Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Taukīl dalam Menerima Nikah Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Pandangan Fiqh Syāfi’iyyah Faisal
Al-Fikrah Vol 8 No 1 (2019): Jurnal Al-Fikrah
Publisher : Institut Agama Islam Al-Aziziyah Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (348.108 KB)

Abstract

Dalam pasal 29 ayat 2 KHI terlihat jelas bahwa menerima nikah dapat diwakilkan dengan memberikan kuasa kepada seseorang. Namun bagaimana dengan pandangan Fiqh Syāfi’iyyah terhadap Undang-undang tersebut bolehkah mempelai laki-laki memberikan kuasa kepada seseorang untuk menerima nikahnya karena peraturan seperti KHI diambil dari sumber- sumber yang bukan Syāfi’iyyah saja tetapi juga hambalī, hanafī, dan malikī bahkan az-zahirī. Berdasarkan pertimbangan di atas maka penulis merasa perlu adanya sebuah penelitian untuk membandingkan konsep taukīl dalam menerima nikah yang telah disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan konsep Fiqh Syāfi’iyyah, barangkali penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan dan pedoman oleh hakim di Pengadilan Agama selama ini yang bermazhab Syāfi’iyyah agar tidak terjadi pertentangan antara undang-undang tersebut dengan mazhab yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Aceh. Penulisan ini bertujuan untuk meneliti bagaimana pandangan KHI dan Fiqh Syāfi’iyyah mengenai taukīl dalam menerima nikah. Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research). Metode yang digunakan yaitu metode penelitian deskriptif analisis, Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pandangan Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai taukīl dalam menerima nikah harus dilakukan dengan tegas dan harus dilakukan dengan suatu pernyataan tertulis sebagai surat kuasa dari mempelai pria kepada orang ditunjuk. Hal ini dimaksudkan bahwa dengan adanya aturan tersebut segala kemungkinan perselisihan dan permasalahan di kemudian hari dapat diminimalisir dan akhirnya dapat dipertanggungjawabkan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pandangan Fiqh Syāfi’iyyah terhadap taukīl dalam menerima nikah adalah dibolehkan selama mengikuti ketentuannya seperti tidak mewakilkan pada anak-anak, perempuan, budak tanpa izin majikannya, atau suami sedang dalam keadaan ihram, karena setiap aqad yang boleh dilakukan oleh dirinya sendiri, berarti boleh juga diwakilkan kepada orang lain. Maka jika calon suami boleh menerima nikah untuk dirinya, boleh pula ia men-taukīlkan pada orang selainnya.
Kedudukan Wali dan Hak Ijbār Nikah Bagi Janda di Bawah Umur Dalam Perspektif Fiqh Al-Syāfi’īyyah Faisal
Al-Fikrah Vol 8 No 2 (2019): Jurnal Al-Fikrah
Publisher : Institut Agama Islam Al-Aziziyah Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1157.376 KB)

Abstract

Wali tidak boleh menikahkan perempuan yang janda sebelum wali meminta persetujuannya untuk dinikahkan, sebaliknya, apakah ia berhak menikah meskipun tidak ada persetujuan dari walinya, karena janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya. Namun bagaimana halnya jika janda tersebut masih di bawah umur, sedangkan janda yang belum dewasa dianggap masih belum dapat menentukan dan memutuskan calon suami yang baik. Apakah sah ia menikah walaupun tanpa walinya. Kemudian yang kedua, wali tidak boleh menikahkan perempuan janda itu sebelum wali meminta persetujuannya untuk dinikahkan, karena janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya. Namun bagaimana halnya jika janda tersebut masih di bawah umur, sedangkan janda yang belum dewasa dianggap masih belum dapat menentukan dan memutuskan calon suami yang baik. Apakah walinya berhak memaksakannya, padahal di suatu segi ia masih di bawah umur sedangkan di segi yang lain ia sudah janda. Oleh karena demikian penulis tertarik membahas masalah ini dengan judul“Kedudukan Wali Dan Hak Ijbār Nikah Bagi Janda Di Bawah Umur Dalam Perspektif Fiqh Al-Syāfi’īyyah”. Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research). Metode yang digunakan yaitu metode penelitian deskriptif komparatif, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan wali nikah bagi janda di bawah umur menurut perspektif Fiqh Al-Syāfi’īyyah adalah sebagai rukun, sehingga pernikahan yang dilakukan dengan tidak ada wali hukumnya tidak sah meskipun perempuan tersebut janda, apalagi jika ia masih di bawah umur. Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad pernikahan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditempatkan sebagai rukun dalam pernikahan menurut kesepakatan ulama secara prinsip. Dalam akad pernikahan itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan pernikahan tersebut. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa hak ijbār nikah bagi janda di bawah umur menurut perspektif Fiqh Al-Syāfi’īyyah sudah gugur. Ini berarti tidak boleh bagi bapak (sebagai wali nikah) mengawinkan anaknya apabila dia (anak perempuan) itu sudah tsayyib (janda), walaupun dia (anak perempuan) itu di bawah umur. Sesungguhnya bapak itu mengawinkan yang masih kecil, apabila dia itu bikir (gadis).
Eksistensi Testimonium De Auditu Sebagai Alat Bukti Pada Proses Penyelesaian Perkara Menurut Pandangan Hukum Acara Perdata Dan Fiqh Al-Syāfi’iyyah Faisal
Al-Mizan Vol 4 No 1 (2017): Al-Mizan
Publisher : Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perbedaan pandangan mengenai testimonium de auditu sampai sekarang masih terjadi di kalangan akademik dan kalangan praktisi antara menerima dan menolak testimonium de auditu sebagai alat bukti sehingga berakibat tidak ada standar hukum (law standart) dan tidak mempunyai kesamaan pola tindak, pola pikir atau dalam istilah Peradilan disebut unified legal frame work dan unified legal opinion. Bahkan dalam Fiqh Al-Syāfi’iyyah tidak ditemukan istilah testimonium de auditu tersebut, ini bukan berarti dalam Fiqh Al-Syāfi’iyyah tidak ada bahasan sama sekali, akan tetapi barangkali ada beberapa konsep Fiqh Al-Syāfi’iyyah yang dapat dikaitkan, sehingga timbul suatu persoalan bagaimana eksistensinya dalam sebuah yurisprudensi ketika menyelesaikan suatu perkara? Berangkat dari uraian di atas, maka tulisan ini akan membahas “Eksistensi Testimonium De Auditu Sebagai Alat Bukti Pada Proses Penyelesaian Perkara Menurut Pandangan Hukum Acara Perdata dan Fiqh Al-Syāfi’iyyah”. Testimonium de auditu adalah keterangan yang saksi peroleh dari orang lain, ia tidak mendengarnya atau mengalaminya sendiri, hanya ia dengar dari orang lain tentang kejadian tersebut atau adanya hal-hal tersebut. Fiqh Al-Syāfi’iyyah menyebutnya dengan istilah Khābar Istifādhah yaitu kesaksian atau keterangan karena mendengar dari orang lain, disebut juga kesaksian tidak langsung atau bukan saksi mata yang mengalami. Eksistensi testimonium de auditu sebagai alat bukti pada proses penyelesaian suatu perkara ditinjau menurut Hukum Acara Perdata pada dasarnya masih terjadi perdebatan di kalangan akademisi maupun kalangan praktisi antara kelompok yang menolak dan yang memperbolehkannya, namun untuk mensikapinya adalah tidak serta merta harus menolak sehingga tidak ada nilainya sama sekali, karena dalam keadaan tertentu dapat diterima sebagai alat bukti dengan dengan mempertimbangkan sejauh mana kualitas dan nilai kekuatan pembuktiannya yang melekat pada keterangannya serta dapat dipertimbangkan dari segi kondisionalnya dengan tanpa melepaskan keadaan yang melekat dan mengitarinya, sebagaimana yang terdapat dalam yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Adapun tinjauan Fiqh Al-Syāfi’iyyah terhadap keberadaan testimonium de auditu sebagai alat bukti dapat diterima hanya dalam suatu perkara keperdataan saja seperti keturunan, perwaqafan, dan pernikahan. Hal ini berbeda dengan yurisprudensi Hukum Acara Perdata, tanpa mengkhususkan perkara-perkara tertentu saja.
Ketentuan Batas Usia Wali Nasab Dalam Pernikahan : (Analisis Pasal 18 PMA Nomor 11 Tahun 2007 dan Fiqh Al-Syāfi’iyah) Faisal
Al-Fikrah Vol 11 No 1 (2022): Jurnal Al-Fikrah
Publisher : Institut Agama Islam Al-Aziziyah Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54621/jiaf.v11i1.307

Abstract

Dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah disebutkan salah satu syarat bagi wali nikah adalah baligh (berumur sekurang-kurangnya 19 tahun). Jadi usia baligh menurut ketentuan PMA 11/2007 adalah 19 tahun, seorang wali nasab yang telah baligh tetapi belum berusia 19 tahun, maka wali nasab tersebut tidak dapat menjadi wali nikah. Sedangkan Fiqh Syafi’īyah tidak seperti demikian. Berdasarkan hal di atas maka akan nampak sebuah kesenjangan dalam menetapkan usia baligh. Peraturan Menteri Agama (PMA) menentukan usia baligh minimalnya 19 untuk sah seorang menjadi wali nasab. Sedangkan Fiqh Syafi’īyah tidak seperti demikian. Sehingga butuh sebuah analisa terhadap ketentuan tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Dari segi jenisnya penelitian ini adalah penelitian kualitatif, bersifat deskriptif analisis, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketentuan usia wali nasab menurut Pasal 18 PMA No. 11 Tahun 2007 adalah 19 tahun, seorang wali nasab yang belum berusia 19 tahun maka wali nasab tersebut tidak dapat menjadi wali nikah. Dalam Fiqh Syāfi’iyah tidak ada ketentuan usia wali nasab dalam pernikahan harus mencapai 19 tahun, bahkan orang yang telah berusia 15 tahun pun sah menjadi wali nikah, karena menurut Fiqh al-Syāfi’iyah wali dianggap baligh apabila ia telah mencapai ihtilam yaitu apabila telah mengeluarkan air mani baik dalam mimpi atau dalam keadaan terjaga, sehingga jika seorang wali yang telah berusia lima belas tahun menikahkan saudara perempuannya sedangkan ia belum mencapai umur 19 tahun maka nikahnya dianggap sah, karena perwaliannya dianggap sah.
Keabsahan Nikah Misyār: (Studi Komparatif Fiqih Klasik Dan Fiqih Kontemporer) Faisal
Al-Mizan Vol 3 No 2 (2016): Al-Mizan
Publisher : Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54621/jiam.v3i2.440

Abstract

Asumsi awal ketika seorang mengetahui apa sebenarnya nikah Misyār mungkin akan terlintas dalam pikirannya bahwa pernikahan ini adalah nama lain dari nikah Mut’ah atau nikah wisata yang banyak terjadi di daerah puncak Bogor. Karena kalau diperhatikan sekilas nikah Misyār ini seolah-olah merupakan perkawinan yang terbatas masanya, sebab ketika suami yang melakukan perjalanan dan melaksanakan pernikahan, kemudian ia kembali ke daerah asalnya, maka besar kemungkinan pernikahan ini tidak bisa dilanjutkan dan akan berakhir. Pernikahan Misyār ini menimbulkan perdebatan terutama di kalangan ulama kontemporer. Karena model nikah Misyār baru dikenal masa kini, maka para ulama kontemporer berbeda pendapat menghukuminya. Sedangkan dalam Fiqh klasik khususnya Fiqh Syāfi’iyyah tidak ditemukan istilah pernikahan Misyār ini, akan tetapi dalam Fiqh Syāfi’iyyah mungkin saja dapat ditemukan beberapa konsep yang berkaitan dengan hak dan kewajiban suami isteri dalam menjalin rumah tangga. Barangkali konsep tersebut bisa dikaitkan dengan problema nikah Misyār. Berkaitan dengan realitas permasalahan tersebut, maka ada beberapa hal yang menganjal yang perlu dicarikan jawabannya, yaitu: Pertama, apakah nikah Misyār ini benar memiliki kesamaan dengan nikah Mut’ah atau nikah wisata yang dilarang dalam Islam ? Kedua,. Bagaimana perbedaan fatwa ulama kontemporer tentang hukum nikah Misyār ?. Ketiga, Bagaimana pandangan Fiqh klasik khususnya Fiqh Syāfi’iyyah tentang pernikahan Misyār ini bila dikaitkan dengan hak dan kewajiban suami isteri dalam menjalin rumah tangga. Inilah beberapa pertanyaan yang ingin dielaborasi dalam tulisan ini dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif, kemudian dianalisis secara komparatif dan menggunakan penalaran deduktif (istinbath).