Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

Pengaruh Profilaksis Trombosis Vena Dalam dengan Heparin Subkutan dan Intravena terhadap aPTT dan Jumlah Trombosit pada Pasien Kritis di ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang Satrio Adi Wicaksono; Jati Listiyanto Pujo; Ery Leksana
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 4, No 3 (2012): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (646.169 KB) | DOI: 10.14710/jai.v4i3.6423

Abstract

Latar belakang: Heparin telah digunakan sebagai terapi maupun sebagai profilaksis primer TVD, walaupun keamanan heparin khususnya pada pasien kritis yang memiliki risiko tinggi perdarahan masih merupakan subyek perdebatan. Belum ada studi prospektif komparatif yang tegas menunjukkan efektivitas dan keamanan pemberian heparin subkutan sebagai profilaksis TVD pada pasien kritis di ICU.Tujuan: Untuk mengetahui perbedaan pengaruh pemberian heparin subkutan dibandingkan intravena sebagai profilaksis TVD terhadap nilai aPTT dan jumlah trombosit pada pasien kritis di ICU.Metode: Uji klinik dilakukan pada 30 pasien selama 3 hari dengan pemberian heparin subkutan 5000 IU b.i.d sebagai kelompok SK (n=15) dan heparin 500 IU/jam intravena sebagai kelompok IV (n=15) kemudian dibandingkan beberapa parameter koagulasi (D- dimer, aPTT dan trombosit) pada pasien kritis di ICU.Hasil: Setelah 3 hari diberikan profilaksis TVD didapatkan hasil yang bermakna penurunan kadar D-dimer pada kedua kelompok, kelompok SK 959.73(1127.539) (p=0.05) dan kelompok IV 1621.33(1041.654) (p=0.00). Tetapi didapatkan hasil yang tidak bermakna pada perubahan nilai aPTT, kelompok SK 0.032(0.5284) (p=0.815) dan kelompok IV 0.068(0.5718) (p=0.652). Perubahan jumlah trombosit didapatkan hasil tidak bermakna pada kelompok SK 413.3(51489.76) (p=0.815) sedangkan pada kelompok IV didapatkan perubahan yang bermakna dalam penurunan jumlah trombosit 30186.6(53488.86) (p=0.046).Simpulan: Pemberian heparin subkutan 5000 IU b.i.d dan heparin 500 IU/jam intravena sebagai profilaksis TVD secara bermakna dapat menurunkan kadar D-dimer. Tetapi didapatkan hasil yang tidak bermakna pada perubahan nilai aPTT dan perubahan yang bermakna pada kelompok heparin IV dalam penurunan jumlah trombosit
Anestesi pada Mediastinoskopi Satrio Adi Wicaksono; Hari Hendriarto; Heru Dwi Jatmiko
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 2, No 1 (2010): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1043.93 KB) | DOI: 10.14710/jai.v2i1.6472

Abstract

Mediastinoscopy adalah prosedur bedah toraks yang dilakukan dengan mediastinoscope untuk memeriksa mediastinum yang merupakan ruang dalam rongga toraks antara paru-paru untuk berbagai indikasi. Dari sudut pandang anestesi, mediastinoscopy menggunakan anestesi umum. Akses vena dengan kateter intravena berdiameter besar (ukuran 14 sampai 16) diperlukan karena risiko perdarahan yang berlebihan dan kesulitan mengendalikan perdarahan. Dalam ulasan ini kami akan menjelaskan manajemen anestesi pada pasien yang menjalani mediastinoscopy. 
Anestesi Spinal pada Pasien Seksio Sesaria dengan Tuberkulosis Multidrug-resistant (TB MDR) Satrio Adi Wicaksono; Yusmein Uyun; Ratih Kumala Fajar Apsari
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 12, No 2 (2020): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v12i2.28761

Abstract

Latar belakang: Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR-TB) adalah adanya resistensi terhadap obat TB minimal 2 (dua) obat anti TB yang paling poten yaitu INH dan rifampisin secara bersama-sama atau disertai resistensi terhadap obat anti TB lini pertama lainnya seperti etambutol, streptomisin dan pirazinamid. Pemilihan anestesi spinal pada pasien ini merupakan bahan diskusi yang menarik.Kasus: Seorang wanita G2P1A0 dirujuk ke RSUP Dr Kariadi dengan diagnosa TB MDR. Pasien memiliki riwayat flek paru sejak usia 15 tahun. Pasien memiliki keluhan batuk lama saat kehamilan yang pertama dan sempat mengalami putus obat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sesak dengan kesadaran composmentis, BB 43kg, TB 160cm. Tekanan darah 130/80 mmHg, frekuensi nadi 112x/menit, laju napas 28 x/menit, dengan temperatur 37oC. Pada pemeriksaan mata didapatkan konjungtiva palpebra anemis. Pemeriksaan jantung normal dan paru terdengar suara ronki basah kasar di kedua lapang paru. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia dan trombositopenia. Pasien menjalani operasi seksio sesaria dengan anestesi spinal dengan bupivakain 0,5% 10 mg dengan tekanan darah awal 130/80 mmHg. Selama operasi dan pascaoperasi seksio sesaria, hemodinamik pasien stabil, tidak ditemukan hipotensi yang berat maupun kenaikan tekanan darah. Pasien kemudian dirawat di ruangan dengan perawatan pascaoperasi.Pembahasan: Pada penderita TB MDR, hampir seluruh lapang paru diisi oleh infiltrat. Anestesi regional sering disukai pada pasien dengan penyakit paru-paru kronis seperti tuberkulosis daripada anestesi umum untuk menghindari risiko hipersensitivitas pada otot polos bronkhial dan penyempitan saluran udara akibat proses inflamasi, yang dapat berdampak pada morbiditas dan mortalitas selama persalinan operatif. Ketersediaan tes fungsi paru akan sangat membantu ahli anestesi.Kesimpulan: Keadaan paru yang kurang baik dapat menjadi kontra indikasi untuk dilakukan anestesi umum.
Perbandingan Kadar Substansi P Serum pada Pasien Pre dan Post Operasi Tiroid yang Diberi Analgetik Bupivakain 0,25% dengan Teknik Bilateral Superficial Cervical Plexus Block (BSCPB) Satrio Adi Wicaksono; C O Harahap; Doso Sutiyono; Himawan Sasongko; Edward Kurnia Setiawan Limijadi
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 9, No 1 (2017): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (472.78 KB) | DOI: 10.14710/jai.v9i1.19822

Abstract

Latar belakang: Operasi tiroid dapat menyebabkan rasa sakit sehingga untuk mencegah masalah ini dengan berbagai modalitas, seperti anestesi regional bilateral superficial cervical plexus block (BSCPB) dengan menggunakan bupivakain 0,25% yang dikombinasikan dengan anestesi umum.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian klinis acak tersamar ganda dengan jumlah sampel 36 pasien. Sampel dibagi kedalam 2 kelompok yang diberikan anestesi regional melalui teknik BSCPB dengan kelompok perlakuan diberikan bupivakain 0,25% dibandingkan dengan kelompok kontrol yang diberikan NaCl 0,9% terhadap kadar substansi P serum pre dan post operasi pada pasien yang menjalani operasi tiroid.Hasil: Data penelitian diperoleh subjek laki-laki sebanyak 7 (19,4%) orang dan subjek  perempuan  sebanyak  29  (80,6%)  orang. Data substansi P post operasi kelompok  control dibandingkan kelompok perlakuan  didapatkan perbedaan bermakna  (p = 0,001). Substansi P pre operasi dibandingkan substansi P post operasi kelompok perlakuan didapatkan perbedaan bermakna (p = 0,004). Simpulan: Pemberian bupivakain konsentrasi 0,25% melalui teknik BSCPB terbukti menurunkan kadar substansi P serum post operasi.  
Hubungan Kadar Prokalsitonin dan Kejadian Postoperative Cognitive Disfunction (POCD) ada Pasien yang Menjalani Operasi Ganti Katup Jantung Di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang Widya Istanto Nurcahyo; Ari Kurniawan; Yulia Wahyu Villyastuti; Taufik Eko Nugroho; Satrio Adi Wicaksono; Zainal Muttaqin; Cindy Elfira Boom
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 13, No 3 (2021): Jurnal Anestesiologi Indonesia (Issue in Progress)
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v0i0.39480

Abstract

Latar belakang:Postoperative cognitive dysfunction atau POCD adalah gangguan fungsi kognitif akibat inflamasi pasca prosedur pembedahan. Angka kejadian POCD pasca pembedahan kardiak lebih tinggi dibandingkan pembedahan non-kardiak. POCD diduga diakibatkan oleh respons inflamasi sistemik. Prokalsitonin menjadi salah satu mediator inflamasi yang berperan terhadap peningkatan risiko inflamasi saat operasi yang memicu kejadian POCD pascaoperasi ganti katup jantung. Inflamasi disebabkan oleh pelepasan protein fase akut yaitu prokalsitonin dan sitokin proinflamasi lainnya yang menyebabkan terganggunya sawar darah otak dan mengganggu neurotransmisi sehingga terjadi POCD.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan peningkatan kadar Prokalsitonin terhadap POCD pada pasien yang menjalani operasi ganti katup jantung di RSUP Dr. Kariadi.Metode: Penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien yang menjalani operasi ganti katup jantung di RSUP Dr. Kariadi pada bulan Juni 2020- Desember 2020. Sampel penelitian sebanyak 19 subjek didapatkan dengan teknik consecutive sampling. Pada subjek penelitian dilakukan pengukuran kadar serum prokalsitonin sebelum pembedahan dan hari pertama pasca pembedahan, kemudian dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif dengan montreal cognitive assessment-indonesia (MoCA INA) pada hari ketiga pasca pembedahan. Data dianalisis dengan uji korelasi spearman.Hasil: Dari 19 subjek penelitian, terdapat 13 responden (68,4%) yang mengalami POCD. Rerata peningkatan prokalsitonin pada pasien POCD adalah 5,22 dengan standar deviasi 12,50 sedangkan peningkatan prokalsitonin pada pasien non POCD adalah 0,21 dengan standar deviasi 0,45. Berdasarkan uji korelasi spearman, diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara peningkatan kadar prokalsitonin terhadap POCD pascaoperasi ganti katup jantung (p=0,004).Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara perbedaan kadar Prokalsitonin terhadap POCD pascaoperasi ganti katup jantung di RSUP Dr. Kariadi.
Kejadian Drop Foot Setelah Anestesi Spinal Satrio Adi Wicaksono; Bhimo Priambodo
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 11, No 1 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1126.627 KB) | DOI: 10.14710/jai.v11i1.23859

Abstract

Latar Belakang: Komplikasi neurologi setelah prosedur anestesi spinal dapat disebabkan oleh cedera saraf secara langsung, hipotensi yang berat, henti jantung, masalah terkait peralatan, efek yang tidak diinginkan dari obat, pemberian obat yang tidak benar, dan kesalahan lokasi penyuntikan. Namun komplikasi neurologi serius yang disebabkan oleh anestesi regional jarang terjadi. Drop Foot merupakan salah satu komplikasi langsung dari cedera saraf.Kasus: Seorang wanita berusia 44 tahun telah dijadwalkan untuk operasi histerektomi. Pasien mengalami penurunan daya lihat, visus mata kanan 1/300 sedangkan mata kiri adalah 1/~. Melalui teknik aseptik, 25 G jarum spinal disuntikan di interspatium L3-L4. Ruang subarachnoid dicapai setelah beberapa kali suntikan. Setelah itu, bupivakain spinal 0,5% 20 mg diinjeksikan.Satu hari setelah operasi, pasien menyadari bahwa ia tidak mampu menggerakkan kaki kirinya dan kaki kanan normal. Kasus ini dikonsulkan ke bagian neurologi dan rehabilitasi medik dan akupuntur. Tiga minggu pascaoperasi kekuatan motorik skala 1, sensorik hampir kembali normal, sensasi panas di kulit hampir hilang. Setelah 4 minggu, sebagian kekuatan motorik telah pulih, 8 minggu kemudian pulih total.Pembahasan: Jenis dan luasnya cedera saraf dapat bervariasi sesuai dengan orientasi jarum. Ketika bevel sejajar dengan sumbu panjang saraf, jarum lebih mudah untuk melewati serabut saraf. Saat jarum menyilang ke serabut saraf, lukanya lebih besar. Beberapa gangguan sensorik dan kelemahan anggota gerak dapat berlangsung lebih dari satu tahun. Pemeriksaan konduksi saraf berguna untuk melokalisasi dan menilai cedera saraf. Tanda-tanda denervasi pada elektromiogram (EMG) setelah cedera saraf akut membutuhkan 18-21 hari untuk berkembang.Kesimpulan: Dalam kasus ini, komplikasi muncul segera setelah pemulihan dari anestesi spinal dan pasien mengalami pemulihan total setelah 2 bulan. Komplikasi neurologi ini muncul dan diterapi dengan kortikosteroid, obat anti inflamasi, dan akupunktur tanpa adanya efek samping.
PENGARUH PEMBERIAN HEPARIN SUBKUTAN DAN HEPARIN INTRAVENA SEBAGAI PROFILAKSIS TROMBOSIS VENA DALAM (TVD) TERHADAP NILAI D-DIMER PADA PASIEN CRITICALL ILL DI ICU RSUP DR. KARIADI SEMARANG Satrio Adi Wicaksono
Media Medika Muda Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar Belakang : Heparin telah digunakan sebagai terapi maupun sebagai profilaksis primer TVD, walaupun keamanan heparin khususnya pada pasien critical ill yang memiliki risiko tinggi perdarahan  masih  merupakan subyek perdebatan. Untuk itu kami ingin mengetahui efektifitas heparin sebagai profilaksis TVD dan pengaruh pemberiannya terhadap nilai D-dimer pada pasien critical ill di ruang rawat intensif (ICU) RSUP DR. Kariadi Semarang.Tujuan : Pada penelitian ini peneliti ingin mengetahui perbedaan pengaruh pemberian heparin subkutan dibandingkan heparin intravena sebagai profilaksis TVD terhadap nilai D-dimer pada pasien critical ill di ruang rawat intensif (ICU) RSUP DR. Kariadi Semarang.Metode : Dilakukan Uji klinik  pada 30 pasien selama 3 hari dengan pemberian heparin subkutan 5000 IU bid sebagai kelompok I (n=15) dan  heparin 500 IU/jam intravena sebagai kelompok II (n=15) dengan membandingkan D-dimer pada pasien critical ill  di ruang rawat intensif (ICU) RSUP DR. Kariadi Semarang.Hasil : Setelah 3 hari diberikan profilaksis TVD didapatkan hasil yang bermakna pada kedua kelompok terhadap penurunan kadar D-dimer (p=0.05 dan p=0.00). Sedangkan pada perbandingan antara heparin SK dan heparin IV didapatkan hasil yang tidak bermakna pada pemeriksaan D-dimer (p=0.10)Simpulan : Pemberian heparin subkutan 5000 IU bid dan heparin 500 IU/jam intravena sebagai profilaksis TVD secara bermakna  dapat menurunkan kadar D-dimer. Sedangkan pada perbandingan  heparin SK dan heparin IV pada nilai D-dimer didapatkan hasil yang tidak bermakna. Kata kunci : heparin, TVD, D-dimer
PENGUATAN KOMODITI UNGGULAN MASYARAKAT MELALUI DIVERSIFIKASI PRODUK HAND SANITIZER BERBAHAN BAKU HERBAL KOMODITI LOKAL EKSTRAK DAUN TREMBESI Muhammad Mu’in; Satrio Adi Wicaksono; Vivi Endar Herawati; Lintang Dian Saraswati
Jurnal Pasopati : Pengabdian Masyarakat dan Inovasi Pengembangan Teknologi Vol 2, No 4 (2020)
Publisher : Fakultas Teknik Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kegiatan pengabdian masyarakat ini bermitra dengan kelompok masyarakat di RT Kelurahan Tembalang.. Lokasi mitra berada di dekat kampus Undip. Di era pandemic Covid-19 ini kebutuhan akan hand sanitizer di pasaran sangat penting.  Selain  itu,  masyarakat  juga  mendapat  dampak  negatif  secara ekonomi   yang   dikarenakan   penurunan   pertumbuhan   ekonomi   dan   beberapa perusahaan yang mem-PHK karayawannya. Di wilayah Kelurahan Tembalang terdapat komoditi tumbuhan Trembesi yang banyak tumbuh di wilayah ini dan dapat menjadi salah satu bahan baku herbal pembuatan hand sanitizer.Oleh karena itu dalam kegiatan ini di berikan pelatihan tentang diversifikasi produk hand sanitizer dari trembesi. Pendampingan setelah pelatihan untuk produksi diversifikasi hasil produk juga dilakukan. Metode penyelesaian yang digunakan pada program ini adalah melakukan evaluasi terhadap hasil pelatihan pendampingan dan membuat modul cara pembuatan hand sanitizer dari trembesi. Hasilnya sekarang masyarakat dapat membuat produk hand sanitizer secara mandiri. 
Efek Perbedaan Ventilasi Mekanik Positive End Expiratory Pressure (PEEP) Low dan Moderate terhadap Rasio PaO2/FiO2 Pascabedah pada Kraniotomi Elektif Muhammad Rizki; M. Sofyan Harahap; Satrio Adi Wicaksono
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 9, No 3 (2020)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2425.83 KB) | DOI: 10.24244/jni.v9i3.252

Abstract

Latar Belakang dan Tujuan: Kraniotomi elektif memiliki kejadian komplikasi paru pascaoperasi (25%) dan mortalitas (10%) yang tinggi. Penelitian ini berusaha mengetahui efek Positive End Expiratory Pressure (PEEP) 5 cmH2O and 8 cmH2O terhadap rasio PaO2/FiO2 pascaoperasi pada kraniotomi elektifSubjek dan Metode: Uji klinis acak ini dilakukan di satu rumah sakit pendidikan di Indonesia. Lima puluh dua pasien kraniotomi elektif (usia 17-55 tahun, lama bedah 4 jam, paru normal) dirandomisasi ke dalam 2 kelompok intervensi: ventilasi mekanik perioperatif dengan low Positive End Expiratory Pressure ( PEEP) (5 cmH2O) atau moderate PEEP (8 cmH2O). Hipotesis penelitian ini adalah rasio PaO2/FiO2 kelompok moderate PEEP lebih tinggi dibandingkan low PEEP. Analisis gas darah dilakukan pada 24 jam pasca induksi Hasil: Penelitian ini tidak menunjukkan perubahan yang signifikan rasio PaO2/FiO2 antara kelompok low PEEP dan moderate PEEP. Rasio PaO2/FiO2 kelompok low PEEP dan moderate PEEP secara berurutan adalah: pada 24 jam pasca induksi, 429,34 ± 72,25 mmHg dan 458,59 ± 71,11mmHg (p =0,147).Simpulan: Perbandingan low PEEP dan moderate PEEP pada ventilasi mekanik perioperatif tidak menghasilkan perbedaan nilai rasio PaO2/FiO2yang signifikan pada 24 jam pasca induksi.The Differential Effect of Low and Moderate Positive End Expiratory Pressure (PEEP) Mechanical Ventilation to Postoperative PaO2/FiO2 Ratio in Elective CraniotomyAbstractBackground and Objective: Elective craniotomy is associated with high incidence of postoperative pulmonary complications (PPC, 25%) and mortality (10%). We determined to study the effect of Positive End Expiratory Pressure (PEEP) 5 cmH2O and 8 cmH2O to postoperative PaO2 / FiO2 ratio (PF ratio) in elective craniotomy.Subject and Methods: This randomized clinical trial was at a university hospital in Indonesia. Fifty two elective craniotomy patients (ages 17–55 years, surgical duration 4 hours, normal lung) were randomized into 2 intervention groups: perioperative mechanical ventilation with low PEEP (5 cmH2O) or moderate PEEP (8 cmH2O). The hypothesis of this study is that the ratio of PaO2 / FiO2 in the moderate PEEP group is higher than low PEEP. Blood gas analysis was performed 24 hours post induction.Results: This study did not show a significant difference in the PaO2/FiO2 ratio between the low PEEP and moderate PEEP groups. The PaO2 / FiO2 ratios of the low PEEP and moderate PEEP groups were respectively: at 24 hours post induction, 429.34 ± 72.25 mmHg and 458.59 ± 71.11mmHg (p = 0.147). Conclusions: Comparison of low PEEP and moderate PEEP in perioperative mechanical ventilation did not result in a significant difference in the value of the PaO2/FiO2 ratio at 24 hours post induction
Seksio Sesarea pada Wanita G2P1A0 Hamil Aterm dengan Confirmed COVID-19 Disertai Diabetes Mellitus Dalam Terapi Insulin dan HIV Positif Satrio Adi Wicaksono; Taufik Eko Nugroho
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 14, No 3 (2022): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v0i0.48608

Abstract

Latar Belakang: Coronavirus disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit sistem pernapasan akut yang disebabkan oleh virus corona jenis baru (SARS-CoV-2) yang pertama kali ditemukan pada bulan Desember 2019 di Wuhan, Provinsi Hubei, China. Beberapa penyakit salah satunya diabetes mellitus, menjadi penyakit predisposisi perjalanan penyakit yang berat dan meningkatkan risiko kematian akibat COVID-19.  Penderita COVID-19, terlebih yang memiliki predisposisi penyakit lain seperti diabetes mellitus dan HIV, menjadi hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan perioperatif. Laporan kasus ini akan membahas teknik anestesi yang dipilih pada pasien ini, yang mana pasien dalam kondisi hamil, dengan COVID-19, diabetes mellitus, dan HIV positif.Kasus: Kami melaporkan sebuah kasus, seorang wanita 31 tahun dengan diagnosis G2P1A0 hamil aterm dirujuk ke RSUP Dr. Kariadi dengan HIV positif diabetes mellitus on insulin, bekas seksio sesarea, penderita dalam pengawasan (PDP) COVID-19. Penderita memiliki riwayat diabetes mellitus dengan insulin sejak 6 tahun lalu dan dinyatakan positif HIV sejak tahun 2019. Penderita memiliki keluhan batuk kering sejak 1 bulan yang lalu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum penderita tampak baik dengan kesadaran composmentis, tanda vital dalam batas normal. Swab antigen COVID-19 dinyatakan positif. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan keadaan anemia ringan dan hiponatremia. Penderita menjalani operasi seksio sesarea dengan anestesi spinal.Pembahasan: Sebelum operasi, selama operasi dan pascaoperasi seksio sesarea, hemodinamik penderita dalam keadaan stabil, hasil lab gula darah didapatkan hasil normal.  Penderita kemudian dirawat di ruangan dengan perawatan isolasi COVID-19.Kesimpulan: Anestesi regional merupakan pilihan untuk penderita dengan COVID-19 bila memungkinkan. Teknik anestesi regional yang tepat dapat menjaga fungsi pernapasan dan menghindari aerosolisasi untuk mencegah penularan virus COVID-19 dengan tetap memperhatikan level Alat Pelindung Diri dan penggunaan ruangan bertekanan negatif. Obat-obat anestesi umum dapat berbahaya bila berinteraksi dengan obat HIV, maka dari itu, anestesi regional lebih dipilih.