Rahmadewi Rahmadewi
Unknown Affiliation

Published : 8 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Perbedaan antara Uji Transformasi Limfosit dengan Uji Tempel Obat pada Pasien Erupsi Obat Dhita Karina; Rahmadewi Rahmadewi; Saut Sahat Pohan
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 26 No. 1 (2014): BIKKK APRIL 2014
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (327.981 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V26.1.2014.1-6

Abstract

SurabayaABSTRAKLatar belakang:Diagnosis erupsi obatseringditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaanklinis sajasehingga sulit untuk mengetahui obat penyebabnya. Pemeriksaan penunjang diperlukan untukdiagnosis yang lebih pastidan mengetahui penyebabnya. Uji Tempel Obat (UTO) adalah prosedur in vivoyang sering digunakan di praktek sehari-hari dan sensitivitasnya sebesar 30-50%. Uji Transformasi Limfosit (UTL) adalah suatu pemeriksaan laboratorium dengan prosedur invitroyangsensitivitasnya dilaporkan 70-90% dalam mendiagnosis erupsi obat. Tujuan:Menganalisis perbedaan antara hasil UTO dan UTL pada pasienerupsi obat.Metode:Penelitian cross sectionaldilakukan terhadapduapuluh dua pasien dengan riwayat erupsi obat di Unit Rawat Jalan (URJ) Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya. DilakukanUTO pada punggung pasiendanpengambilandarah venapasien untuk pemeriksaan UTL. Hasil:Dari duapuluh duapasiendidapatkan hasil positif UTO pada tujuhpasiendan negatifpada lima belaspasien, sedangkan hasil positif UTL pada dua puluh pasien dan negatif pada duapasien.Simpulan:Terdapatperbedaan yang signifikan antara UTO dan UTLpada pasien erupsi obat. Kesesuaian dua pemeriksaan ini sebesar 40,9%,yang berarti UTL dapat dilakukan bila hasil UTO negatif atau meragukan.
StudiRetrospektif:Diagnosis dan Terapi Pasien Melasma Menul Ayu Umborowati; Rahmadewi Rahmadewi
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 26 No. 1 (2014): BIKKK APRIL 2014
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (388.071 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V26.1.2014.1-8

Abstract

Latar belakang:Melasmaadalah penyakit yang banyak dijumpai terutama dinegara beriklim tropis seperti Indonesia. Masalah yang dihadapi adalah responsterhadap terapiyang beragam, sehingga diagnosis dan terapi yang tepat untuk penyakit ini masih perlu terus dikembangkan.Tujuan: Mengevaluasi penegakan diagnosis dan pemberian terapi melasma guna meningkatkan pelayanan terhadap pasien di masa yang akan datang. Metode:Penelitian retrospektif pasienmelasma di Divisi Kosmetik Medik Unit Rawat Jalan (URJ) Kulit dan Kelamin RSUD Dr.Soetomo Surabaya selama periode 1 Januari 2009 sampai dengan 30Desember 2011. Data diperoleh dari rekam medis.Hasil:Pasienmelasma sebanyak 14,1% dari seluruh pasienbaru Divisi Kosmetik Medik, pasienperempuan sebanyak 99,2% dengan faktor pencetus utama adalah sinar matahari. Diagnosis ditegakkan dari pemeriksaan fisik dan lampu Wood, terapi topikal yang banyak diberikan adalah tabir surya, formula Kligman, dan Alpha Hydroxy Acid(AHA).Simpulan:Metode penegakan diagnosis dan pilihan agen pemutih sebagai terapi melasma di Divisi Kosmetik Medik URJ Kulit dan Kelamin RSUD Dr.Soetomo Surabaya masih perlu dievaluasi sesuai dengan bukti dan temuanterbaru.Kata kunci:melasma, studi retrospektif, diagnosis, terapi.
Insufisiensi Adrenal Sekunder pada Eritema Nodosum Leprosum: Studi Profil TNF-α dan Kortisol Serum Irmadita Citrashanty; Sunarso Suyoso; Rahmadewi Rahmadewi
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 26 No. 2 (2014): BIKKK AGUSTUS 2014
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (114.361 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V26.2.2014.1-6

Abstract

Latar belakang: Beberapa studi mengemukakan bahwa peningkatan tumor necrosis factor–alpha (TNF-α) sebanding dengan derajat keparahan Eritema Nodosum Leprosum (ENL), sehingga sitokin ini dianggap sebagai seromarker. Sekresi adrenocorticotropin hormone (ACTH) meningkat akibat pelepasan sitokin proinflamasi, kemudian ACTH akan merangsang pelepasan glukokortikoid adrenal sebagai umpan balik. Apabila rangsangan sitokin ini berlangsung kronis, korteks adrenal akan mengalami kelelahan yang berakibat menurunnya serum kortisol. Pemberian kortikosteroid eksogen jangka panjang diduga menyebabkan terjadinya penurunan kortisol. Tujuan: Mengevaluasi profil TNF-α dan kortisol serum pada pasien ENL yang diterapi kortikosteroid berdasarkan riwayat lamanya ENL. Metode: Dua puluh satu subjek dilakukan pemeriksaan fisik, anamnesis riwayat ENL, dan pengambilan sampel darah jam 08.00-09.00 untuk melihat kadar TNF-α dan kortisol serum. Hasil: Dari 21 sampel didapatkan rerata TNF-α serum sebesar 4,51 ± 1,7 ρg/mL. Rerata kortisol serum pada pasien dengan riwayat ENL 1-12 bulan sebesar 15,23 ± 2,3 μg/dL, riwayat ENL > 12-24 bulan sebesar 8,75 ± 4,8 μg/dL, dan riwayat ENL > 24-36 bulan sebesar 1,17 ± 0,7 μg/dL. Simpulan: Rerata penurunan kortisol serum tampak seiring dengan semakin lamanya pasien menderita ENL dan mendapatkan terapi kortikosteroid. Insufisiensi adrenal sekunder pada penelitian ini dapat disebabkan oleh pemberian kortikosteroid jangka panjang maupun adanya paparan sitokin proinflamasi kronis. Kata kunci: eritema nodosum leprosum, insufisiensi adrenal sekunder, kortikosteroid, TNF-α, kortisol.
Peeling Asam Glikolat pada Pasien Photoaging Pedia Primadiarti; Rahmadewi Rahmadewi
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 26 No. 2 (2014): BIKKK AGUSTUS 2014
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (102.676 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V26.2.2014.1-6

Abstract

Latar belakang: Penuaan kulit memiliki dua komponen, yaitu penuaan secara intrinsik dan ekstrinsik. Faktor ekstrinsik yang paling penting dalam proses penuaan adalah sinar matahari yang disebut dengan photoaging. Salah satu terapi photoaging adalah pengelupasan kimiawi dengan menggunakan asam glikolat (AG). Tujuan: Mengevaluasi gambaran, distribusi, diagnosis pasien photoaging, pelaksanaan dan hasil akhir pelaksanaan peeling AG pasien photoaging di IRJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Periode 2008-2010. Metode: Studi retrospektif dari data rekam medis pada kunjungan baru pasien photoaging selama periode 2008-2010. Dicatat data dasar, diagnosis, pengobatan sebelum peeling, proses pelaksanaan peeling dan evaluasi hasil peeling. Hasil: Jumlah pasien yang menjalani peeling dengan menggunakan AG adalah 159 orang, terbanyak berumur 31-40 tahun, keluhan paling banyak adalah ingin mencerahkan kulit dan kulit kusam. Pemeriksaan fisik yang paling banyak ditemukan adalah perubahan pigmen. Interval pelaksanaan peeling sebagian besar adalah 4 minggu. Simpulan: Peeling dengan AG merupakan salah satu terapi pilihan untuk photoaging di RSUD Dr. Soetomo terutama untuk kasus photoaging Glogau 1 dan 2. Pelaksanaan yang baik dan kepatuhan pasien merupakan faktor yang menentukan hasil peeling.Kata kunci: peeling, photoaging, retrospektif.
Increasing of Skin pH level in Childhood Atopic Dermatitis Pedia Primadiarti; Rahmadewi Rahmadewi; Iskandar Zulkarnain
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 26 No. 3 (2014): BIKKK DESEMBER 2014
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (117.14 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V26.3.2014.1-7

Abstract

Background: Atopic dermatitis (AD) has multifactorial etiologies such as genetic, environment, and imbalance of immunology basis.  AD is marked with skin barrier dysfunction, whichcharacterized by fillagrin mutation. Fillagrin itself has an important role in skin hydration and pH adjustment, so that its functional nor amount defect will lead to hydration and pH adjustment impair, as well as shown in AD phenotype. Purpose: To evaluatethe difference of skin pH in AD (lesional and non lesional area) and normal children. Methods:  Phase 1 study was descriptive observational study, to determinenormal skin pH in 98 children. The following phase 2 was observational analitic study in 38 AD patients todeterminepH level of atopic group (lesional and non lesional skin).Results: pH level of normal children skin was 4.86±0.461, lesional skin in AD was 5.86±0.564, and in nonlesional skin was 5.20±0.460. One way ANOVA test revealed value p=0.000, post hoc analysis value was p=0.000. Conclusions: Higher pH level was observed on AD patients. Skin pH is an important factor in the pathogenesis of AD, main concern in the treatment of AD is maintaining skin pH, which is important to reduce AD exacerbation.Key words: fillagrin, pH of atopic dermatitis,pH of normal children.
Oral Antibiotic in Acne Vulgaris Patients: Retrospective Study Marina Rimadhani; Rahmadewi Rahmadewi
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 27 No. 2 (2015): BIKKK AGUSTUS 2015
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (113.979 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V27.2.2015.84-89

Abstract

Background: Antibiotic resistance is one of the health problem in Indonesia, the one of the reason is using combination of antibiotic, so that clinician should prevent resistance to any selected combination antibiotic therapy. The use of long period oral antibiotics in acne therapy can cause Propionibacterium acne resistanceto antibioticsincreasedfrom 20% in 1979to67% in 1996. Purpose: To describe and evaluate management of oral antibiotic in new patient with acne vulgaris. Methods: Retrospective study in patients with acne vulgaris who received oral antibiotic in Cosmetic Division Dermato-Venereology Department Outpatient Clinic of Dr. Soetomo General Hospital in period of January 2010 to December 2012. Results: Obtained 481 new patients receive oral antibiotic from the total visit of 3519 acne vulgaris patient. The proportion of the largest group of 15-24 years, female patient were found having higher incidence than male. The most clinical feature found was grade 2 papulopustular (49.6%). The most common treatment which were given to the patient were doxycycline (98.8%) for systemic treatment with topical combination therapy as sunscreen (24.8%), facial cleansers(23.6%), tretinoin(20.99%), clindamycin gel (19.3%), and benzoylperoxide(5.4%). Highest proportion of long duration use of antibiotics is 2 weeks(57.5%). Conclusions: Selection of combination therapy is appropriate, but the use oftopical antibioticsalong withoral antibioticsshould be considered. Combination therapy, duration, and education still play an important role in preventing resistance Propionibacterium acne to antibiotics.Key words: acne vulgaris, antibiotic resistance, combination therapy, retrospective.
Dermoscopic Features of Alopecia Patient Kartika Paramita; M. Yulianto Listiawan; Rahmadewi Rahmadewi
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 27 No. 3 (2015): BIKKK DESEMBER 2015
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (109.569 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V27.3.2015.163-169

Abstract

Backgroud: Alopecia is hair loss of the scalp that occurs in mostly men and about 30% of women during their lifetime. Prevalence of alopecia is increased along with age in both men and women. Using of dermoscope can help the diagnostic accuracy and avoid scalp biopsy for diagnosis. Purpose: Identifying dermoscope examination results and determine the pathophysiology of dermoscope features. Methods: Cross sectional and descriptiove observational study to all of alopecia patients who fulfilled the inclusion criteria at outpatient clinic Dr. Soetomo General Hospital Surabaya in December 2014 through February 2015 performed dermoscope examination Result: There were 20 patients who fulfilled the inclusion criteria, consisted of 3 patients with androgenetic alopecia, 8 alopecia areata, 4 tinea capitis, 2 discoid lupus erythematosus, 1 psoriasis vulgaris, 1 seborheic dermatitis, and 1 trichotilomania. Conclusion: Most of all dermoscope features accordance with the description in the literature, the most diagnosis is androgenetic alopecia.Key words: alopecia, dermoscope, zig-zag hair, black dots.
Pemberian Layanan Keluarga Berencana Berpengaruh Penting Terhadap Kejadian Unmet Need: Analisis Lanjut Data SDKI 2017 Helmi Safitri; Kemal Nazarudin Siregar; Tris Eryando; Milla Herdayati; Rahmadewi Rahmadewi; Dian Kistiani Irawaty
Jurnal Biostatistik, Kependudukan, dan Informatika Kesehatan Vol 1, No 2 (2021)
Publisher : Departemen Biostatistika dan Ilmu Kependudukan FKM UI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51181/bikfokes.v1i2.4751

Abstract

Penelitian ini dilakukan untuk menilai sejauh mana pengaruh pemberian layanan KB terhadap unmet need pada wanita menikah usia 15-49 tahun. Unmet need merupakan fenomena dalam bidang kependudukan yang memerlukan penanganan serius dan segera karena dapat menghambat peningkatan CPR dan penurunan TFR. Pemberian layanan KB merupakan hal penting dalam memenuhi kebutuhan seseorang untuk memilih dan menggunakan alat KB yang tepat sesuai dengan kebutuhannya (tidak terjadi unmet need). Penelitian ini merupakan analisis lanjut data SDKI 2017, yang merupakan penelitian potong lintang pada wanita menikah usia 15-49 tahun. Jumlah sampel tersedia sebanyak 35.681 wanita. Analisis hubungan antara varaibel dependen dengan independen menggunakan uji chi square, dan pengaruh pemberian layanan KB terhadap unmet need diuji dengan regresi logistik ganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian layanan KB yang kurang terakses oleh wanita berpeluang 2,27 untuk mengalami kejadian unmet need dibandingkan dengan mereka yang mempunyai akses (95% CI: 1,95-2,64). Penelitian ini merekomendasikan, peningkatan akses ke pemberian layanan KB bagi wanita untuk memperoleh informasi KB dan layanan alat KB, terutama bagi mereka yang tidak bekerja, tinggal di perkotaan dan memiliki banyak anak.