Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : Al-Mizan: Jurnal Hukum Islam dan Ekonomi Syariah

Eksistensi Testimonium De Auditu Sebagai Alat Bukti Pada Proses Penyelesaian Perkara Menurut Pandangan Hukum Acara Perdata Dan Fiqh Al-Syāfi’iyyah Faisal
Al-Mizan Vol 4 No 1 (2017): Al-Mizan
Publisher : Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perbedaan pandangan mengenai testimonium de auditu sampai sekarang masih terjadi di kalangan akademik dan kalangan praktisi antara menerima dan menolak testimonium de auditu sebagai alat bukti sehingga berakibat tidak ada standar hukum (law standart) dan tidak mempunyai kesamaan pola tindak, pola pikir atau dalam istilah Peradilan disebut unified legal frame work dan unified legal opinion. Bahkan dalam Fiqh Al-Syāfi’iyyah tidak ditemukan istilah testimonium de auditu tersebut, ini bukan berarti dalam Fiqh Al-Syāfi’iyyah tidak ada bahasan sama sekali, akan tetapi barangkali ada beberapa konsep Fiqh Al-Syāfi’iyyah yang dapat dikaitkan, sehingga timbul suatu persoalan bagaimana eksistensinya dalam sebuah yurisprudensi ketika menyelesaikan suatu perkara? Berangkat dari uraian di atas, maka tulisan ini akan membahas “Eksistensi Testimonium De Auditu Sebagai Alat Bukti Pada Proses Penyelesaian Perkara Menurut Pandangan Hukum Acara Perdata dan Fiqh Al-Syāfi’iyyah”. Testimonium de auditu adalah keterangan yang saksi peroleh dari orang lain, ia tidak mendengarnya atau mengalaminya sendiri, hanya ia dengar dari orang lain tentang kejadian tersebut atau adanya hal-hal tersebut. Fiqh Al-Syāfi’iyyah menyebutnya dengan istilah Khābar Istifādhah yaitu kesaksian atau keterangan karena mendengar dari orang lain, disebut juga kesaksian tidak langsung atau bukan saksi mata yang mengalami. Eksistensi testimonium de auditu sebagai alat bukti pada proses penyelesaian suatu perkara ditinjau menurut Hukum Acara Perdata pada dasarnya masih terjadi perdebatan di kalangan akademisi maupun kalangan praktisi antara kelompok yang menolak dan yang memperbolehkannya, namun untuk mensikapinya adalah tidak serta merta harus menolak sehingga tidak ada nilainya sama sekali, karena dalam keadaan tertentu dapat diterima sebagai alat bukti dengan dengan mempertimbangkan sejauh mana kualitas dan nilai kekuatan pembuktiannya yang melekat pada keterangannya serta dapat dipertimbangkan dari segi kondisionalnya dengan tanpa melepaskan keadaan yang melekat dan mengitarinya, sebagaimana yang terdapat dalam yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Adapun tinjauan Fiqh Al-Syāfi’iyyah terhadap keberadaan testimonium de auditu sebagai alat bukti dapat diterima hanya dalam suatu perkara keperdataan saja seperti keturunan, perwaqafan, dan pernikahan. Hal ini berbeda dengan yurisprudensi Hukum Acara Perdata, tanpa mengkhususkan perkara-perkara tertentu saja.
Keabsahan Nikah Misyār: (Studi Komparatif Fiqih Klasik Dan Fiqih Kontemporer) Faisal
Al-Mizan Vol 3 No 2 (2016): Al-Mizan
Publisher : Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54621/jiam.v3i2.440

Abstract

Asumsi awal ketika seorang mengetahui apa sebenarnya nikah Misyār mungkin akan terlintas dalam pikirannya bahwa pernikahan ini adalah nama lain dari nikah Mut’ah atau nikah wisata yang banyak terjadi di daerah puncak Bogor. Karena kalau diperhatikan sekilas nikah Misyār ini seolah-olah merupakan perkawinan yang terbatas masanya, sebab ketika suami yang melakukan perjalanan dan melaksanakan pernikahan, kemudian ia kembali ke daerah asalnya, maka besar kemungkinan pernikahan ini tidak bisa dilanjutkan dan akan berakhir. Pernikahan Misyār ini menimbulkan perdebatan terutama di kalangan ulama kontemporer. Karena model nikah Misyār baru dikenal masa kini, maka para ulama kontemporer berbeda pendapat menghukuminya. Sedangkan dalam Fiqh klasik khususnya Fiqh Syāfi’iyyah tidak ditemukan istilah pernikahan Misyār ini, akan tetapi dalam Fiqh Syāfi’iyyah mungkin saja dapat ditemukan beberapa konsep yang berkaitan dengan hak dan kewajiban suami isteri dalam menjalin rumah tangga. Barangkali konsep tersebut bisa dikaitkan dengan problema nikah Misyār. Berkaitan dengan realitas permasalahan tersebut, maka ada beberapa hal yang menganjal yang perlu dicarikan jawabannya, yaitu: Pertama, apakah nikah Misyār ini benar memiliki kesamaan dengan nikah Mut’ah atau nikah wisata yang dilarang dalam Islam ? Kedua,. Bagaimana perbedaan fatwa ulama kontemporer tentang hukum nikah Misyār ?. Ketiga, Bagaimana pandangan Fiqh klasik khususnya Fiqh Syāfi’iyyah tentang pernikahan Misyār ini bila dikaitkan dengan hak dan kewajiban suami isteri dalam menjalin rumah tangga. Inilah beberapa pertanyaan yang ingin dielaborasi dalam tulisan ini dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif, kemudian dianalisis secara komparatif dan menggunakan penalaran deduktif (istinbath).