Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

HAK PRIORITAS DALAM PEROLEHAN TANAH HAK GUNA BANGUNAN YANG HABIS JANGKA WAKTUNYA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA DAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL Hakim, Rachseria Isneni; Pujiwati, Yani; Rubiati, Betty
ACTA DIURNAL Vol 2, No 1 (2018): ACTA DIURNAL, Volume 2, Nomor 1, Desember 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (17.658 KB)

Abstract

ABSTRAKHak prioritas untuk memperoleh kembali dari tanah hak guna bangunan yang sudah habis jangka waktunya menjadi tanah hak milik untuk rumah tinggal yang dimiliki oleh perseorangan Warga Negara Indonesia karena hak milik merupakan hak yang terpenuh dan terkuat. Tujuan penelitian ini untuk memperoleh gambaran dalam penentuan hak prioritas atas hak guna bangunan yang habis jangka waktunya dan untuk memperoleh pemahaman mengenai perlindungan hukum terhadap pemegang hak guna bangunan yang habis jangka waktunya yang ditolak untuk mendapatkan hak prioritas ditinjau dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dan Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 6 Tahun 1998. Penelitian secara yuridis normatif, teknik pengumpulan data dengan studi kepustakaan dan wawancara. Disimpulkan bahwa ketentuan-ketentuan berdasarkan Pasal 1 Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 6 Tahun 1998 merupakan dasar hukum pemberian hak (prioritas) untuk lebih diutamakan dalam memperoleh kembali tanah hak guna bangunan yang belum habis dan/atau telah habis jangka waktunya, Perlindungan hukum yang diberikan kepada pemohon hak prioritas yang ditolak karena akan memperoleh tanah hak milik melebihi dari 5.000 m2 (lima ribu meter persegi) yaitu mengajukan permohonan hak guna bangunan di atas tanah Negara untuk memperoleh kembali tanah hak guna bangunan yang telah habis jangka waktunya, lalu mengajukan permohonan untuk pemecahan bidang tanah sehingga menjadi 2 (dua) bidang tanah hak guna bangunan yang sama besarnya dan kemudian melakukan peningkatan hak menjadi hak milik untuk rumah tinggal atas 1 (satu) bidang tanah hak guna bangunan, sedangkan 1 (satu) bidang tanah hak guna bangunan lainnya tetap berstatus tanah hak guna bangunan di atas tanah Negara.Kata kunci: hak prioritas; hak guna bangunan; hak milik.ABSTRACTThe priority right in order to get back from the building right’s land that out of date become the property right’s land for dwelling house that owned by Indonesian citizen because the property right is the most fulfilled and the strongest right. The purpose of this research is to get an overview of the priority right in order to get back from the building right’s land that out of date and to gain an understanding of the legal protection of the owner of the building right’s land that out of date who are denied to get the priority right in view of Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 and Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 6 Tahun 1998. This research through a normative juridical data collection techniques conducted by library studies and interviews conducted at the Land Office Tangerang City. Based on the analysis result, it can be concluded that the provisions based on Pasal 1 Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 6 Tahun 1998 is the legal basis for granting the right (priority) to take precedence in recovering the unused and / or expired. The legal protection granted to the applicant of the priority right that is denied because it will acquire the property right’s land exceeds 5.000 m2 (five thousand square meters) that is applying for the building right’s state land to get back the building right’s land that out of date, then applying for the split of the land so that it becomes 2 (two) plots of land which are the same magnitude and then increase the right to become the property right’s land for dwelling house of 1 (one) plot of the building right’s land. Whereas 1 (one) plot of the other building right’s land still has the status of the building right’s state.Keywords: building right`s; priority right, property right.
ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH BAGI MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH (MBR) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2009 Pujiwati, Yani; Rubiati, Betty
ACTA DIURNAL Vol 1, No 1 (2017): ACTA DIURNAL, Volume 1, Nomor 1, Desember 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (17.658 KB)

Abstract

ABSTRAKSaat ini pembangunan perumahan sangat pesat dilaksanakan karena kebutuhan rumah yang semakin meningkat, khususnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Tanah yang dipergunakan seringkali berupa lahan pertanian beriirigasi sehingga merupakan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang tidak dapat dialihfungsikan menjadi lahan non pertanian. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis penyediaan tanah bagi pembangunan perumahan khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan alih fungsi lahan pertanian bagi pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu  mengkaji data sekunder  berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Spesifikasi penelitian deskriptif analitis, yaitu berupa penggambaran, penelaahan, dan penganalisisan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku  dalam bidang perumahan, agraria serta ketentuan hukum yang  berkenaan dengan perlindungan lahan pertanian pangan.Penyediaan tanah bagi pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) diantaranya adalah konsolidasi tanah dan pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar. Alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan diperkenankan apabila untuk pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Salah satu kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum adalah pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan status sewa.Kata kunci : alih fungsi, lahan pertanian, masyarakat berpenghasilan rendah. ABSTRACT Currently housing development rapidly implemented because of the needs of an ever increasing home particularly for low income communities (MBR). Land use is often in the form of agricultural land irrigation so it is a sustainable food agricultural land which can not function becomes non farm land. The purpose of the research was to analyse the provision of land for housing development, especially for low income communities (MBR) and control of the functions of agricultural land for the construction of housing for people on low incomes (MBR).This research uses the juridical normative approach, i.e.secondary data review legalmaterialsin the form ofprimary, secondary and tertiary. Descriptive research analytical specifications, namely in the form of representations, studies, and analyst legal provisions applicable in the field of housing, agrarian law, and the provisions relating to the protection of agricultural land food.The provision of land for the construction of housing for people on low incomes (MBR) among them are the consolidation of land and the efficient use of State land the former wastelands. Control of the functions of agricultural land sustainable food allowed, When to procure land for the public interest. One of the development activities for the benefit of the public, is the construction of houses for people on low incomes (MBR) with the status of the lease. Keywords: instead of a function, farmland, low-income communities.
PENGADAAN RUMAH MELALUI DANA TAPERUM BERDASARKAN KEPPRES NO. 14 TAHUN 1993 TENTANG TABUNGAN PERUMAHAN PEGAWAI NEGERI SIPIL Yani Pujiwati; Mulyani Djakaria; Betty Rubiati
Sosiohumaniora Vol 3, No 2 (2001): SOSIOHUMANIORA, JULI 2001
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/sosiohumaniora.v3i2.5209

Abstract

Pengadaan rumah bagi Pegawai Negeri dapat dilaksanakan dengan penyediaan fasilitas rumah negara, tetapi tidak semua Pegawai Negeri Sipil memperoleh fasilitas tersebut. Keppres No. 14 Tahun 1993 memungkinkan Pegawai Negeri Sipil memperoleh bantuan dana berupa uang muka pembelian rumah yang dibiayai dengan fasilitas Kredit Pemilikan Rumah dan sebagian biaya untuk membangun rumah bagi Pegawai Negeri Sipil yang memiliki tanah di tempatnya bekerja. Di dalam penelitian ini dipergunakan metode deskriptif analitis agar diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh tentang tabungan perumahan Pegawai Negeri Sipil. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan hukum normatif yaitu terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tabungan perumahan Pegawai Negeri Sipil. Dari penelitian yang telah dilaksanakan diperoleh kesimpulan bahwa memperoleh dana bantuan tabungan perumahan Pegawai Negeri Sipil merupakan hak Pegawai Negeri Sipil dengan terlebih dahulu melaksanakan kewajiban berupa tabungan yang dipotong dari gaji setiap bulan. Perolehan dana ini harus melalui tata cara yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kata Kunci : Pengadaan rumah, tabungan perumahan.
ASAS PEMISAHAN HORIZONTAL DALAM KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN SATUAN RUMAH SUSUN BAGI MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH (MBR) Betty Rubiati; Yani Pujiwati; Mulyani Djakaria
Sosiohumaniora Vol 17, No 2 (2015): SOSIOHUMANIORA, JULI 2015
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (306.217 KB) | DOI: 10.24198/sosiohumaniora.v17i2.7295

Abstract

ABSTRAKPembangunan perumahan dan permukiman merupakan kebijakan untuk memenuhi kebutuhandasar manusia.Dalam rangka peningkatan daya guna dan hasil guna tanah serta mengefektifkan penggunaan tanahterutama di daerah-daerah berpenduduk padat dan di kota-kota besar yang tanahnya sudah terbatas perlu diarahkanpembangunan perumahan dan permukiman dalam bentuk dan sistem Rumah Susun. Kepemilikan rumah susunyang ada saat ini menyatukan satuan rumah susun dengan hak atas tanahnya yang harganya semakin tinggisehingga sulit dijangkau oleh Masyarakat Berpenghasilan Rendah.Metode yang digunakan dalam penelitian iniadalah deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif. Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaandan pelitian lapangan dianalisis secara normatif kualitatifKepemilikan satuan rumah susun saat ini sudahmenerapkan asas pemisahan horisontal, hal ini terlihat bahwa rumah susun dapat dibangun diatas tanah milikorang lain, namun Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menyatukan kepemilikan satuan rumahsusun dengan tanah bersama menunjukkan masih dipengaruhi asas perlekatan. Dalam kepemilikan rumah susunmelalui pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah dan pendayagunaan tanah wakaf dengan cara sewadengan bukti kepemilikan berupa Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung Satuan rumah susun menunjukanpenerapan asas pemisahan horisontal secara konsisten. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah untukmemenuhi kebutuhan rumah bagi MBR, namun belum bisa terlaksana dengan baik, hal ini disebabkan karenapemilikan rumah susun bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah masih dikaitkan dengan hak atas tanah yangharganya semakin meningkat. Pemilikan rumah susun yang memisahkan dengan hak atas tanahnya diharapkandapat memenuhi kebutuhan rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah, namun sampai saat ini belum dapatdilaksanakan, selain belum ada peraturan pelaksanaan UU Rumah Susun juga belum ada instansi yang dapatmelakukan pendaftarannya.
PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN TERHADAP UPAH PEKERJA Yani Pujiwati; Dewi Kania Sugiharti; Nia Kurniati
Sosiohumaniora Vol 7, No 2 (2005): SOSIOHUMANIORA, JULI 2005
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/sosiohumaniora.v7i2.5343

Abstract

Upah pekerja di Indonesia belum mencapai taraf yang menggembirakan, Namun demikian, terhadap upah tersebut masih dikenakan Pajak Penghasilan yang memberatkan pekerja, apalagi pada masa krisis ekonomi berkepanjangan seperti sekarang ini. Di dalam penelitian ini dipergunakan metode deskriptif analitis agar diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh tentang Pajak Penghasilan yang dikenakan terhadap upah pekerja. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan hukum normatif terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengenaan pajak terhadap pekerja. Dari penelitian yang telah dilaksanakan diperoleh kesimpulan bahwa upah pekerja adalah upah minimum yang ditetapkan oleh Gubernur. Upah pekerja dikenakan Pajak Penghasilan, namun penghasilan sampai 1 (satu) juta rupiah ditanggung oleh Pemerintah. Kata Kunci : Pekerja, Upah pekerja
EVALUASI DAMPAK BERLAKUNYA PP NO. 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR TERHADAP KEBIJAKAN PENGELOLAAN TANAH PERTANIAN DI KABUPATEN TASIKMALAYA Ida Nurlinda; Yani Pujiwati; Marenda Ishak s
Sosiohumaniora Vol 15, No 1 (2013): SOSIOHUMANIORA, MARET 2013
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (334.655 KB) | DOI: 10.24198/sosiohumaniora.v15i1.5244

Abstract

Penetapan UU No 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan bertujuan untuk mencegah terjadinya alih fungsi tanah pertanian. Data BPS (2010), menunjukkan bahwa 27 ribu hektar tanah pertanian dialihfungsikan untuk kepentingan non pertanian. Berdasarkan hal tersebut, UU No. 41/2009 diharapkan mampu menjadi instrumen pengendalian dalam pemanfaatan tanah. Di lain pihak, munculnya PP No 11 tahun 2010 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar berpotensi terhadap meningkatnya alih fungsi tanah pertanian. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengevaluasi dampak berlakunya PP No 11 tahun 2010 berkaitan dengan kebijakan pengelolaan tanah pertanian; (2) Menjadi dasar dalam perumusan aturan pelaksanaan PP ; (3) mengkaji efektifitas pelaksanaan program terkait oleh dinas lainnya, dalam rangka mewujudkan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Evaluasi dilakukan dengan metode analisis yuridis empiris. Selanjutnya, dilakukan kajian evaluasi lahan dalam rangka menilai produktivitas lahan pertanian dan penyebab rendahnya produktivitas lahan dari tanah-tanah yang terindikasi terlantar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa; PP 11/2010 ini tidak efektif dalam melakukan pemberdayaan dan penertiban tanah terlantar. Kedua, kordinasi dalam pelaksanaan PP dinilai kurang memadai antar sesama dinas-dinas yang terkait. Ketiga, perlu dilakukan penelitian guna membuat aturan pelaksanaan terhadap penertiban dan pendayagunaan tanah yang lebih adil dan berkelanjutan.
IMPLIKASI PERUBAHAN PERUNTUKAN PRASARANA DAN SARANA TERHADAP PEMILIK RUMAH DALAM MEWUJUDKAN LINGKUNGAN YANG BERKELANJUTAN Sulaeman Adhyatma; Yani Pujiwati; Maret Priyanta
Bina Hukum Lingkungan Vol 3, No 1 (2018): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (251.737 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v3i1.65

Abstract

ABSTRAKKebutuhan terhadap perumahan telah mengalami peningkatan, sebagaimana yang terjadi pada masyarakat dunia, terutama pada masyarakat perkotaan, di mana populasi penduduknya sangat besar, sehingga memaksa pemerintah untuk berupaya memenuhi kebutuhan akan perumahan di tengah berbagai kendala seperti keterbatasan lahan perumahan. Adapun permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu implikasi perubahan peruntukan prasarana dan sarana terhadap pemilik rumah yang mengalami kerugian di kawasan permukiman dan arah pengaturan peruntukan prasarana dan sarana di kawasan permukiman dalam mewujudkan lingkungan yang teratur, serasi dan berkelanjutan. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif melalui penelitian kepustakaan yang menitikberatkan terhadap data sekunder yang difokuskan untuk mengkaji kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Analisis data yang dipergunakan adalah yuridis kualitatif yakni memberikan gambaran secara khusus berdasarkan data yang dikumpulkan.Hasil penelitian menunjukan bahwa implikasi perubahan peruntukan prasarana dan sarana terhadap pemilik rumah yang mengalami kerugian di kawasan permukiman yaitu terjadi eksklusifitas dalam pemanfaatan fasilitas tersebut, karena fasilitas sosial dan fasilitas umum merupakan public goods yang pemanfaatannya tidak dipungut biaya dan tidak boleh ada pihak yang dikecualikan dalam pemanfaatan fasilitas tersebut. Pemilik rumah dapat mengajukan tuntutan kepada pengembang perumahan untuk mendapatkan kompensasi akibat dari kerugian yang dialaminya. Arah pengaturan peruntukan prasarana dan sarana di kawasan permukiman dalam mewujudkan lingkungan yang teratur, serasi dan berkelanjutan adalah untuk mengawasi, mengendalikan dan memanfaatkan ruang, lahan serta sumber daya alam yang tersedia dalam pelaksanakan pembangunan perumahan di kawasan permukiman, sehingga dapat menciptakan keteraturan dan keterpaduan antara lahan yang akan dibangun dengan persentase yang telah diatur.Kata kunci: Lingkungan yang Berkelanjutan; Pemilik Rumah; Prasarana dan Sarana ABSTRACTThe need for housing has changed, occurring in the world community, especially in urban communities, where the population is very large, allows for housing in various types such as limited housing. along with the increasing number of people, the space will be available facilities that support community life and also increase. The problems that will be examined in this study are the implication of changes in the allocation of infrastructure and facilities to homeowners who suffered losses in the settlement areas in realizing an orderly, harmonious and sustainable environment. The method used in this research is judicial normative approach method that is the literature research focuses on secondary data to examine the rules or norms in positive law. Data analysis used is juridical qualitative, which provides a specific description based on the data collected.The Result of research show that the implication of changing the allocation for facilities and infrastructures for the house owner who has loss in the residential area that is the exlucivity of its utilization, because social facility and public facility are public goods whose utilization is free of charge and there should be no parties excluded in utilization the facility. homeowners can be filed the suits to the developer to get the compensations according to the losses they had. The purpose of the regulation of facilities and infrastructures in the residential area in order to make a measured environment, tidy, and sustainable is to supervise, to control, and to utilize the space, land and also the available natural resources in order to implementation the residential development, so that can create cohesiveness between the land to be built and the presentage to be set.Keyword: Sustainable Environment; Homeowners; Facilities and Infrastructure
IMPLIKASI PERUBAHAN PERUNTUKAN PRASARANA DAN SARANA TERHADAP PEMILIK RUMAH DALAM MEWUJUDKAN LINGKUNGAN YANG BERKELANJUTAN Sulaeman Adhyatma; Yani Pujiwati; Maret Priyanta
Bina Hukum Lingkungan Vol 3, No 1 (2018): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (251.737 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v3i1.65

Abstract

ABSTRAKKebutuhan terhadap perumahan telah mengalami peningkatan, sebagaimana yang terjadi pada masyarakat dunia, terutama pada masyarakat perkotaan, di mana populasi penduduknya sangat besar, sehingga memaksa pemerintah untuk berupaya memenuhi kebutuhan akan perumahan di tengah berbagai kendala seperti keterbatasan lahan perumahan. Adapun permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu implikasi perubahan peruntukan prasarana dan sarana terhadap pemilik rumah yang mengalami kerugian di kawasan permukiman dan arah pengaturan peruntukan prasarana dan sarana di kawasan permukiman dalam mewujudkan lingkungan yang teratur, serasi dan berkelanjutan. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif melalui penelitian kepustakaan yang menitikberatkan terhadap data sekunder yang difokuskan untuk mengkaji kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Analisis data yang dipergunakan adalah yuridis kualitatif yakni memberikan gambaran secara khusus berdasarkan data yang dikumpulkan.Hasil penelitian menunjukan bahwa implikasi perubahan peruntukan prasarana dan sarana terhadap pemilik rumah yang mengalami kerugian di kawasan permukiman yaitu terjadi eksklusifitas dalam pemanfaatan fasilitas tersebut, karena fasilitas sosial dan fasilitas umum merupakan public goods yang pemanfaatannya tidak dipungut biaya dan tidak boleh ada pihak yang dikecualikan dalam pemanfaatan fasilitas tersebut. Pemilik rumah dapat mengajukan tuntutan kepada pengembang perumahan untuk mendapatkan kompensasi akibat dari kerugian yang dialaminya. Arah pengaturan peruntukan prasarana dan sarana di kawasan permukiman dalam mewujudkan lingkungan yang teratur, serasi dan berkelanjutan adalah untuk mengawasi, mengendalikan dan memanfaatkan ruang, lahan serta sumber daya alam yang tersedia dalam pelaksanakan pembangunan perumahan di kawasan permukiman, sehingga dapat menciptakan keteraturan dan keterpaduan antara lahan yang akan dibangun dengan persentase yang telah diatur.Kata kunci: Lingkungan yang Berkelanjutan; Pemilik Rumah; Prasarana dan Sarana ABSTRACTThe need for housing has changed, occurring in the world community, especially in urban communities, where the population is very large, allows for housing in various types such as limited housing. along with the increasing number of people, the space will be available facilities that support community life and also increase. The problems that will be examined in this study are the implication of changes in the allocation of infrastructure and facilities to homeowners who suffered losses in the settlement areas in realizing an orderly, harmonious and sustainable environment. The method used in this research is judicial normative approach method that is the literature research focuses on secondary data to examine the rules or norms in positive law. Data analysis used is juridical qualitative, which provides a specific description based on the data collected.The Result of research show that the implication of changing the allocation for facilities and infrastructures for the house owner who has loss in the residential area that is the exlucivity of its utilization, because social facility and public facility are public goods whose utilization is free of charge and there should be no parties excluded in utilization the facility. homeowners can be filed the suits to the developer to get the compensations according to the losses they had. The purpose of the regulation of facilities and infrastructures in the residential area in order to make a measured environment, tidy, and sustainable is to supervise, to control, and to utilize the space, land and also the available natural resources in order to implementation the residential development, so that can create cohesiveness between the land to be built and the presentage to be set.Keyword: Sustainable Environment; Homeowners; Facilities and Infrastructure
KEPASTIAN HUKUM KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH SETELAH MENGALAMI LIKUIFAKSI TANAH Tiara Dwi Rahayu; Yani Pujiwati; Betty Rubiati
LITRA: Jurnal Hukum Lingkungan, Tata Ruang, dan Agraria Vol. 2 No. 2 (2023): LITRA Jurnal Hukum Lingkungan Tata Ruang dan Agraria, Volume 2, Nomor 2, April
Publisher : Departemen Hukum Lingkungan, Tata Ruang, dan Agraria, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/litra.v2i2.1315

Abstract

ABSTRAK Likuefaksi merupakan suatu peristiwa pencairan tanah umumnya terjadi pada konsistensi tanah granula jenuh (saturated) yang lepas sampai sedang dengan sifat drainase dalam tanah Rekonstruksi tanah pasca bencana alam likuefaksi tentunya akan meninggalkan berbagai masalah yaitu terkait proses identifikasi tanah dan perlindungan hukum terhadap status kepemilikan hak atas tanah. karena hancurnya batas-batas tanah, dan hilangnya bukti-bukti atas kepemilikan tanah. Tujuan penelitian ini untuk memperoleh pengetahuan tentang akibat hukum dan kepastian hukum hak atas tanah yang mengalami likuefaksi ditinjau dari Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021. Jenis penelitian ini yuridis normatif melalui penelitian data sekunder dengan didukung oleh data primer sebagai pelengkap melalui wawancara.. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akibat hukum tanah yang mengalami likuefaksi telah ditetapkan sebagai tanah musnah dan haknya menjadi hapus tanahnya jatuh kepada negara. Dalam memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada masyarakat. dengan hancurnya batas-batas tanah maupun bukti-bukti atas kepemilikan tanah yaitu dengan dilakukannya pendaftaran tanah secara sistematis. Kata kunci: Kepastian Hukum; Likuefaksi; Pendaftaran Tanah. ABSTRACT Liquefaction is an event of soil liquefaction generally occurring in the consistency of saturated granulated soils that are loose to moderate with drainage properties in the soil. Soil reconstruction after natural disasters liquefaction will certainly leave various problems, namely related to the process of land identification and legal protection of the status of ownership of land rights. because of the destruction of land boundaries, and proof of land ownership. The purpose of this study was to obtain knowledge about the legal consequences and legal certainty of land rights that experienced liquefaction in terms of Government Regulation no. 18 Year 2021. This type of research is juridical normative through secondary data research supported by primary data as a complement through interviews. The results show that the legal consequences of land undergoing liquefaction have been designated as destroyed land and the right to annul the land falls to the state. In providing legal certainty and protection to the community. with the destruction of land boundaries as well as evidence of land ownership, namely by systematic land registration. Keywords: Legal Certainty; Liquefaction; Land Registration.