Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda

ANALISIS YURIDIS BENTUK DAN BATASAN KEBEBASAN BEREKSPRESI DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA Yuli Asmara Triputra
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol. 27 No. 3 (2021): September
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/disiplin.v27i3.55

Abstract

Abstrak Adapun yang perlu di garis bawahi dari materi perundang-undangan mengenai kebebasan berekspresi dan ujaran kebencian adalah penghinaan terhadap penguasa atau badan umum di muka umum, menyiarkan, mempertunjukan atau menempelkan tulisan atau lukisan yang memuat penghinaan terhadap penguasa atau badan umum, penyebaran tindakan asusila, perjudian, pencemaran nama baik, penghinaan, pemerasan atau pengancaman lalu penistaan agama, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi menghasut, hoax, yang mengakibatkan diskriminasi serta kekerasan ataupun penghilangan nyawa pada kelompok sosial dan memprovokasi sesorang atau kelompok masyaraakat dalam aspek suku, agama, ras, aliran keagaamaaan, warna kulit, gender, antar golongan, difabel serta orientasi sexual menyimpang baik di muka umum ataupun di media sosial internet. Adapun dalam sistem hukum di Indonesia pemerintah membuat batasan-batasan pada kebebasan berekspresi. Dikarenakan begitu banyaknya ekspresi yang didasari dengan kebencian yang mengakibatkan terciptanya konflik antar individu dan golongan.yang terkait suku, agama, ras dan adat (SARA). Pembatasan kebebasan berekspresi tersebut diatur dalam :Undang-undang KUHP Pasal 207 dan 208, Undang-undang No 19 Tahun 2016 Pasal 27 dan pasal 28, dan Surat Edaran Kapolri No SE/06/X/2015, yang mana pelanggar dari Undang-Undang tersebut dapat dikatakan pelanggaran terhadap Undang-Undang sehingga bisa di kenakan tindak pidana baik berupa kurungan ataupun denda. Kata Kunci : Kebebasan Berekspresi, Ujaran Kebencian, Sistem Hukum Indonesia Abstract As for what needs to be underlined from the material of legislation regarding freedom of expression and hate speech is insulting the authorities or public bodies in public, broadcasting, showing or pasting writings or paintings that contain insults to the authorities or public bodies, spreading immoral acts, gambling. , defamation, humiliation, extortion or threats and then blasphemy, unpleasant acts, inciting provocations, hoaxes, which result in discrimination and violence or loss of life in social groups and provoke a person or community group in terms of ethnicity, religion, race, religious sect , skin color, gender, inter-group, disabled and deviant sexual orientation both in public and on internet social media. As for the legal system in Indonesia, the government places restrictions on freedom of expression. Because there are so many expressions based on hatred that result in the creation of conflicts between individuals and groups related to ethnicity, religion, race and customs (SARA). The restrictions on freedom of expression are regulated in: the Criminal Code Law Articles 207 and 208, Law No. 19 of 2016 Articles 27 and 28, and the Circular Letter of the Chief of Police No SE/06/X/2015, which are violators of these laws. can be said to be a violation of the law so that it can be subject to criminal acts in the form of imprisonment or fines.
PELAKSANAAN ASAS HUKUM RETROAKTIF TERHADAP PENEGAKAN HUKUM PIDANA MATRILL Yuli Asmara Triputra; Rohman Hasyim
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol. 28 No. 1 (2022): Maret
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/disiplin.v28i1.64

Abstract

Abstrak Persoalan retroaktif sendiri muncul sebagai konsekuensi diterapkannya asas legalitas. Asas legalitas sendiri dapat dikaji berdasarkan berbagai aspek, seperti aspek historis, aspek sosio kriminologis, aspek pembaharuan hukum dalam kaitannya dengan pandangan secara imperatif dan linier, aspek yang terkait dengan politik kriminal serta kajian dari perspektif weltanschaung kita yaitu Pancasila, kajian dari masing-masing aspek ini memberi implikasi yang berbeda mengenai asas legalitas yang mana dalam pandangan ilmu pengetahuan perbedaan itu justru akan memperkaya khasanah ilmu hukum pidana itu sendiri, Larangan pemberlakuan surut suatu peraturan pidana (retroaktif) yang tercantum dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 Amandemen Kedua menimbulkan implikasi peraturan di bawah UUD 1945 tidak dapat mengeyampingkan asas tersebut. Pemberlakuan Asas Retroaktif hanya berkaitan dengan hukum pidana materiil. Dari kalimat “nullum delictum” yang artinya “tidak ada delik” dan “nulla poena” yang artinya “tidak ada pidana” menunjukan bahwa hal tersebut merupakan ranah hukum pidana materiil. Pemberlakuan Asas Retroaktif tidak dapat diberlakukan dalam hukum pidana formil secara umum yakni KUHAP, namun Asas Retroaktif dapat diberlakukan dalam hukum pidana formil secara khusus yakni dalam Undang-Undang KPK. Kata Kunci : Asas Legalitas, Asas Retroaktif, Penegakan Hukum Abstract Retroactive problems arise as a consequence of the application of the principle of legality. The principle of legality itself can be studied based on various aspects, such as historical aspects, socio-criminological aspects, aspects of legal reform in relation to imperative and linear views, aspects related to criminal politics and studies from our Weltanschaung perspective, namely Pancasila, a study of each aspect This gives different implications regarding the principle of legality which in the view of science the difference will actually enrich the repertoire of criminal law itself. The prohibition of retroactive application of a criminal regulation contained in Article 28 I paragraph (1) of the Second Amendment of the 1945 Constitution raises the implications of regulations under the 1945 Constitution cannot override this principle. The application of the Retroactive Principle is only related to material criminal law. From the sentences "nullum delictum" which means "no offense" and "nulla poena" which means "no crime" shows that this is the realm of material criminal law. The application of the Retroactive Principle cannot be applied to formal criminal law in general, namely the Criminal Procedure Code, but the Retroactive Principle can be applied to formal criminal law specifically, namely the KPK Law.