Dyatiara Devy Rahadiyanti
Departemen/Staf Medik Fungsional Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
 Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Studi Retrospektif: Karakteristik Dermatofitosis Dyatiara Devy Rahadiyanti; Evy Ervianti
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 30 No. 1 (2018): APRIL
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (430.141 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V30.1.2018.66-72

Abstract

Latar Belakang: Dermatofitosis merupakan salah satu penyakit mikosis superfisialis akibat jamur yang menginvasi jaringan yang mengandung keratin seperti stratum korneum epidermis, rambut, dan kuku. Seringkali disebut tinea dan diklasifikasikan menurut bagian tubuh yang terkena. Tujuan: Mengevaluasi gambaran penyakit dermatofitosis di Divisi Mikologi Unit Rawat Jalan (URJ) Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode tahun 2014 sampai 2016. Metode: Penelitian retrospektif dengan mengevaluasi data rekam medis elektronik Divisi Mikologi URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode Januari 2014 – Desember 2016.  Hasil: Jumlah kunjungan pasien baru dermatofitosis mengalami peningkatan, yaitu 71,9% dari seluruh pasien yang datang ke divisi Mikologi dibandingkan penelitian retrospektif sebelumnya. Tinea korporis merupakan diagnosis terbanyak yakni sebesar 56,1%. Sebagian besar pasien adalah wanita. Usia terbanyak yang ditemukan sedikit bervariasi yakni 45-64 tahun pada tahun 2014 dan 25-44 tahun pada tahun 2015 dan 2016.  Keluhan utama terbanyak adalah gatal dan bercak kemerahan. Pemeriksaan mikroskop langsung dengan larutan KOH 10% merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan   pada seluruh pasien dermatofitosis. Sebanyak 51,2% kasus dermatofitosis yang ditemukan disebabkan oleh spesies Trichophyton mentagrophytes. Pengobatan terbanyak dengan griseofulvin. Simpulan: Terdapat peningkatan jumlah pasien dermatofitosis. Usia terbanyak yang terinfeksi adalah kelompok usia produktif, karena pada kelompok usia ini terjadi peningkatan dari aktivitas fisik dan memiliki kecenderungan untuk banyak berkeringat dan lembab.
Sifilis Sekunder pada Pasien HIV: Laporan Kasus Dyatiara Devy Rahadiyanti; Damayanti Damayanti
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 30 No. 2 (2018): AGUSTUS
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (518.592 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V30.2.2018.178-184

Abstract

Latar Belakang: Sifilis merupakan penyakit menular seksual yang disebabkan oleh mikroorganisme Treponema pallidum. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat terjadi bersamaan dan saling mempengaruhi. Kasus: Pria, 33 tahun dengan keluhan bercak-bercak merah di badan, kedua tangan dan kaki sejak 1 bulan, tidak nyeri ataupun gatal. Awalnya bercak merah timbul di tangan kemudian menyebar ke bagian tubuh lainnya. Pasien memiliki riwayat luka di kelamin yang sembuh sendiri 3 bulan sebelumnya. Pemeriksaan fisik ditemukan makula eritematosa multipel batas jelas, diameter 0,5-1 cm, beberapa tertutup skuama tipis. Pasien telah didiagnosis HIV sejak 1 tahun yang lalu dan mendapatkan antiretroviral (ARV) secara rutin. Titer serologi Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) 1:128 dan Treponema pallidum Hemagglutination Assay (TPHA) 1:1280. Pasien diberikan terapi penisilin G 2,4 juta intramuskular dosis tunggal. Kasus ini menunjukkan adanya fluktuasi nilai tes serologis pada bulan keenam dan ke sembilan. Penatalaksanaan: Diagnosis sifilis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratoris. Terapi sifilis sekunder adalah benzathine penisilin G 2,4 juta unit intramuskular dosis tunggal. Diperlukan waktu lebih lama pada terapi pasien sifilis dengan HIV dan follow up tes serologis lebih lanjut masih dibutuhkan hingga 24 bulan. Simpulan: Hasil tes serologis nontreponemal (dapat tinggi, rendah, atau berfluktuasi) dapat ditemui pada pasien sifilis dengan HIV. Kesesuaian antara gambaran klinis, diagnosis, dan strategi manajemen pada pasien sifilis dengan HIV harus dikenali oleh seorang klinisi.