Mahfud Mahfud
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Published : 8 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Tindak Pidana Penyalahgunaan Senjata Api (Suatu Penelitian di Wilayah Hukum Kepolisian Militer Aceh) Farras Halim; Mahfud Mahfud
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 3, No 1: Februari 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan penyebab terjadinya tindak pidana penyalahgunaan senjata api dan untuk menjelaskan hambatan serta upaya penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan senjata api. Pengumpulan data dalam penulisan artikel ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder yang bersifat teoritis. Sedangkan penelitian lapangan dilakukan guna memperoleh data primer melalui wawancara dengan responden. Hasil penelitian menjelaskan bahwa penyebab terjadinya tindak pidana penyalahgunaan senjata api di Kota Lhokseumawe meliputi beberapa faktor, di antaranya seperti kesengajaan pemilik senjata api, pengabaian hak dan kewajiban. Hasil penelitian juga menjelaskan bahwa hambatan yang ditemukan dalam menanggulangi tindak pidana penyalahgunaan senjata api, meliputi kurangnya kerja sama yang baik antara kepolisian dengan TNI. Upaya yang digunakan untuk menanggulangi tindak pidana berupa upaya preventif, kuratif, represif, dan rehabilitatif. Disarankan untuk lebih menekankan upaya-upaya penegakan hukum seperti upaya preventif, kuratif, represif, dan rehabilitatif, dan juga disarankan kepada sistem peradilan pidana, mulai dari tingkat, penyidikan, pendakwaan, persidangan, sampai dengan tahap pembinaan untuk melakukan penindakan yang lebih tegas dan nyata, serta disarankan untuk melakukan upaya atau tindakan yang dapat mempermudah akses dalam menghadirkan saksi ahli seperti mengadakan berbagai pelatihan-pelatihan khusus yang dapat menghasilkan ahli-ahli baru yang berkompeten di bidangnya dan adanya hubungan yang baik antara Kepolisian dan TNI-AD di Kota Lhokseumawe.
Juridical Analysis of The Implications of Security Council Referral in Regards to The Obligation of Non-State Parties to Cooperate With the International Criminal Court Teuku Muktasim; Mahfud Mahfud
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 3, No 1: Februari 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This research aims to see whether the Security Council Referrals actually imposed the obligation to cooperate with the International Criminal Court to Sudan and Libya, considering their status as Non-state Parties to the Rome Statute and to describe the obstacles faced by the International Criminal Court in securing the fulfillment of its cooperation requests to Sudan and Libya. This research is conducted in normative or legal doctrinal approach and relies on the data from primary sources and secondary sources. The primary sources included are; the Rome Statute, the UN Charter, case law, and UN bodies decisions. This research also include law commentaries, journals and textbooks, as secondary sources. This research argues that while The Resolutions S/RES/1593 (2005) and S/RES/1570 (2011) does not specify the obligations imposed towards Sudan and Libya respectively, it is right to conclude that since the resolutions does not provide an alternative cooperation regime, the cooperation regime contained in Part 9 of the Rome Statute applies. Despite this, the Court does not have the power to enforce obligation Sudan and Libya. It can only issue judicial findings of non-compliance, and leaving the Security Council and international community to pressure non-compliant States. It is recommended that in future referrals, the Security Council would use a more precise language to prevent misinterpretation. Meanwhile, appropriate international response is necessary to tackle the current noncompliance issue of Sudan and Libya.
Perbandingan Hukum Euthanasia Di Indonesia dan Belanda Mirza Juwanda; Mahfud Mahfud
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 3, No 1: Februari 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan tentang pengaturan euthanasia dalam hukum positif Belanda dan Indonesia dan untuk menjelaskan syarat yang diterapkan Indonesia terkait pelaksanaan eutanasia. Untuk memperoleh data dalam penulisan artikel ini dilakukan dengan cara menggunakan metode penelitiam hukum normatif atau metode penelitian kepustakaan untuk mengumpulkan data sekunder berupa teori-teori dan konsep yang diperoleh dari buku-buku, jurnal, peraturan perundang-perundangan, dan karya ilmiah lainnya untuk selanjutnya dijadikan alat analisis dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang telah diidentifikasi dalam rumusan permasalahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan tentang euthanasia dalam hukum positif Belanda  diatur dalam Pasal 2 Wet van 12 April 2001 Wet toetsing levensbeeindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding atau Undang-Undang mengenai Prosedur untuk Mengakhiri Hidup Secara Sukarela dan Pengecualian terhadap Ketentuan Pidana dan Undang-Undang tentang Kremasi dan Penguburan di dalam Bab II tentang Tata Cara Pelaksanaan Euthanasia. Pengaturan tentang euthanasia dalam hukum positif di Indonesia juga diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantuim dalam Penjelasan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang HAM, namun KUHP sendiri mutlak melarang praktik euthanasia. Syarat yang digunakan Indonesia terkait pelaksanaan euthanasia tidak diatur secara eksplisit dalam hukum positif, namun diatur atau diakui secara implisit dalam Penjelasan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang HAM. Disarankan kepada pembentuk peraturan perundang-undangan untuk mengatur lebih lanjut mengenai euthanasia di Indonesia agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami hukum positif Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Belanda dengan memberlakukan wet 12 April dan disarankan untuk perhatian yang lebih terhadap beberapa hal terkait praktik euthanasia di Indonesia, di antaranya, Pengakhiran perawatan medis karena kematian batang otak, Pengakhiran hidup akibat keadaan darurat (overmacht). Pasal 344 KUHP, menghentikan perawatan medis yang tidak berguna, dan pasien menolak dilakukannya perawatan sehingga dokter tidak berhak melakukan tindakan apapun.
Tinjauan Terhadap Penyelesaian Perkara Pidana Pencemaran Nama Baik Yang Diselesaikan Melalui Peradilan Adat Vania Adelina; Mahfud Mahfud
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 2, No 3: Agustus 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (275.893 KB)

Abstract

Tujuan Penulisan ini adalah untuk menjelaskan pelaksanaan penyelesaian sengketa pencemaran nama baik yang dilakukan oleh peradilan adat di Gampong Durung dan Dilib Bukti Aceh Besar, dan kendala yang di alami oleh aparatur Gampong dalam penyelesaian sengketa pencemaran nama baik tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif dan empiris. Data terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer didapatkan dari wawancara langsung dengan tokoh-tokoh adat dan orang-orang yang terlibat langsung dengan penyelesaian perkara. Data sekunder ditelusuri melalui bahan hukum primer, sekunder  tersier. Penelitian ini menjelaskan penyelesaian perkara pencemaran nama baik dapat diselesaikan melalui peradilan adat. Penyelesaian di mulai dari tahap pelaporan bahwa telah terjadi perkara sampai musyawarah penyelesaian tersebut diselesaikan. Penyelesaian perkara pidana pencemaran nama baik di kedua Gampong berakhir dengan perdamaian. Namun terdapat perbedaan prihal syarat perdamaian, di Gampong Durung memiliki sanksi denda berupa memberi makan anak yatim yang dilakukan oleh pelaku pencemaran nama baik, sedangkan di Dilib Bukti tidak memiliki syarat apapun dan sanksi apapun. Disarankan agar pihak aparatur Gampong dapat menyelesaikan perkara pencemaran nama baik dan kasus-kasus yang disebutkan dalam Pasal 13 ayat (1) Qanun Nomor 9 Tahun 2008.
Kebijakan Pelaksanaan Reparasi Korban Pelanggaran HAM di Aceh Amalia Mukhtar; Mahfud mahfud; Zahratul Idami
Al-Mashlahah: Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol 10, No 01 (2022): Al-Mashlahah: Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Islam
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam Al Hidayah Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30868/am.v10i01.2505

Abstract

Pasca perdamaian Aceh tahun 2005, Pemerintah Indonesia telah melahirkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Pembentukan Komisi Kebenaran merupakan salah satu metode pelaksanaan tanggung jawab penyelesaian kasus pelanggran Hak Asasi Manusia masa lalu (selama konflik aceh berlangsung) menjadi salah satu materi penting aturan tersebut. Hal ini sebagaimana termuat dalam pasal 229 dan 260. Salah tugas utama KKR Aceh adalah menyusun rekomendasi reparasi terhadap korban. KKR Aceh telah merekomendasikan 245 orang untuk ketegori reparasi mendesak dan pada akhir masa jabatan Komisioner KKR Aceh periode 2016-2021 telah menyerahkan sebanyak 5.178 data korban untuk kebutuhan rekomendasi reparasi yang komprehensif. Rekomendasi Reparasi yang telah disampaikan oleh KKR Aceh, belum dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh. Kajian ini menggunakan pendekata normatif dan historis dengan menitik-beratkan pada realitas pemberlakuan dan upaya yang dilakukan oleh pemerintah aceh untuk menindaklanjuti rekomendasi reparasi KKR Aceh. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh adalah menyusun rekomendasi reparasi, Selanjutnya rekomendasi reparasi tersebut dilaksnakan oleh pemerintah Aceh, dan yang terakhir konsep pelaksanaannya yaitu pemerintah Aceh dapat melakukan instruksi kepada satuan kerja pemerintah Aceh terkait untuk melaksanakan sesuai dengan kebutuhan korban sesuai rekomendasi komisi kebenaran dan rekonsiliasi Aceh. 
Kegunaan Sidik Jari Dalam Proses Investigasi Perkara Kriminal Untuk Mengetahui Identitas Korban Dan Yang Melakukan Perbuatan Pidana Muhammad Rifai; Dahlan Ali; Mahfud Mahfud
Syiah Kuala Law Journal Vol 3, No 3: Desember 2019
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (427.799 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v3i3.12550

Abstract

Guna melancarkan pelaksanaan investigasi, sistem fingerprint (sidik jari) memang telah dipakai sejak dahulu sebagai bagian dari hukum acara pidana di Indonesia. Namun demikian dalam pelaksanaannya, sidik jari bisa saja tidak memainkan fungsinya dengan baik untuk mengungkap suatu perkara yang salah satunya diakibatkan ketidakprofesionalan petugas penyidik dalam menjalankan tugasnya. Adapun tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah agar dapat diketahui kegunaan dari sidik jari untuk kemudahan pelaksanaan penyelidikan demi mengetahui identitas korban dan menemukan siapa pelaku tindak pidananya. Selain itu juga untuk menjelaskan tentang apa saja hal yang menghambat petugas penyidik kepolisian dalam menjalankan tugasnya. Mengenai jenis penelitian yang digunakan disini yaitu normatif, sedangkan perundang-undangan serta konseptual dijadikan sebagai pendekatannya. Menurut hasil penelitian ini, dapat diungkapkan bahwa melalui sidik jari akan sangat membantu proses pengungkapan suatu perkara pidana karena kegunaannya mendukung atau melengkapi dari sejumlah alat bukti yang lain. Meskipun demikian, sidik jari tersebut tidak bisa menjadi alat bukti tunggal, tetapi ia merupakan bagian dari keterangan yang diberikan oleh ahli yang ditunjuk ketika proses perjalanan sidang perkaranya di pengadilan. Adapun hal-hal penghalang penggunaan sidik jari pada proses penyidikan perkara kriminal untuk mengetahui data diri orang yang menjadi korban jiwa dan siapa yang menghabisi nyawa orang tersebut, antara lain adalah beberapa keadaan yang dijumpai di lokasi terjadinya peristiwa berupa kondisi alam yang tidak mendukung (seperti karena hujan dan sebagainya), datangnya binatang yang memakan korban yang sudah meninggal itu atau karena jasad korban sudah mulai membusuk dan bahkan ada yang tinggal kerangka saja. Kemudian karena datangnya masyarakat beramai-ramai yang kemudian tanpa sengaja mengubah keadaan di lokasi kejadian dan juga disebabkan kelalaian pihak yang melakukan penyidikan pada saat bertugas menginvestigasi di lapangan. Disarankan kepada yang berprofesi sebagai penegak hukum agar mampu mengakomodir dan peka terhadap berbagai hal yang berkembang di kehidupan masyarakat. Di antaranya yaitu munculnya inovasi yang berhubungan dengan ilmu forensik yakni sistem fingerprint atau sidik jari, buah dari keberhasilan di bidang bioteknologi.In order to facilitate the conduct of the investigation, the fingerprint system has been used since a long time as part of criminal procedure law in Indonesia. However, in its implementation, fingerprints may not play their functions properly to uncover a case, one of which is due to the unprofessionalism of investigating officers in carrying out their duties. The purpose of this research is to be able to know the usefulness of fingerprints for the ease of conducting investigations in order to find out the identity of the victim and find out who the perpetrator is. In addition, it also explains what are the things that prevent police investigators from carrying out their duties. Regarding the type of research used here which is normative, while legislation and conceptual are used as approaches. According to the results of this study, it can be revealed that through fingerprints it will greatly help the process of disclosing a criminal case because its use supports or complements a number of other evidence. Even so, the fingerprint cannot be a single evidence, but it is part of the information given by the appointed expert during the trial process in court. As for the obstacles to the use of fingerprints in the process of investigating criminal cases to find out the personal data of people who have been victimized and who killed the lives of people, among others are several conditions found in the location of events in the form of unsupportive conditions (such as rain and so on), the arrival of animals that have killed the victims or because the bodies of the victims have begun to rot and even some are left with a skeleton. Then because of the coming of the people who later unintentionally changed the situation at the scene and also due to negligence of the party who carried out the investigation while in charge of investigating in the field. It is recommended to those who work as law enforcers to be able to accommodate and be sensitive to various things that develop in people's lives. Among them are the emergence of innovations related to forensic science, namely the fingerprint or fingerprint system, the fruit of success in the field of biotechnology.
Tindak Pidana yang Dilakukan Pengungsi Internasional di Indonesia Ida Tutia Rakhmi; Mujibussalim Mujibussalim; Mahfud Mahfud
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 21, No 1 (2019): Vol. 21, No. 1 (April 2019)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24815/kanun.v21i1.11383

Abstract

Indonesia tidak meratifikasi Konvensi 1951 beserta Protokol 1967 tentang Pengungsi. Konvensi 1951 dan Protokol 1967 juga tidak dijelaskan secara spesifik, mekanisme penegakan hukum terhadap pengungsi yang melakukan tindakan kriminalitas di negara transit. Pokok permasalahan artikel ini adalah aturan hukum dan metode penyelesaian terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pengungsi Internasional di Indonesia, dan untuk mengetahui aturan hukum dan metode penyelesaian terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pengungsi Internasional di Indonesia. Jenis metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aturan hukum dilandaskan pada teori kedaulatan dan juga yurisdiksi negara ketika memproses kasus pidana yang dilakukan pengungsi internasional, seperti yang disebutkan Pasal 2 Konvensi 1951, karena Indonesia sebagai anggota komunitas masyarakat internasional dan juga anggota PBB terikat dengan International Customary Law, yaitu prinsip non-refoulement. Penyelesaian kasus diselesaikan melalui jalur nonlitigasi, yaitu dengan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Criminal Actions was Conducted by Internasional Refugees in Indonesia Indonesia does not ratify the 1951 Refugee Convention and  Protocol 1967 Relating to The Status of Refugees. The 1951 Convention and the 1967 Protocol also not define specifically about law enforcement mechanisms against refugees who commit crimes in transit countries. Based on the above description, the main issue is what is the regulation and the method of arrangement to criminal acts who committed by refugees in Indonesia This study aims to find out and explain the regulation to criminal acts who committed by refugees in Indonesia. The research methods in this study were the juridical normative legal research method. The results of the research was based on the theory of sovereignty and the jurisdiction of the state and the non-refoulement and Article 2 Convention of the refugees. The settlement of cases in the Indonesian jurisdiction will conducted through the nonlitigation path, the way out-of-court dispute resolution.
Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Sempadan Sungai Krueng Jambo Aye Aceh Utara Bahrul Walidin; Efendi Efendi; Mahfud Mahfud
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 19, No 1 (2017): Vol. 19, No. 1, (April, 2017)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK: Peningkatan aktivitas pembangunan, berpengaruh terhadap pemanfaatan ruang. Sejumlah ruang tidak bisa bebas dimanfaatkan, seperti sempadan sungai. Penelitian ini ingin mengkaji bagaimana pemanfaatan ruang di sempadan sungai Krueng Jambo Aye, Aceh Utara. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum empiris, yang mengkaji implementasi ketentuan hukum positif dan kontak secara faktual pada setiap peristiwa tertentu yang terjadi dalam masyarakat guna mencapai tujuan yang ditentukan. Selain data primer, penelitian ini juga didukung oleh data sekunder. Analisis data secara deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Berdasarkan temuan penelitian, penyebab terjadinya penyimpangan adalah adanya intervensi politik dalam bentuk aspirasi dewan. Di samping itu kurang berjalannya fungsi koordinasi dan peran antara satuan kerja perangkat daerah dan legislatif. Hal lain yang menjadi penyebab, karena belum adanya rencana tata ruang wilayah yang berkekuatan hukum, belum terealisasinya rencana tata ruang kawasan strategis dan peraturan zonasi sebagai penjabaran rencana tata ruang wilayah Kabupaten Aceh Utara 2012-2032. Sebab terakhir perumahan warga karena  tidak adanya teguran kepada para penghuni rumah yang secara turun-temurun tinggal di atas sempadan sungai. Disarankan agar Pemerintah Kabupaten Aceh Utara meninjau kembali melalui revisi rencana tata ruang yang telah ditetapkan dalam Qanun No. 7 Tahun 2013, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2010. Spatial Abuse at Riparian Krueng Jambo Aye North Aceh River ABSTRACT: An increase on construction activities, affects spatial usages. A number of spaces cannot be used, such as river border. This paper examines the use of space in the border river of Krueng Jambo Aye, North Aceh. This is empirical legal research exploring the implementation of legislations and contact factually on any special events that occur within the community in order to achieve its objectives. In addition, primary data are also supported by secondary data. Data are analyzed through qualitative approach.  The findings show that the cause of the violation is political interference of parliament members. Moreover, lack of coordination and the role of the functioning of the local work unit and the members. Furthermore, there is no spatial plan that is legal; there is no strategic regional spatial plans realization and zoning regulations as the elaboration of spatial plan, the North Aceh district from 2012 to 2032. Finally, residents’ houses are occupying the place since their ancestors have not been warned. It is recommended that the Government of North Aceh District should revise the spatial plans as ruled in Qanun Number 7, 2013 in accordance with the Government Regulation Number 15, 2010.