah paduan Preservasi(didukung pengendalian lingkungan dan penguatan sistem bangunan), Adaptasi danRehabilitasi. Tindakan pelestarian di atas harus disertai dengan perawatan rutin, agar efektif.Kata Kunci: bentuk, fungsi, makna, preservasi, rehabilitasi
PELESTARIAN ARSITEKTUR MUSEUM SONOBUDOYO YOGYAKARTA Alwin Suryono
Research Report - Engineering Science Vol. 1 (2012)
Publisher : Universitas Katolik Parahyangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4904.793 KB)

Abstract

Adaptasi Museum Sonobudoyo terhadap tuntutan modernisasi dan lingkungannya yang berubahperlu dicermati pengaruhnya pada kebertahanan makna kultural Budaya Jawa. Studi Ini bertujuanmendeskripsikan fokus Pelestarian Arsitektur, Elemen-elemen Arsitektur Museum yang signifikan danImplementasi pelestariannya. Ketidak-pahaman akan pelestarian beresiko pada hilangnya MaknaKultural yang bernilai.Metode yang digunakan dalam studi ini ialah deskriptif-analitis dan interpretatif berdasarkan buktiempiris dengan menerapkan teori strukturalisme, relasi fungsi-bentuk-makna arsitektur dan teoripelestarian arsitektur, untuk mengungkap fokus pelestarian arsitektur, elemen-elemen signifikanobjek studi dan Implementasi pelestarian arsitektur.Fokus Pelestarian Arsitektur: Fungsi saat ini ialah kegiatan Pameran pada Bangunan utama,Pendopo dan halaman (semula Pendopo untuk menerima tamu/pertunjukan. Bentuk Bangunan(selubung, tata ruang, struktur bangunan), Ruang luar (tapak, lingkungan, arca), dekorasi, ornamen.Makna Kulturalnya ialah bangunan Jawa melalui aspek Bentuk yang serupa rumah tradisionalbangsawan Jawa.Elemen Arsitektur signifikan: Pendopo (terbuka, atap limasan, struktur rangka kayu), Banguan Utama(semi tertutup, tata ruang rumah Jawa), Gerbang Utama, pagar muka/ cepuri, gerbang samping,ornamen/dekorasi (kebenan, saton, wajikan, lung-lungan, padma, peksi garuda, kaligrafi dan wuwungatap).Implementasi pelestarian: Perawatan rutin pada semua bagian bangunan, Adaptasi pada Pendopo(area gamelan ditengah ruangan di bawah atap puncak, kaca pelindung dinetralkan), adaptasiBangunan Utama (optimalisasi penerangan alami), konsolidasi gerbang samping (penguatan).Kata kunci: Fungsi, bentuk, makna, signifikan, implementasi.
LAPORAN PENELITIAN FOKUS PELESTARIAN DAN MAKNA KULTURAL PELESTARIAN ARSITEKTUR BANGUNAN ARSITEKTUR INDIS DI KOTA BANDUNG DAN YOGYAKARTA (Kasus Aula Barat ITB. dan RS. Panti Rapih) Alwin Suryono
Research Report - Engineering Science Vol. 2 (2012)
Publisher : Universitas Katolik Parahyangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (7273.459 KB)

Abstract

Politik Etis (Balas Budi) ikut menginspirasi gaya arsitektur baru (arsitektur Indis) yangmengapresiasi budaya dan alam lokal. Arsitektur Indis merupakan sintesa unsur arsitekturtradisional Nusantara dengan arsitektur Eropa, dan saat ini masih banyak di kota-kota besarIndonesia, termasuk Kota Bandung dan Yogyakarta. Objek studi Arsitektur Indis Kota Bandungialah Aula Barat ITB. dan Kota Yogyakarta ialah bangunan lama RS. Panti Rapih.Isu sentral studi ini ialah Pelestarian bangunan Arsitektur Indis yang berfokus padaaspek Arsitektur (fungsi, bentuk) dan aspek Pelestarian (Makna Kultural) untuk masa kini danmasa datang. Pertanyaan penelitian “Apa Fokus Pelestarian?” terkait “Apa yang dilestarikan”,dan “Apa Makna Kultural?” terkait “Mengapa dilestarikan” dari objek studi ini.Fokus Pelestarian ialah aspek Fungsi (kegiatan) dan aspek Bentuk (bangunan, ruangluar). Makna Kultural dari aspek Fungsi terkait Nilai Sejarah dan Sosial, dari aspek Bentukterkait Nilai Arsitektural dan Kelangkaan.Fokus Pelestarian Aula Barat: fungsi semula Fakultas Teknik - kini Ruang Serba-gunaKampus; aspek bentuk ialah Bangunan (atap, struktur, selasar) dan Ruang luar. Bangunanlama RS. Panti Rapih: fungsi tetap sebagai tempat pengobatan masyarakat; aspek bentuk ialahBangunan (atap, struktur, selasar) dan ruang luar (taman).Makna Kultural Aula Barat: Sekolah Tinggi Teknik pertama Hindia Belanda, tempatkuliah presiden pertama Indonesia, tempat masyarakat kampus/umum. Bangunan lama RS.Panti Rapih: diresmikan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII tahun 1929, pasiennya termasukpejabat Belanda, kerabat Keraton, Jendral Sudirman, Sultan Hamengku Buwono VII; Tempatpengobatan/pemulihan kesehatan masyarakat Yogyakarta dan sekitarnyaKata kunci: Fungsi, bentuk, fokus pelestarian, makna kultural.
RELASI ARSITEKTUR DAN PELESTARIAN GEDUNG REKTORAT UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA DI BANDUNG Alwin Suryono
Research Report - Engineering Science Vol. 1 (2014)
Publisher : Universitas Katolik Parahyangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1290.582 KB)

Abstract

Studi ini bertujuan mengungkap relasi antara arsitektur dan pelestarian gedung Rektorat UPI., dengan tahapan: Mengungkap esensi pelestarian arsitektur; Mengungkap elemen-elemen arsitektur signifikan untuk dilestarikan; dan mendeskripsikan tindakan pelestarian, agar makna kulturalnya bertahan.Gedung Rektorat UPI karya CPW. Schoemacker dikenal sebagai Bangunan Cagar Budaya yang masih utuh dan asli, tapi sejarahnya berkata lain yaitu: sebagai tempat tinggal, markas pejuang kemerdekaan (rusak tertembak), kampus (bangunan diperbaiki-ditambah-dirubah). Perubahan bangunan tidak   terbaca, sehingga bukti sejarah tersamar.Esensi pelestarian arsitektur adalah pelestarian makna kultural melalui aspek bentuk dan fungsi. Makna kultural aspek bentuk berupa makna modern-kelokalan pada selubung bangunan, tema lengkung dan apresiasi lingkungan pada ruang dalam, tema lengkung dan orientasi lingkungan pada ruang luar.  Makna kultural aspek fungsi berupa makna sejarah (tempat tinggal, markas pejuang, tempat kuliah) dan makna kegunaan kantor Rektorat UPI.Elemen-elemen arsitektur signifikan. Selubung bangunan: bidang-bidang polos-lengkung, atap datar, jendela besar-teritis lebar. Ruang dalam: tatanan ruang lengkung 3 zona, zona tengah memanjang arah Utara-Selatan diapit oleh ruang zona kiri dan zona kanan, berlantai marmer.  Ruang luar berupa taman, terowongan, kolam ikan, pohon-pohon besar, pintu gerbang, tugu, dan pandangan ke arah Kota Bandung dan gunung Tangkuban Perahu.Selubung bangunan telah sedikit berubah dari asalnya, maka tindakan pelestariannya ada 2 pilihan: Restorasi (bagian selubung dikembalikan ke bentuk asal) atau Rehabilitasi (pembedaan tampilan bangunan antara bagian yang asli dan yang lebih baru, dengan warna atau tekstur namun tetap harmonis). Tindakan terpilih dilengkapi dengan tindakan preservasi selubung bangunan (perbaikan bagian-bagian yang retak/lapuk, perapihan jaringan kabel-pipa),  Ruang tengah (direstorasi ke pola lengkung seperti semula), Atap entrance sebaiknya dijadikan transparan kembali agar entrance hall dan lobby dapat terang alami. Kata kunci: Makna kultural, fungsi, bentuk, preservasi, restorasi.
PELESTARIAN MAKNA KULTURAL GEREJA SANTO YUSUF BINTARAN di YOGYAKARTA DENGAN PENDEKATAN ARSITEKTUR Alwin Suryono Sombu; Laurentia Carrisa; William Sasmita
Research Report - Engineering Science Vol. 1 (2015)
Publisher : Universitas Katolik Parahyangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5034.188 KB)

Abstract

Konservasi merupakan tindakan  memahami dan mempertahankan suatu bangunan. Tujuan dari penelitian ini adalah memahami nilai-nilai kultural yang terdapat pada Gereja Santo Yusuf Bintaran, Yogyakarta dan mengetahui teknik konservasi yang tepat untuk Gereja Bintaran. Hal diatas menjadi alasan perlunya penelitian ini dilakukan, yaitu memberikan wawasan dan  pedoman  mengenai teknik konservasi dan perawatan yang tepat untuk Gereja Santo Yusuf Bintaran.Penelitian dilakukan pada Gedung Gereja Santo Yusuf Bintaran, yang terletak pada Jl. Bintaran Kidul No. 5, Yogyakarta. Informasi mengenai gereja didapat melalui pihak pengurus gereja dan tenaga ahli yang pernah berperan dalam merenovasi gereja. Sementara metode perolehan data dilakukan secara kualitatif, antara lain dengan cara : studi literatur, observasi objek studi, dan wawancara.Hasil dari penelitian ini adalah penemuan elemen-elemen arsitektur yang memiliki nilai kultural. Elemen tersebut adalah: aktivitas peribadahan gereja, selubung bangunan(atap, ornamen, bukaan, fasad, moulding), ruang dalam bangunan(tatanan ruang, pola sirkulasi, pintu), struktur bangunan(dinding, kolom, atap), dan ruang luar. Teknik konservasi yang tepat untuk dilakukan pada Gereja Santo Yusuf Bintaran adalah preservasi, restorasi, rehabilitasi, dan preventif.Kata-kata kunci : Perawatan, teknik konservasi, nilai kultural, Gereja 
PELESTARIAN KEARIFAN LOKAL DALAM ARSITEKTUR Pada Resort Royal Pita Maha di Ubud - Bali Alwin Suryono; Laurentia Carrisa
Research Report - Engineering Science Vol. 2 (2015)
Publisher : Universitas Katolik Parahyangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3377.687 KB)

Abstract

Pulau Bali semula dikenal sebagai tempat yang indah-menyenangkan, penduduknya hidup makmur-damai dan harmonis. Arsitektur tradisionalnya yang indah-unik berdasar kearifan lokal Bali, memiliki spirit dan identitas khas. Akibat tekanan globalisasi dan industri wisata, kini Arsitektur Bali terimbas gaya universal dari negara-negara maju. Resort Royal Pita Maha, bergaya tradisional Bali dan dirancang-bangun berdasar kearifan lokal, diminati turis manca negara menjadi penting untuk diamati. Studi ini bertujuan memahami kearifan lokal Tri Hita Karana (THK), mengungkap wujudnya pada arsitektur resort Royal Pita Maha dan mendeskripsikan pelestariannya. Digunakan metoda kualitatif-deskriptif melalui pendekatan arsitektural, filosofi THK dan aspek pelestarian. THK. dibaca melalui aspek bentuk arsitektur (bangunan, ruang luar) dan aspek fungsi (kegiatan). Wujud THK. aspek spiritual: Pura di sisi Utara-Timur tapak (area paling suci); Tempat pemujaan pada jalan masuk utama dan entrance tiap bangunan; Bangunan bergaya arsitektur tradisional Bali (apresiasi leluhur) masa kini (konstruksi beton); dan Unsur-unsur alam (sungai, bukit, pohon, taman) yang diapresiasi. Wujud THK aspek sosial: Jalan masuk utama (sekaligus untuk penduduk sekitar); Patung penari pada entrance utama; Turap-turap batu berskala manusia; dan pedestrian nyaman-indah-aman. Wujud THK. aspek alam: Penataan bangunan sesuai kondisi muka tanah; Unsur alam dapat dinikmati dari tiap posisi; Material bangunan disusun mengikuti hokum alam. Tindakan pelestarian terhadap seluruh elemen signifikan resort (lingkungan spiritual, sosial, alam) adalah preservasi, terkait kondisi saat ini terarawat baik. Kesimpulan: Arsitektur Tradisional Bali masa kini yang dirancang-bangun berdasar filosofi THK., ternyata dapat memenuhi tuntutan kekinian pariwisata internasional, sehingga spirit dan identitas Bali dapat dipertahankan.Kata kunci: kearifan lokal, spiritual, sosial, alam, arsitektur.
Pelestarian Aspek Kesemestaan Dan Kesetempatan Dalam Arsitektur Bangsal Sitihinggil Di Kraton Yogyakarta Alwin Suryono
RUAS (Review of Urbanism and Architectural Studies) Vol 14, No 2 (2016)
Publisher : RUAS (Review of Urbanism and Architectural Studies)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (651.175 KB) | DOI: 10.21776/ub.ruas.2016.014.02.1

Abstract

The Sitihinggil Kraton Yogyakarta building, completed in 1926, has a EuropeanJavanese architecture style. It is originally a coronation place of the Mataram Sultans and the first Indonesia President. In the present time, it is used for royal official ceremonies and tourist attractions. The purpose of this study is to reveal the universallocal aspects of Sitihinggil architecture and describe its conservation concept. The method used is descriptive-explanatory, with the approach of Javanese CultureArchitecture-Conservation. The universal aspect is based on the Javanese culture philosophy ”unitary natural-social-spiritual interaction”, whereas the local aspects are “philosophy of tolerance” and architecture style. Natural relation associates with symmetrical space layout towards the philosophical axis and the adaptive building (to the environment). The social relation associates with the dialogue between the Sultan (inside the building) with the people (sitting in the North Square). The spiritual relation associates with the Sultan’s meditation ritual in this building while looking at the White Post’s direction. “Tolerance” philosophy could be seen through the architectural styles. Conservation concept: Preservation of space layout (opennessposition of the building); Restoration of the North Square (thickened the surrounding grass and trees); Preservation-routine maintenance of building (Roofs, ceilings, beams, gutters, windows, pillars, ornaments)Keywords: universal, local, culture, preservation.
PELESTARIAN BUDAYA BALI DALAM ARSITEKTUR TAPAK DAN RESTORAN ARUNA RESORT TEJAPRANA TEGALALANG UBUD – BALI Alwin Suryono
Jurnal Arsitektur ARCADE Vol 5, No 3 (2021): Jurnal Arsitektur ARCADE November 2021
Publisher : Prodi Arsitektur UNIVERSITAS KEBANGSAAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31848/arcade.v5i3.873

Abstract

Abstract: Revealing the conservation of Balinese culture forms in the architecture of Site and Aruna Restaurant of Tejaprana resort uses architectural phenomenological approach. The Balinese Culture’s physical-social system is expressed through sensory presence, conceptual systems through goal awareness, and the philosophy through essence awareness. The setting extends from the North-South direction, the Aruna restaurant surrounded by garden in the middle of the site and a temple in the North, preserving the principles of the Balinese Traditional Village setting. The essence of the site order is harmony with the local natural philosophy. Social activities surrounded by gardens in the middle of the site and temple in North form a harmonious-balanced human-nature-God relationship philosophy. The openness of Aruna restaurant is similar to Wantilan's architecture, but with different shape. The pool at the center of the floor and the eight columns around it symbolizes the "natural balance" of the Nawa Sanga concept. The essence of Aruna restaurant is local natural harmony philosophy and spiritual relations, forming a harmonious-balanced human-nature-God relationship philosophy. The principles of traditional village arrangements, Balinese cultural social system, concept of natural balance, bale Wantilan principle, Nawa Sanga concept, Tri Hita Karana philosophy are preserved in the site and Aruna restaurant.).Abstrak: Pengungkapan wujud-wujud Budaya Bali dalam arsitektur Tatanan Tapak dan Restoran Aruna resort Tejaprana dan pelestariannya menggunakan pendekatan fenomenologis arsitektur. Sistem fisik-sosial Budaya Bali diungkap melalui kehadiran inderawi, sistem konsep melalui kesadaran tujuan, dan filosofi melalui kesadaran esensi. Tatanan tapak memanjang arah Utara-Selatan, restoran Aruna dikelilingi taman di tengah tapak dan Pura di Utaranya, melestarikan prinsip tatanan tapak Desa Tradisional Bali, berikut sistem sosial Budaya Bali. Tatanan tapak membentuk Keseimbangan Alam konsep Catur Lokapala. Esensi tatanan tapak adalah keharmonisan-keselarasan dengan alam setempat filosofi Manik Ring Cucupu. Aktivitas sosial dikelilingi taman di tengah tapak dan ibadah di Utaranya membentuk relasi harmonis-seimbang manusia-alam-Tuhan filosofi Tri Hita Karana. Restoran Aruna bersosok terbuka, atapnya bersusun mirip arsitektur Wantilan, namun bentuknya kerucut berlantai dua. Kolam di pusat lantai dan delapan kolom sekelilingnya searah mata angin simbol ‘keseimbangan alam’ konsep Nawa Sanga, memperlihatkan sistem sosial Budaya Bali. Esensi restoran Aruna adalah keharmonisan-keselarasan alam setempat (filosofi Manik Ring Cucupu) dan relasi spiritual, sehingga membentuk relasi harmonis-seimbang manusia-alam-Tuhan (filosofi Tri Hita Karana). Prinsip tatanan desa tradisional, sistem sosial Budaya Bali, konsep keseimbangan alam, prinsip bale Wantilan, konsep Nawa Sanga, filosofi Tri Hita Karana dilestarikan pada tapak dan restoran Aruna.
PELESTARIAN BUDAYA BALI DALAM ARSITEKTUR TAPAK DAN RESTORAN ARUNA RESORT TEJAPRANA TEGALALANG UBUD – BALI Alwin Suryono
Jurnal Arsitektur ARCADE Vol 5, No 3 (2021): Jurnal Arsitektur ARCADE November 2021
Publisher : Prodi Arsitektur UNIVERSITAS KEBANGSAAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31848/arcade.v5i3.873

Abstract

Abstract: Revealing the conservation of Balinese culture forms in the architecture of Site and Aruna Restaurant of Tejaprana resort uses architectural phenomenological approach. The Balinese Culture’s physical-social system is expressed through sensory presence, conceptual systems through goal awareness, and the philosophy through essence awareness. The setting extends from the North-South direction, the Aruna restaurant surrounded by garden in the middle of the site and a temple in the North, preserving the principles of the Balinese Traditional Village setting. The essence of the site order is harmony with the local natural philosophy. Social activities surrounded by gardens in the middle of the site and temple in North form a harmonious-balanced human-nature-God relationship philosophy. The openness of Aruna restaurant is similar to Wantilan's architecture, but with different shape. The pool at the center of the floor and the eight columns around it symbolizes the "natural balance" of the Nawa Sanga concept. The essence of Aruna restaurant is local natural harmony philosophy and spiritual relations, forming a harmonious-balanced human-nature-God relationship philosophy. The principles of traditional village arrangements, Balinese cultural social system, concept of natural balance, bale Wantilan principle, Nawa Sanga concept, Tri Hita Karana philosophy are preserved in the site and Aruna restaurant.).Abstrak: Pengungkapan wujud-wujud Budaya Bali dalam arsitektur Tatanan Tapak dan Restoran Aruna resort Tejaprana dan pelestariannya menggunakan pendekatan fenomenologis arsitektur. Sistem fisik-sosial Budaya Bali diungkap melalui kehadiran inderawi, sistem konsep melalui kesadaran tujuan, dan filosofi melalui kesadaran esensi. Tatanan tapak memanjang arah Utara-Selatan, restoran Aruna dikelilingi taman di tengah tapak dan Pura di Utaranya, melestarikan prinsip tatanan tapak Desa Tradisional Bali, berikut sistem sosial Budaya Bali. Tatanan tapak membentuk Keseimbangan Alam konsep Catur Lokapala. Esensi tatanan tapak adalah keharmonisan-keselarasan dengan alam setempat filosofi Manik Ring Cucupu. Aktivitas sosial dikelilingi taman di tengah tapak dan ibadah di Utaranya membentuk relasi harmonis-seimbang manusia-alam-Tuhan filosofi Tri Hita Karana. Restoran Aruna bersosok terbuka, atapnya bersusun mirip arsitektur Wantilan, namun bentuknya kerucut berlantai dua. Kolam di pusat lantai dan delapan kolom sekelilingnya searah mata angin simbol ‘keseimbangan alam’ konsep Nawa Sanga, memperlihatkan sistem sosial Budaya Bali. Esensi restoran Aruna adalah keharmonisan-keselarasan alam setempat (filosofi Manik Ring Cucupu) dan relasi spiritual, sehingga membentuk relasi harmonis-seimbang manusia-alam-Tuhan (filosofi Tri Hita Karana). Prinsip tatanan desa tradisional, sistem sosial Budaya Bali, konsep keseimbangan alam, prinsip bale Wantilan, konsep Nawa Sanga, filosofi Tri Hita Karana dilestarikan pada tapak dan restoran Aruna.
PELESTARIAN WUJUD BUDAYA JAWA PADA STRUKTUR DAN KONSTRUKSI MASJID SAID NAUM Indira Rahma D; Alwin Suryono Sombu
Riset Arsitektur (RISA) Vol 6 No 04 (2022): RISET ARSITEKTUR "RISA"
Publisher : Department of Architecture, Faculty of Engineering Parahyangan Catholic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26593/risa.v6i04.6150.404-422

Abstract

Abstract - In contemporary architecture, the practice of assimilating and reinterpreting traditional philosophies in recent architectural works are experiencing a surge. Traditional architecture of the past are conserved in present-day time, and is considered a development of traditional concepts with advanced technology. In spite of these progressions, the advent of modern architecture replaces the craftsmanship of local designs, such as the simplification of structural elements and ornaments. These conservation efforts are sometimes done without any care for the philosophical aspect of traditional forms, only imitating the physical aspects. This research aims to discover Javanese cultural forms embedded in Said Naum Mosque, and the preservation methods used. Specific attributes to be researched further are the structural and construction systems. Qualitative methods are used to elaborate the structure and construction system of Said Naum Mosque, and identification of the Javanese cultural forms. The mosque is then compared to other Javanese mosques to break down the similarities and differences. The end result of the research uncovers the Javanese culture preserved in the structure and construction system in the form of artefacts, activities, and ideas. Conservation methods taken are adapting and preserving of the cultural forms. Adaptation of Javanese artefacts in the physical attributes of Said Naum Mosque were found, where the architect’s reinterpretations such as the removal of soko guru and the innovation of tajug are done in accordance to make use of newer, more modern materials such as concrete and steel. Activities are mostly preserved, considering the function did not stray much from the Javaneses’ piety and social relations. The forms of ideas and concepts underwent both adaptations and preservations, where adaptations happen as a more modern movement in structural and spatial, while preserving the Javanese people’s characters; understanding of each other and consideration for the nature. The research concludes that Said Naum Mosque’s structural and construction aspects have underwent an extensive adaptation process, but still yielded an architectural product that conserved the culture of Java. This is especially evident in the structural order which follows the Javanese concepts of verticality and the honest, as-is nature of Javanese structural expressions. Keywords: conservation, Javanese culture, structure, tectonics, Said Naum Mosque