Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Implementasi Nilai-Nilai HAM Global Ke dalam Sistem Hukum Indonesia yang Berlandaskan Pancasila Yuli Asmara Triputra
Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM Vol. 24 No. 2: APRIL 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/iustum.vol24.iss2.art6

Abstract

Sebagai negara hukum dan bagian dari warga masyarakat dunia, Indonesia tidak dapat bersikap apatis terhadap persoalan hak asasi manusia (HAM). Untuk itulah, implementasi nilai-nilai HAM haruslah dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Berangkat dari persoalan bagaimana implementasi nilai-nilai HAM global ke dalam sistem hukum Indonesia yang berlandaskan Pancasila, maka melalui penelitian hukum normative akan dicari jawaban atas persoalan dimaksud.Dari hasil pembahasan, dapatlah disimpulkan bahwa implementasi nilai-nilai HAM global kedalam sistem hukum suatu negara tidaklah dapat mengabaikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Demikian halnya Indonesia dengan Pancasila sebagai cita hukumnya, yang akan mempengaruhi dan berfungsi sebagai asas umum yang mempedomani (guiding principle), norma kritik (kaidah evaluasi) dan faktor yang memotivasi dalam penyelenggaraan hukum (pembentukan, penemuan, dan penerapan hukum) dan perilaku hukum. Hal ini menempatkan Pancasila sebagai bintang pemandu (leitstern) bagi pembuatan undang-undang HAM di Indonesia agar selaras dengan nilai-nilai HAM yang terdapat pada Pancasila dan UUD NRI 1945. Pancasila telah menjadi dasar pengikat konsistensi dari sistem hukum Indonesia, sehingga norma HAM yang terkandung dalam UUD NRI 1945 dapat berfungsi regulatif maupun konstitutif. Fungsi regulatif menempatkan norma HAM dalam konstitusi (UUD) sebagai tolok ukur untuk menguji, apakah undang-undang atau hukum positif telah selaras dengan cita-cita HAM yang didasarkan pada Pancasila.  Sebagai fungsi konstitutif menentukan tanpa semangat HAM dalam UUD, undang-undang atau hukum positif akan kehilangan makna sebagai hukum yang bermanfaat untuk kemaslahatan masyarakat.
ANALISIS YURIDIS BENTUK DAN BATASAN KEBEBASAN BEREKSPRESI DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA Yuli Asmara Triputra
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol. 27 No. 3 (2021): September
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/disiplin.v27i3.55

Abstract

Abstrak Adapun yang perlu di garis bawahi dari materi perundang-undangan mengenai kebebasan berekspresi dan ujaran kebencian adalah penghinaan terhadap penguasa atau badan umum di muka umum, menyiarkan, mempertunjukan atau menempelkan tulisan atau lukisan yang memuat penghinaan terhadap penguasa atau badan umum, penyebaran tindakan asusila, perjudian, pencemaran nama baik, penghinaan, pemerasan atau pengancaman lalu penistaan agama, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi menghasut, hoax, yang mengakibatkan diskriminasi serta kekerasan ataupun penghilangan nyawa pada kelompok sosial dan memprovokasi sesorang atau kelompok masyaraakat dalam aspek suku, agama, ras, aliran keagaamaaan, warna kulit, gender, antar golongan, difabel serta orientasi sexual menyimpang baik di muka umum ataupun di media sosial internet. Adapun dalam sistem hukum di Indonesia pemerintah membuat batasan-batasan pada kebebasan berekspresi. Dikarenakan begitu banyaknya ekspresi yang didasari dengan kebencian yang mengakibatkan terciptanya konflik antar individu dan golongan.yang terkait suku, agama, ras dan adat (SARA). Pembatasan kebebasan berekspresi tersebut diatur dalam :Undang-undang KUHP Pasal 207 dan 208, Undang-undang No 19 Tahun 2016 Pasal 27 dan pasal 28, dan Surat Edaran Kapolri No SE/06/X/2015, yang mana pelanggar dari Undang-Undang tersebut dapat dikatakan pelanggaran terhadap Undang-Undang sehingga bisa di kenakan tindak pidana baik berupa kurungan ataupun denda. Kata Kunci : Kebebasan Berekspresi, Ujaran Kebencian, Sistem Hukum Indonesia Abstract As for what needs to be underlined from the material of legislation regarding freedom of expression and hate speech is insulting the authorities or public bodies in public, broadcasting, showing or pasting writings or paintings that contain insults to the authorities or public bodies, spreading immoral acts, gambling. , defamation, humiliation, extortion or threats and then blasphemy, unpleasant acts, inciting provocations, hoaxes, which result in discrimination and violence or loss of life in social groups and provoke a person or community group in terms of ethnicity, religion, race, religious sect , skin color, gender, inter-group, disabled and deviant sexual orientation both in public and on internet social media. As for the legal system in Indonesia, the government places restrictions on freedom of expression. Because there are so many expressions based on hatred that result in the creation of conflicts between individuals and groups related to ethnicity, religion, race and customs (SARA). The restrictions on freedom of expression are regulated in: the Criminal Code Law Articles 207 and 208, Law No. 19 of 2016 Articles 27 and 28, and the Circular Letter of the Chief of Police No SE/06/X/2015, which are violators of these laws. can be said to be a violation of the law so that it can be subject to criminal acts in the form of imprisonment or fines.
PELAKSANAAN ASAS HUKUM RETROAKTIF TERHADAP PENEGAKAN HUKUM PIDANA MATRILL Yuli Asmara Triputra; Rohman Hasyim
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol. 28 No. 1 (2022): Maret
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/disiplin.v28i1.64

Abstract

Abstrak Persoalan retroaktif sendiri muncul sebagai konsekuensi diterapkannya asas legalitas. Asas legalitas sendiri dapat dikaji berdasarkan berbagai aspek, seperti aspek historis, aspek sosio kriminologis, aspek pembaharuan hukum dalam kaitannya dengan pandangan secara imperatif dan linier, aspek yang terkait dengan politik kriminal serta kajian dari perspektif weltanschaung kita yaitu Pancasila, kajian dari masing-masing aspek ini memberi implikasi yang berbeda mengenai asas legalitas yang mana dalam pandangan ilmu pengetahuan perbedaan itu justru akan memperkaya khasanah ilmu hukum pidana itu sendiri, Larangan pemberlakuan surut suatu peraturan pidana (retroaktif) yang tercantum dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 Amandemen Kedua menimbulkan implikasi peraturan di bawah UUD 1945 tidak dapat mengeyampingkan asas tersebut. Pemberlakuan Asas Retroaktif hanya berkaitan dengan hukum pidana materiil. Dari kalimat “nullum delictum” yang artinya “tidak ada delik” dan “nulla poena” yang artinya “tidak ada pidana” menunjukan bahwa hal tersebut merupakan ranah hukum pidana materiil. Pemberlakuan Asas Retroaktif tidak dapat diberlakukan dalam hukum pidana formil secara umum yakni KUHAP, namun Asas Retroaktif dapat diberlakukan dalam hukum pidana formil secara khusus yakni dalam Undang-Undang KPK. Kata Kunci : Asas Legalitas, Asas Retroaktif, Penegakan Hukum Abstract Retroactive problems arise as a consequence of the application of the principle of legality. The principle of legality itself can be studied based on various aspects, such as historical aspects, socio-criminological aspects, aspects of legal reform in relation to imperative and linear views, aspects related to criminal politics and studies from our Weltanschaung perspective, namely Pancasila, a study of each aspect This gives different implications regarding the principle of legality which in the view of science the difference will actually enrich the repertoire of criminal law itself. The prohibition of retroactive application of a criminal regulation contained in Article 28 I paragraph (1) of the Second Amendment of the 1945 Constitution raises the implications of regulations under the 1945 Constitution cannot override this principle. The application of the Retroactive Principle is only related to material criminal law. From the sentences "nullum delictum" which means "no offense" and "nulla poena" which means "no crime" shows that this is the realm of material criminal law. The application of the Retroactive Principle cannot be applied to formal criminal law in general, namely the Criminal Procedure Code, but the Retroactive Principle can be applied to formal criminal law specifically, namely the KPK Law.
DIVERSI SEBAGAI PERWUJUDAN RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM DI INDONESIA Yuli Asmara Triputra; Enni Merita; Kinaria Afriani
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum Vol 9, No 1 (2022): Desember
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/lljih.v9i1.668

Abstract

Abstrak Sistem peradilan pidana khusus bagi anak tentu memiliki tujuan khusus bagi kepentingan masa depan anak dan masyarakat yang di dalamnya terkandung prinsip-prinsip keadilan. Keadilan restoratif adalah suatu metode yang secara filosofinya dirancang untuk menjadi suatu resolusi penyelesaian dari konflik yang sedang terjadi dengan cara memperbaiki keadaan ataupun kerugian yang ditimbulkan dari konflik tersebut.Dialog dan mediasi dalam keadilan restoratif melibatkan beberapa pihak di antaranya pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak-pihak lainnya yang terkait. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengadopsi keadilan restorative dalam penanganan perkara anak dengan kewajiban penerapan diversi pada semua tingkat pemeriksaan dalam system peradilan pidana, mulai dari penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di persidangan.Diversi yang didasarkan pada diskresi dari aparat penegak hukum adalah upaya melindungi anak dari tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan terbaik bagi anak. Kata Kunci : Anak, Diversi, Restoratif Justice Abstract The special criminal justice system for children certainly has a special purpose for the future interests of children and society in which the principles of justice are embodied. Restorative justice is a method that is philosophically designed to be a resolution to an ongoing conflict by improving conditions or losses arising from the conflict. Dialogue and mediation in restorative justice involve several parties including the perpetrator, the victim, the perpetrator's family or the victim. , and other related parties. Law Number 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System adopts restorative justice in handling child cases with the obligation to implement diversion at all levels of examination in the criminal justice system, starting from investigation, prosecution and examination at trial. Diversion is based on the discretion of enforcement officers The law is an effort to protect children from actions that are contrary to the best interests of the child.