Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

PEMAHAMAN MASYARAKAT BANJAR KALIMANTAN SELATAN TENTANG PEMIKIRAN FIQH SYEKH ARSYAD AL BANJARI DALAM HAL HARTA PERPANTANGAN Zulfatun Ni'mah
Dinamika Penelitian: Media Komunikasi Penelitian Sosial Keagamaan Vol 20 No 2 (2020)
Publisher : LP2M IAIN Tulungagung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/dinamika.2020.20.2.373-400

Abstract

Tulisan ini bertujuan untuk mendeskrispikan dan menganalisis pemahaman masyarakat di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan tentang harta perpantangan yang dikategorikan sebagai fiqih responsif gender yang lahir dari pemikiran ulama setempat abad XVIII, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Data dikumpulkan pada tahun 2019 di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan dengan teknik wawancara, observasi non partisipatoris serta telaah dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat Banjar tentang harta perpantangan dewasa ini terbagi menjadi dua; di tingkat ulama-ulama yang sering membantu penyelesaian sengketa, substansi dan dasar pemikiran yang melatarbelakangi kelahirannya dipahami dengan baik, namun kedudukannya lebih dipahami sebagai hukum adat daripada ijtihad fiqih, sedangkan masyarakat umum khususnya generasi muda kurang mengenal konsep harta perpantangan, baik substansinya, dasar pemikirannya maupun penerapannya karena fiqih kewarisan yang mereka pelajari merujuk pada karya ulama jazirah Arab. Temuan ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat Banjar tentang konsep fiqih cenderung didominasi oleh fiqih dari ulama jazirah Arab, karena ijtihad ulama setempat yang mengakomodasi lokalitas tidak dipahami sebagai ijtihad fiqih.
The Violation on Women’s Rights in the Unilateral Divorce in Sasak Community From A Feminist Legal Theory Zulfatun Nimah
AL-IHKAM: Jurnal Hukum & Pranata Sosial Vol. 13 No. 1 (2018)
Publisher : Faculty of Sharia IAIN Madura collaboration with The Islamic Law Researcher Association (APHI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19105/al-lhkam.v13i1.1482

Abstract

For giving legal protection to both of husband and wife, Indonesian Marriage Act 1/1974 regulate that a divorce should be done in the court. However, until recently there are many Sasak men still divorced their wives by unilateral statement only, not through trial process in the court. From a feminist legal theory perspective, the practice of unilateral divorce was susceptible to violate women’s right because empirically the living law in the community is generally formulated by male figures, using man perspective and aim for perpetuate men power. This research aims to describe and analyse the forms of violation of the rights of Sasak women who was unilaterally divorced by her husband. This research is a type of empirical legal research using qualitative approach. Primary data is taken from the subject of research, by in-depth interview technique and non-participatory observation. The result of research shows that there are four types of violation on women’s rights who are divorced by their husband, namely: a) not getting mut’ah (competation of divorce) and basic necessity during `iddah; b) not getting the settlement for mahr; c) not getting the share of community property; and d) not having certain marital status. Base on this result, it is very important to conduct a legal literacy program for Sasak community for make them  not divorce unilaterally anymore.
Praktik Perceraian Sepihak pada Masyarakat Sasak di Pulau Lombok Zulfatun Ni'mah
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 51, No 2 (2017)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.2017.51.2.307-344

Abstract

Abstract: Unilateral divorce practice can be cathegorized as general phenomenon in Sasak society, Lombok. It was occurred at many forms and ways; some husbands who divorce their wives unilaterally state the divorce statement directly to their wives by face to face, some of them state divorce in front of other people, some of them state it from far place with telecommunication ware, and some of them state it in front of local authority holder in divorce affair, they are religious leader and hamlet head. Unilateral divorce practice still existed in Lombok due to several factors, firstly, uncompleteness of divorce regulation, malpractice in marriage and divorce administration, and influence of extremely textual and patriarchal Islamic law understanding. In general, unilateral divorce negativelly affected to wives who divorced unilaterally. They lost their right to get mut’ah, expense of iddah, dowry settlement and also sharing of marital property.Abstrak: Perceraian sepihak merupakan fenomena yang boleh dibilang masih umum terjadi pada masyarakat Sasak, Lombok. Perceraian sepihak tersebut terjadi dengan berbagai macam bentuk atau cara, yakni suami menyatakan talak secara langsung kepada istri dengan bertatap muka, atau suami menyatakan talak di hadapan orang lain, bahkan adakalanya suami menyatakan talak lewat alat komunikasi, dan terkadang suami menyatakan talak di hadapan kepala dusun dan kiai yang dianggap sebagai pemilik otoritas dalam soal perceraian. Masih eksisnya perceraian sepihak di kalangan masyarakat Sasak ini disebabkan oleh beberapoa faktor, yakni belum lengkapnya peraturan tentang talak, terjadinya malpraktik administrasi pernikahan dan perceraian, dan pengaruh pemahaman ajaran agama yang bersifat tekstualis dan patriarkhis. Praktik perceraian sepihak ini pada akhirnya berdampak negatif terhadap para istri yang diceraikan. Mereka kehilangan sejumlah hak yang seharusnya didapatkan, seperti hak istri untuk berpartisipasi dalam menentukan arah kehidupan rumah tangga, hak istri untuk mendapatkan mut’ah dan nafkah iddah, hak untuk mendapatkan pelunasan maskawin, dan juga hak untuk mendapatkan bagian atas harta bersama.
PERLINDUNGAN TERHADAP KEPENTINGAN PEREMPUAN DALAM PRAKTIK PERCERAIAN MUBARA’AH DI MASYARAKAT SASAK PULAU LOMBOK Zulfatun Ni’mah
Muwazah Vol 8 No 1 (2016)
Publisher : UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28918/muwazah.v8i1.735

Abstract

this study aims to explore the reasons of women Sasak, preferring divorce mubara'ah ratherthan go through the legal procedures in courts and; mubara'ah divorce decision effectiveness in providing protection against the interests of women. The results showed that, women prefer to divorce mubara'ah Sasak village rather than litigation in court because it was easier, cheaper and faster than in court. overseas. The practice of mubara'ah be allowed to live by the government, and even tend to be protected, through the act of manipulating the data by the village government, in order that people who have divorced mubara'ah can remarry without having to show a divorce certificate from the court. The action manipulate this data, known, tolerated and accepted by the Office of Religious Affairs with the appropriate reason for divorce Islamic law. Divorce mubara'ah provides protection against the interests of women in society, related to marital status, the right to joint property and child custody. However, such protection is weak when dealing with the need of the orderly administration of the country, for example: birth certificate, family card, registration of Hajj and registration work abroad.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan perempuan Sasak lebih memilih gugat cerai mubara’ah daripada menempuh prosedur hukum di pengadilan dan efektifitas putusan perceraian mubara’ah dalam memberikan perlindungan terhadap kepentingan perempuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, perempuan Sasak lebih memilih perceraian mubara’ah di kampung daripada beracara di pengadilan karena lebih mudah, lebih murah dan lebih cepat dibanding di pengadilan. Praktik mubara’ah dibiarkan hidup oleh pemerintah, bahkan cenderung dilindungi melalui tindakan rekayasa data oleh pemerintah desa agar orang yang pernah bercerai secara mubara’ah dapat menikah lagi tanpa harus menunjukkan akta cerai dari pengadilan. Rekayasa data ini diketahui, dibiarkan dan diterima oleh Kantor Urusan Agama dengan alasan perceraian tersebut sesuai syariat Islam. Perceraian mubara’ah  memberikan perlindungan terhadap kepentingan perempuan di masyarakat, dalam bidang status perkawinan, hak harta bersama dan hak pengasuhan anak. Namun, perlindungan tersebut lemah ketika berhadapan dengan kepentingan tertib administrasi negara, misalnya: pembuatan akta kelahiran, Kartu Keluarga, pendaftaran haji dan pendaftaran kerja di luar negeri.
Praktik Perceraian Sepihak pada Masyarakat Sasak di Pulau Lombok Zulfatun Ni'mah
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 51 No 2 (2017)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v51i2.346

Abstract

Abstract: Unilateral divorce practice can be cathegorized as general phenomenon in Sasak society, Lombok. It was occurred at many forms and ways; some husbands who divorce their wives unilaterally state the divorce statement directly to their wives by face to face, some of them state divorce in front of other people, some of them state it from far place with telecommunication ware, and some of them state it in front of local authority holder in divorce affair, they are religious leader and hamlet head. Unilateral divorce practice still existed in Lombok due to several factors, firstly, uncompleteness of divorce regulation, malpractice in marriage and divorce administration, and influence of extremely textual and patriarchal Islamic law understanding. In general, unilateral divorce negativelly affected to wives who divorced unilaterally. They lost their right to get mut’ah, expense of iddah, dowry settlement and also sharing of marital property.Abstrak: Perceraian sepihak merupakan fenomena yang boleh dibilang masih umum terjadi pada masyarakat Sasak, Lombok. Perceraian sepihak tersebut terjadi dengan berbagai macam bentuk atau cara, yakni suami menyatakan talak secara langsung kepada istri dengan bertatap muka, atau suami menyatakan talak di hadapan orang lain, bahkan adakalanya suami menyatakan talak lewat alat komunikasi, dan terkadang suami menyatakan talak di hadapan kepala dusun dan kiai yang dianggap sebagai pemilik otoritas dalam soal perceraian. Masih eksisnya perceraian sepihak di kalangan masyarakat Sasak ini disebabkan oleh beberapoa faktor, yakni belum lengkapnya peraturan tentang talak, terjadinya malpraktik administrasi pernikahan dan perceraian, dan pengaruh pemahaman ajaran agama yang bersifat tekstualis dan patriarkhis. Praktik perceraian sepihak ini pada akhirnya berdampak negatif terhadap para istri yang diceraikan. Mereka kehilangan sejumlah hak yang seharusnya didapatkan, seperti hak istri untuk berpartisipasi dalam menentukan arah kehidupan rumah tangga, hak istri untuk mendapatkan mut’ah dan nafkah iddah, hak untuk mendapatkan pelunasan maskawin, dan juga hak untuk mendapatkan bagian atas harta bersama.