Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search
Journal : Majalah Anestesia

Efek Pemberian Lidokain Intravena Kontinu Intraoperasi terhadap Kebutuhan Isofluran dan Pemakaian Fentanil pada Operasi Dekompresi dan Stabilisasi Posterior Vertebra Taufik Anshori; Andi Muhammad Takdir Musba; Ratnawati
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 39 No 1 (2021): Februari
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (786.422 KB) | DOI: 10.55497/majanestcricar.v39i1.208

Abstract

Latar Belakang: Mual muntah dan nyeri pasca operasi menyebabkan ketidaknyamanan dan ketidakpuasan pasien setelah menjalani pembedahan dengan anestesi umum. Kejadian ini meningkat dengan penggunaan gas anestesi dan opioid dosis tinggi. Lidokain intravena perioperatif pada hewan dapat mengurangi minimum alveolar concentration (MAC) gas anestesi dan konsumsi opioid intraoperatif. Hingga saat ini belum ada penelitian mengenai pengaruh pemberian infus Lidokain kontinyu selama operasi terhadap penggunaan gas anestesi Isoflurane dan total konsumsi opioid intraoperatif pada operasi orthopedi. Tujuan: Menilai pengaruh pemberian bolus lidokain intravena 1,5 mg/kgBB sebelum intubasi endotrakeal diikuti dengan infus lidokain intravena 1,5 mg/kgBB/jam selama operasi dengan anestesi umum, terhadap jumlah penggunaan gas anestesi Isoflurane dan total konsumsi opioid intraoperasi dekompresi dan stabilisasi posterior vertebra. Metode: Penelitian uji klinis acak terkontrol secara acak tersamar ganda. Sebanyak 40 subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dibagi secara acak menjadi dua kelompok: kelompok Lidokain, yaitu kelompok yang mendapatkan bolus Lidokain 2% intravena 1,5 mg/kgBB pada 1 menit sebelum intubasi endotrakeal dan diikuti dengan infus Lidokain intravena 1,5 mg/kgBB/jam/syringe pump secara kontinyu selama operasi; kelompok kontrol, yaitu kelompok yang mendapatkan plasebo NaCl 0,9%. Selama operasi dilakukan pemantauan tekanan darah, laju jantung, elektrokardioram, dan saturasi oksigen dan nilai qNOX-qCON pada monitor. Tekanan arteri rata-rata dan laju jantung diukur setiap 3 menit. Hasil: Laju jantung tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna kecuali pada menit ke 60. Tekanan darah sistolik, diastolik, dan tekanan arteri rata-rata tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok. Terdapat perbedaan bermakna pada nilai qNOX dan qCON. Jumlah total penggunaan gas Isoflurane dan Fentanyl pada kelompok Lidokain secara signifikan lebih rendah dibandingkan pada kelompok kontrol. Simpulan: Lidokain intravena 1,5 mg/kgBB sebelum intubasi dilanjutkan infus Lidokain 1,5 mg/kgBB/jam menurunkan kebutuhan gas Isoflurane serta opioid intraoperatif selama operasi dekompresi dan stabilisasi posterior vertebra.
Perbandingan Efek Kombinasi Levobupivakain 0,1% 2 mg Fentanyl 25 μg dengan Bupivakain 0,1% 2 mg Fentanyl 25 μg Intratekal Terhadap Hemodinamik, Intensitas Nyeri dan Durasi Persalinan pada Persalinan Normal Albert Winata; Alamsyah Ambo Ala Husain; Andi Muhammad Takdir Musba
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 39 No 1 (2021): Februari
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (314.924 KB) | DOI: 10.55497/majanestcricar.v39i1.211

Abstract

Latar Belakang: Nyeri pada proses persalinan merupakan masalah yang kompleks. Respons fisiologis ibu terhadap nyeri persalinan dapat memengaruhi kesejahteraan ibu dan janin serta kemajuan persalinan. Regional analgesia dengan menggunakan kombinasi anestesi lokal dan opioid merupakan teknik yang paling populer. Penggunaan levobupivakain intratekal untuk manajemen nyeri persalinan mulai mengalami peningkatan karena memiliki efek samping minimal terhadap sistem saraf pusat, kardiovaskular dan blok motorik, namun efeknya masih kontroversial. Metode: Penelitian uji klinis tersamar tunggal. Sebanyak 38 subyek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok bupi1 yang mendapatkan analgesia persalinan intratekal dengan bupivakain 0.1% + fentanyl 25 µg dan kelompok levo1 yang mendapatkan levobupivakain 0.1% + fentanyl 25 µg. Penilaian hemodinamik (tekanan arteri rerata dan laju nadi), nyeri dengan menggunakan visual analogue scale (VAS), dan blok motorik dengan menggunakan skala bromage dilakukan sesaat sebelum diberikan analgesia intratekal dan 30 menit setelah diberikan analgesia intratekal. Pada kedua kelompok dilakukan pencatatan waktu lama persalinan yang dimulai dari sesaat dilakukan analgesia spinal hingga bayi lahir. Hasil: Perubahan tekanan arteri rerata tidak berbeda secara signifikan antara kedua kelompok. Pada kedua kelompok terjadi penurunan signifikan pada nilai rerata VAS, dimana perubahan VAS pada kelompok levo1 lebih besar secara signifikan dibandingkan pada kelompok bupi1. Bromage akhir 1 hanya ditemukan pada kelompok bupi1, sedangkan bromage akhir 0 ditemukan lebih banyak pada kelompok levo1, perbedaan ini signifikan secara statistik. Durasi persalinan tidak berbeda secara signifikan antara kedua kelompok. Simpulan: Levobupivakain 0,1% 2 mg dan fentanyl 25 µg intratekal dapat menjadi alternatif bupivakain pada analgesia persalinan karena memiliki efek perubahan hemodinamik yang sama, analgesia yang baik dengan blok motorik yang lebih rendah.
Perbandingan Efektivitas antara Dexmedetomidine dengan Fentanil Intravena dalam Menekan Respons Kardiovaskular pada Tindakan Laringoskopi dan Intubasi Dengan Panduan Bispectral Index Tekad Ariffianto; Hisbullah; Syafri Arif; Syamsul Salam; Andi Muhammad Takdir Musba; Andi Adil
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 40 No 2 (2022): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (409.132 KB) | DOI: 10.55497/majanestcricar.v40i2.261

Abstract

Latar Belakang: Berbagai cara telah digunakan untuk mengurangi gejolak hemodinamik saat laringoskopi dan intubasi. salah satunya dengan menggunakan fentanil. Pengadaan fentanil memiliki masalah karena digolongkan sebagai obat narkotika sehingga ketersediaannya terbatas. Alternatif lainnya yaitu dexmedetomidine. Penelitian ini menggunakan bispectral index untuk mengontrol kedalaman hipnotif sedatif. Monitoring BIS bertujuan untuk memastikan peningkatan hemodinamik yang terjadi bukan karena proses pulih sadar akibat dangkalnya hipnotif sedatif, sehingga peningkatan hemodinamik yang terjadi merupakan akibat dari respon nyeri. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektifitas pemberian dexmedetomidine 0,5 mcg/kgBB dengan fentanil 2 mcg/kgBB dalam menekan respon kardiovaskular pada tindakan laringoskopi dan intubasi. Metode: Penelitian ini menggunakan metode randomized clinical trial secara tersamar tunggal yang dilakukan di instalasi kamar operasi pusat RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar pada periode Februari - Maret 2022. Pasien dibagi kedalam dua kelompok: kelompok D (mendapatkan dexmedetomidine) dan kelompok F (mendapatkan fentanil). Karakteristik pasien dan indikator hemodinamik pasien sebelum dan beberapa menit setelah intubasi dicatat dan dianalisis untuk melihat perbandingan antar kelompok Hasil: Total terdapat 40 pasien yang dialokasikan ke tiap kelompok secara acak. Terdapat perbedaan perubahan tekanan darah sistolik (TDS), tekanan darah diastolik (TDD), tekanan arteri rerata (TAR), dan laju jantung (LJ) yang bermakna (p < 0,05) antar kelompok pada selisih waktu tertentu. Dexmedetomidine 0,5 mcg/kgBB pada penelitian ini efektif untuk menjaga hemodinamik selama tindakan laringoskopi dan intubasi dengan peningkatan TDS 16%, TDD 14%, TAR 15 % dan LJ 17 %. Kesimpulan: Dexmedetomidin lebih efektif menekan respon kardiovaskuler pada laringoskopi dan intubasi dibandingkan dengan fentanil. Dengan demikian, dexmedetomidin dapat digunakan menggantikan fentanil untuk laringoskopi dan intubasi
Terapi Farmakologis pada Pasien Sub Acute Postherpetic Neuralgia: Sebuah Laporan Kasus Alamsyah Irwan; Andi Muhammad Takdir Musba
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 2 (2023): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i2.278

Abstract

ABSTRAK Pendahuluan : Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster. Post Herpetic Neuralgia (PHN) ialah nyeri akibat zoster yang masih ada 1 bulan setelah perkembangan vesikel. Biasanya prognosisnya baik, namun beberapa pasien tetap menderita nyeri jangka panjang. Tujuan terapi PHN adalah mengurangi nyeri dan meningkatkan kualitas hidup. Obat antiepilepsi dan antidepresan trisiklik adalah pilihan pertama. Ilustrasi Kasus : Pada laporan kasus ini, dilakukan pengamatan pada pasien laki-laki berusia 32 tahun dengan nyeri kepala sebelah kiri menjalar seperti listrik hingga kelopak mata kiri selama ± 6 minggu, rasa tertusuk-tusuk paku secara tiba-tiba, terasa kebas/kram, terdapat nyeri saat disentuh (allodynia), dan hipoestesia. Riwayat penyakit sebelumnya ialah herpes zoster dan mendapatkan terapi acyclovir dan simpotamis seperti paracetamol, asam mefenamat, dexamethasone, dan cetirizine. Pasien datang dengan Visua Analog Scale (VAS) 6-7/10 dan didiagnosis dengan Sub Acute Post Herpetic Neuralgia. Pasien mendapatkan terapi Lyrica (Pregabalin) 50 mg 2 kali sehari 1 tablet, Amitriptyline 10 mg sekali sehari 1 tablet, Ultracet (Tramadol 37,5 mg + paracetamol 375 mg) 3 kali sehari 1 tablet. Setelah hari ke-14 VAS pasien berkurang menjadi 2/10, namun timbul efek samping berupa bibir kering dan sering ngantuk dan pengobatan yang berlanjut hanya Amitriptyline 10 mg/hari. Simpulan : Pemberian terapi yang cepat pada PHN memberikan pencegahan terjadinya nyeri yang refrakter, sehingga sulit memberikan terapi yang adekuat. Pemberian terapi lini pertama pada PHN subakut menggunakan agen amitriptyline, pregabalin, dan tramadol memberikan efek yang sangat baik dalam mengatasi nyeri pada subacute PHN, akan tetapi perlu adanya pemantauan tentang efek samping yang terjadi dikarenakan potensiasi pada ketiga obat tersebut. Kata Kunci : amitriptyline, pregabalin, subacute post herpetic neuralgia, tramadol, visual analog scale