Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

ASPEK HUKUM WAJIB BELAJAR SEBAGAI UPAYA PENGHAPUSAN PRAKTIK PERKAWINAN BAWAH UMUR DI INDONESIA Safira, Levana; Judiasih, Sonny Dewi; Rubiati, Betty; Yuanitasari, Deviana
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol 3, No 2 (2019): JURNAL BINA MULIA HUKUM
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (452.598 KB)

Abstract

ABSTRAK Perkawinan bawah umur adalah perkawinan yang terjadi dibawah usia 18 tahun. Artikel ini menguraikan aspek hukum wajib belajar sebagai alat yang paling kuat untuk terhindar dari perkawinan anak. Indonesia memiliki kebijakan wajib belajar 9 tahun yang diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional kemudian ditingkatkan masa waktu menduduki pendidikan menjadi 12 tahun melalui “Program Indonesia Pintar” yang merupakan janji politik era kepemimpinan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif dan data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan studi lapangan yang dianalisis secara normative kualitatif. Hasil penelitian bahwa Indonesia belum memiliki payung hukum yang kuat terkait peningkatan wajib belajar menjadi 12 tahun, dalam kaitannya untuk megentaskan perkawinan bawah umur, wajib belajar baru mendukung pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam menentukan batas usia perkawinan bagi perempuan namun belum cukup untuk mengentaskan perkawinan bawah umur keseluruhan karena diketahui banyaknya pelangsungan perkawinan terjadi pada anak rentan usia 16-17 tahun. Terkait dengan masih banyaknya perkawinan bawah umur di Indonesia yang terjadi maka perlu didukung dengan dibuat aturan hukum yang mengatur peningkatan wajib belajar menjadi 12 tahun, sehingga adanya kebijakan yang mewajibkan seorang anak untuk menyelesaikan pendidikannya sampai dengan usia 18 tahun.Kata kunci: anak; pendidikan; pernikahan; wajib belajar.ABSTRACTChild Marriage is marriage that is conducted under the age of 18 years old. This article analyses the aspect law of compulsory education as the strongest tool to avoid child marriage. Indonesia has regulated compulsory education of 9 years in Act No. 20 of 2003 on National Education System which was gradually elevated to 12 years of compulsory education through “Program Indonesia Pintar” which was a political promise in the era of President Jokowi and Vice President Jusuf Kalla. The method used to approach was normative-juridicial and data obtained through library and field studies that were analyzed normative-qualitatively. The research concluded that Indonesia has not yet have a strong legal protection towards elevating compulsory education from 9 years to 12 years, in relation to erase child marriage, compulsory education only supports the implementation of Act No. 1 of 1974 on Marriage in determining the age limit of marriage for women but not yet enough to alleviate child marriage entirely knowing the number marriages vulnerably occur between children aging 16-17 years old. Relating to the number of child marriage in Indonesia it is necessary that a regulation to be made regulating the elevation of compulsory education to 12 years, resulting to a policy obligating children to finish their education to the age of 18.Keywords: child; compulsory education; education; marriage.DOI: https://doi.org/10.23920/jbmh.v3n2.13
PERALIHAN HAK MILIK MENJADI HAK PAKAI ATAS SARUSUN DI ATAS TANAH HGB KEPADA ORANG ASING DIHUBUNGKAN DENGAN PP NO. 103 TAHUN 2015 TENTANG PEMILIKAN RUMAH TEMPAT TINGGAL ATAU HUNIAN OLEH ORANG ASING YANG BERKEDUDUKAN DI INDONESIA JUNCTO PERMEN ATR/KEPALA BP Herliani, Farah; Nurlinda, Ida; Rubiati, Betty
ACTA DIURNAL Vol 2, No 1 (2018): ACTA DIURNAL, Volume 2, Nomor 1, Desember 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (17.658 KB)

Abstract

Seiring peningkatan jumlah Orang Asing di Indonesia, akibat dari globalisasi ekonomi yang terus berkembang. Tidak sedikit dari Orang Asing menjadikan satuan rumah susun sebagai kebutuhan mereka untuk hunian. Pemerintah menerbitkan Permen ATR / Kepala BPN No. 29 Tahun 2016, yang mengatur peralihan status Hak Milik Atas Sarusun (HMASRS) menjadi Hak Pakai Atas Sarusun (HPASRS) di atas tanah HGB kepada Orang Asing, akan tetapi sampai sekarang baik dalam kegiatan ke PPAT an maupun pada Kantor Pertanahan khususnya di Kota Bandung belum terlaksana. Metode yang digunakan yuridis normatif dan dipaparkan secara deskriptif analitis. Data penelitian dikumpulkan melalui studi kepustakaan terhadap data sekunder dan wawancara dengan nara sumber untuk memperoleh data primer. Selanjutnya dianalisis menggunakan metode analisis yuridis kualitatif. Status tanah HGB sebagai tanah bersama pada Sarusun yang dimiliki Orang Asing, apabila telah terjadi peralihan HMASRS menjadi HPASRS tidak mengalami perubahan status hak atas tanah, sehingga Permen tersebut dianggap bertentangan dengan asas nasionalitas dalam UUPA juga dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelumnya. Diterbitkannya HPASRS dianggap telah memberikan kepastian hukum bagi Orang Asing, meskipun sarusun tersebut dibangun di atas tanah HGB. Sehingga nama sertifikat (HPASRS) itu tidak bergantung pada status hak atas tanah yang di atasnya berdiri rumah susun. Namun yang terjadi saat ini peralihan hak menjadi HPASRS belum dapat terlaksana dengan baik sehingga hal tersebut menimbulkan tidak adanya kepastian hukum bagi Orang Asing dalam hal kepemilikan sarusun sebagai hunian.Kata kunci : HMASRS, HPASRS, Sarusun, Orang Asing
STATUS HAK ATAS TANAH YANG DIJADIKAN MODAL PERSEROAN TERBATAS TANPA PENDAFTARAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH Harnis, Widya; Suryanti, Nyulistiowati; Rubiati, Betty
ACTA DIURNAL Vol 1, No 2 (2018): ACTA DIURNAL, Volume 1, Nomor 2, Juni 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (17.658 KB)

Abstract

ABSTRAKPemasukan tanah sebagai modal perseroan terbatas harus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Ketidaksesuaian pemasukan tanah ke dalam perseroan terbatas dapat menimbulkan masalah terhadap status kepemilikan hak atas tanah, karena adanya perbedaan antara data fisik dan data yuridis dengan kenyataan yang merugikan pemegang hak sebenarnya. Tulisan ini merupakan hasil dari penelitian yang telah selesai dilakukan untuk mengkaji pemasukan tanah ke dalam perseroan terbatas dan status hak atas tanah yang dijadikan modal perseroan terbatas tanpa pendaftaran peralihan hak. Sebagai bagian dari penelitian yuridis normatif yang dianalisis secara yuridis kualitatif, hasil yang didapat yaitu pemasukan tanah ke dalam perseroan terbatas harus dilakukan dengan RUPS, dibuat dengan akta inbreng oleh PPAT yang berwenang untuk dilakukan pendaftaran peralihan hak. Status tanah yang dijadikan modal perseroan terbatas tanpa dilakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah dianggap sebagai milik orang yang namanya tercatat dalam sertipikat, bukan bagian dari harta kekayaan perseroan terbatas. Namun, pereroan terbatas dapat menggugat kebenaran data sertipikat dengan membuktikan adanya itikad baik dalam perolehan hak atas tanah atau penguasaan nyata yang menunjukan hubungan antara tanah dengan perseroan terbatas karena sertipikat hak atas tanah merupakan alat bukti yang kuat. Kata kunci: inbreng, pendaftaran tanah, status tanah.ABSTRACTThe remittance of capital in the form of transitional land, must be in accordance with Act No. 40 Year 2007 On limited liability company and Government Regulation Number 24 year 1997. Mismatch of land revenue into the company may give rise to problems regarding the status of ownership rights over the land because of a mismatch between the data physical and juridical data with reality, so that the holders of rights can actually be harmed. This paper is the result of research that has been done to examine the inclusion of land into a limited liability company and the status of land rights, which provided the capital limited liability company which is done without any transitional registration entitlements. As part of the juridical normative research who analyzed the normative juridical basis, results obtained, namely the inclusion of land into the capital of the company must be made with the general meeting of shareholders, made with participation certificate capital into a limited liability company by land deed official authorities, and registration is performed inbetween the right to reverse the name, as well as the status of the land was made capital of the company without the registration done right to transition behind the name still is considered to belong to the person whose name was recorded in the certificate, not part of the property of the company. However, limited pereroan can sue the truth with the certificate data to prove the existence of goodwill in the acquisition of land rights or real mastery that shows the relationship between the land with limited liability because land rights certificate is strong evidence.Keywords: inbreng, land register, status of land rights.
HAK PRIORITAS DALAM PEROLEHAN TANAH HAK GUNA BANGUNAN YANG HABIS JANGKA WAKTUNYA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA DAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL Hakim, Rachseria Isneni; Pujiwati, Yani; Rubiati, Betty
ACTA DIURNAL Vol 2, No 1 (2018): ACTA DIURNAL, Volume 2, Nomor 1, Desember 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (17.658 KB)

Abstract

ABSTRAKHak prioritas untuk memperoleh kembali dari tanah hak guna bangunan yang sudah habis jangka waktunya menjadi tanah hak milik untuk rumah tinggal yang dimiliki oleh perseorangan Warga Negara Indonesia karena hak milik merupakan hak yang terpenuh dan terkuat. Tujuan penelitian ini untuk memperoleh gambaran dalam penentuan hak prioritas atas hak guna bangunan yang habis jangka waktunya dan untuk memperoleh pemahaman mengenai perlindungan hukum terhadap pemegang hak guna bangunan yang habis jangka waktunya yang ditolak untuk mendapatkan hak prioritas ditinjau dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dan Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 6 Tahun 1998. Penelitian secara yuridis normatif, teknik pengumpulan data dengan studi kepustakaan dan wawancara. Disimpulkan bahwa ketentuan-ketentuan berdasarkan Pasal 1 Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 6 Tahun 1998 merupakan dasar hukum pemberian hak (prioritas) untuk lebih diutamakan dalam memperoleh kembali tanah hak guna bangunan yang belum habis dan/atau telah habis jangka waktunya, Perlindungan hukum yang diberikan kepada pemohon hak prioritas yang ditolak karena akan memperoleh tanah hak milik melebihi dari 5.000 m2 (lima ribu meter persegi) yaitu mengajukan permohonan hak guna bangunan di atas tanah Negara untuk memperoleh kembali tanah hak guna bangunan yang telah habis jangka waktunya, lalu mengajukan permohonan untuk pemecahan bidang tanah sehingga menjadi 2 (dua) bidang tanah hak guna bangunan yang sama besarnya dan kemudian melakukan peningkatan hak menjadi hak milik untuk rumah tinggal atas 1 (satu) bidang tanah hak guna bangunan, sedangkan 1 (satu) bidang tanah hak guna bangunan lainnya tetap berstatus tanah hak guna bangunan di atas tanah Negara.Kata kunci: hak prioritas; hak guna bangunan; hak milik.ABSTRACTThe priority right in order to get back from the building right’s land that out of date become the property right’s land for dwelling house that owned by Indonesian citizen because the property right is the most fulfilled and the strongest right. The purpose of this research is to get an overview of the priority right in order to get back from the building right’s land that out of date and to gain an understanding of the legal protection of the owner of the building right’s land that out of date who are denied to get the priority right in view of Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 and Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 6 Tahun 1998. This research through a normative juridical data collection techniques conducted by library studies and interviews conducted at the Land Office Tangerang City. Based on the analysis result, it can be concluded that the provisions based on Pasal 1 Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 6 Tahun 1998 is the legal basis for granting the right (priority) to take precedence in recovering the unused and / or expired. The legal protection granted to the applicant of the priority right that is denied because it will acquire the property right’s land exceeds 5.000 m2 (five thousand square meters) that is applying for the building right’s state land to get back the building right’s land that out of date, then applying for the split of the land so that it becomes 2 (two) plots of land which are the same magnitude and then increase the right to become the property right’s land for dwelling house of 1 (one) plot of the building right’s land. Whereas 1 (one) plot of the other building right’s land still has the status of the building right’s state.Keywords: building right`s; priority right, property right.
ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH BAGI MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH (MBR) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2009 Pujiwati, Yani; Rubiati, Betty
ACTA DIURNAL Vol 1, No 1 (2017): ACTA DIURNAL, Volume 1, Nomor 1, Desember 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (17.658 KB)

Abstract

ABSTRAKSaat ini pembangunan perumahan sangat pesat dilaksanakan karena kebutuhan rumah yang semakin meningkat, khususnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Tanah yang dipergunakan seringkali berupa lahan pertanian beriirigasi sehingga merupakan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang tidak dapat dialihfungsikan menjadi lahan non pertanian. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis penyediaan tanah bagi pembangunan perumahan khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan alih fungsi lahan pertanian bagi pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu  mengkaji data sekunder  berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Spesifikasi penelitian deskriptif analitis, yaitu berupa penggambaran, penelaahan, dan penganalisisan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku  dalam bidang perumahan, agraria serta ketentuan hukum yang  berkenaan dengan perlindungan lahan pertanian pangan.Penyediaan tanah bagi pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) diantaranya adalah konsolidasi tanah dan pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar. Alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan diperkenankan apabila untuk pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Salah satu kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum adalah pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan status sewa.Kata kunci : alih fungsi, lahan pertanian, masyarakat berpenghasilan rendah. ABSTRACT Currently housing development rapidly implemented because of the needs of an ever increasing home particularly for low income communities (MBR). Land use is often in the form of agricultural land irrigation so it is a sustainable food agricultural land which can not function becomes non farm land. The purpose of the research was to analyse the provision of land for housing development, especially for low income communities (MBR) and control of the functions of agricultural land for the construction of housing for people on low incomes (MBR).This research uses the juridical normative approach, i.e.secondary data review legalmaterialsin the form ofprimary, secondary and tertiary. Descriptive research analytical specifications, namely in the form of representations, studies, and analyst legal provisions applicable in the field of housing, agrarian law, and the provisions relating to the protection of agricultural land food.The provision of land for the construction of housing for people on low incomes (MBR) among them are the consolidation of land and the efficient use of State land the former wastelands. Control of the functions of agricultural land sustainable food allowed, When to procure land for the public interest. One of the development activities for the benefit of the public, is the construction of houses for people on low incomes (MBR) with the status of the lease. Keywords: instead of a function, farmland, low-income communities.
PENGADAAN RUMAH MELALUI DANA TAPERUM BERDASARKAN KEPPRES NO. 14 TAHUN 1993 TENTANG TABUNGAN PERUMAHAN PEGAWAI NEGERI SIPIL Yani Pujiwati; Mulyani Djakaria; Betty Rubiati
Sosiohumaniora Vol 3, No 2 (2001): SOSIOHUMANIORA, JULI 2001
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/sosiohumaniora.v3i2.5209

Abstract

Pengadaan rumah bagi Pegawai Negeri dapat dilaksanakan dengan penyediaan fasilitas rumah negara, tetapi tidak semua Pegawai Negeri Sipil memperoleh fasilitas tersebut. Keppres No. 14 Tahun 1993 memungkinkan Pegawai Negeri Sipil memperoleh bantuan dana berupa uang muka pembelian rumah yang dibiayai dengan fasilitas Kredit Pemilikan Rumah dan sebagian biaya untuk membangun rumah bagi Pegawai Negeri Sipil yang memiliki tanah di tempatnya bekerja. Di dalam penelitian ini dipergunakan metode deskriptif analitis agar diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh tentang tabungan perumahan Pegawai Negeri Sipil. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan hukum normatif yaitu terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tabungan perumahan Pegawai Negeri Sipil. Dari penelitian yang telah dilaksanakan diperoleh kesimpulan bahwa memperoleh dana bantuan tabungan perumahan Pegawai Negeri Sipil merupakan hak Pegawai Negeri Sipil dengan terlebih dahulu melaksanakan kewajiban berupa tabungan yang dipotong dari gaji setiap bulan. Perolehan dana ini harus melalui tata cara yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kata Kunci : Pengadaan rumah, tabungan perumahan.
ASAS PEMISAHAN HORIZONTAL DALAM KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN SATUAN RUMAH SUSUN BAGI MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH (MBR) Betty Rubiati; Yani Pujiwati; Mulyani Djakaria
Sosiohumaniora Vol 17, No 2 (2015): SOSIOHUMANIORA, JULI 2015
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (306.217 KB) | DOI: 10.24198/sosiohumaniora.v17i2.7295

Abstract

ABSTRAKPembangunan perumahan dan permukiman merupakan kebijakan untuk memenuhi kebutuhandasar manusia.Dalam rangka peningkatan daya guna dan hasil guna tanah serta mengefektifkan penggunaan tanahterutama di daerah-daerah berpenduduk padat dan di kota-kota besar yang tanahnya sudah terbatas perlu diarahkanpembangunan perumahan dan permukiman dalam bentuk dan sistem Rumah Susun. Kepemilikan rumah susunyang ada saat ini menyatukan satuan rumah susun dengan hak atas tanahnya yang harganya semakin tinggisehingga sulit dijangkau oleh Masyarakat Berpenghasilan Rendah.Metode yang digunakan dalam penelitian iniadalah deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif. Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaandan pelitian lapangan dianalisis secara normatif kualitatifKepemilikan satuan rumah susun saat ini sudahmenerapkan asas pemisahan horisontal, hal ini terlihat bahwa rumah susun dapat dibangun diatas tanah milikorang lain, namun Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menyatukan kepemilikan satuan rumahsusun dengan tanah bersama menunjukkan masih dipengaruhi asas perlekatan. Dalam kepemilikan rumah susunmelalui pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah dan pendayagunaan tanah wakaf dengan cara sewadengan bukti kepemilikan berupa Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung Satuan rumah susun menunjukanpenerapan asas pemisahan horisontal secara konsisten. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah untukmemenuhi kebutuhan rumah bagi MBR, namun belum bisa terlaksana dengan baik, hal ini disebabkan karenapemilikan rumah susun bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah masih dikaitkan dengan hak atas tanah yangharganya semakin meningkat. Pemilikan rumah susun yang memisahkan dengan hak atas tanahnya diharapkandapat memenuhi kebutuhan rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah, namun sampai saat ini belum dapatdilaksanakan, selain belum ada peraturan pelaksanaan UU Rumah Susun juga belum ada instansi yang dapatmelakukan pendaftarannya.
EKSISTENSI SERTIPIKAT HAK KOMUNAL ATAS TANAH MASYARAKAT HUKUM ADAT DI SEKTOR KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Lukman Ilman Nurhakim; Betty Rubiati; Anita Afriana
Bina Hukum Lingkungan Vol 3, No 1 (2018): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (243.683 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v3i1.68

Abstract

ABSTRAKHak Ulayat pada penerapannya telah digantikan oleh Hak Komunal melalui Peraturan MATR/KBPN No. 10/2016. Dengan kata lain, Permen ATR/KBPN No. 10/2016 menghendaki adanya Sertipikat Hak Komunal atas Tanah berpotensi dapat menegasikan pengelolaan Masyarakat Hukum Adat terhadap sektor kehutanan dan perkebunan. Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah metode pendekatan yuridis normatif. Sertipikat Hak Komunal atas Tanah merupakan suatu bukti kepemilikan atas tanah sebagai upaya mereduksi konflik yang terus berkelanjutan. Namun, eksistensi Hak Komunal baik UUPA maupun PP Pendaftaran Tanah tidak mengatur sebagai bagian daripada Hak Atas Tanah maupun objek pendaftaran tanah. Begitu juga UU Kehutanan dan UU Perkebunan sebagai UU sektoral pengelolaan tanah di bidang kehutanan dan perkebunan tidak mengatur mengenai pranata Hak Komunal atas Tanah. Dengan demikian, Permen ATR/KBPN No. 10/2016 dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat dikarenakan pembentukannya tidak diperintahkan peraturan perundang-undangan di atasnya, demikian juga dengan Sertipikat Hak Komunal atas Tanah dapat dikesampingkan, khususnya pada sektor Kehutanan dan Perkebunan.Kata kunci: hak komunal atas tanah; kehutanan; perkebunan.ABSTRACTCustomary rights in their application have been replaced by Communal Rights through the Regulation of MATR/KBPN No. 10/2016. In other words, Minister regulation ATR/KBPN No. 10/2016 requires the Communal Land Rights Certificates can potentially negate the management of Indigenous People of the forestry and plantation sectors. The method used in this article is normative juridical approach. Communal Land Rights Certificate is a proof of ownership of the land, it is used to reduce conflict. However, the existence of communal rights, both the UUPA and the PP of land registration, does not regulate it as part of land rights or the object of land registration. As well as the Forestry Law and the Plantation Law which in charge in land management law in the field of Forestry and Plantations do not regulate Communal Rights on Land. Thus, Permen ATR/KBPN No. 10/2016 is declared to have no binding power because its formation is not mandated by the laws and regulations above, as well as the Communal Rights Certificate on Land can be set aside, especially in the Forestry and Plantation sectorKeywords: communal rights to land; forestry; plantation.
TINJAUAN HUKUM PENGUASAAN TANAH OLEH WARGA DI KECAMATAN TANJUNGSARI KABUPATEN SUMEDANG TERHADAP JALUR KERETA API NONAKTIF Ulima Fhadiah Ermahri; Betty Rubiati; Mulyani Djakaria
Era Hukum - Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum Vol 19, No 2 (2021): Jurnal Era Hukum Volume 19 No.2 Tahun 2021
Publisher : Faculty of Law - Tarumanagara University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/erahukum.v19i2.12182

Abstract

 Development in the transportation sector raises various land problems. One of them is the problem of land tenure without rights that occurs on the non active railroad. This problem arises because the  residents live on the land of the former railroad track that has been inactive for a long time, such as what happened in Tanjungsari District, Sumedang Regency. The plan to reactivate the Rancaekek-Tanjungsari railway line is the beginning of problems related to land tenure. This study aims to determine how the legal status of the railroad tracks non active in Tanjungsari District, Sumedang Regency and how to solve the land problems. The research method used is juridical normative, the research specification is descriptive analysis. The method used is normative juridical analytical descriptive research. Based on secondary data and data collection using literature studies and interviews. The data analysis method used in this research is qualitative juridical. Based on the results of this study, it can be concluded that the legal status of land controlled by residents is assets belonging to PT KAI, which is state land controlled by PT KAI on the basis of mastery in the form of grondkaart. The residents occupied the land without rights. Therefore, in an effort to resolve the land issue, deliberation / mediation is necessary to find the best solution by taking into account the interests of the related parties, or it can be resolved by public consultation.
EKSISTENSI SERTIPIKAT HAK KOMUNAL ATAS TANAH MASYARAKAT HUKUM ADAT DI SEKTOR KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Lukman Ilman Nurhakim; Betty Rubiati; Anita Afriana
Bina Hukum Lingkungan Vol 3, No 1 (2018): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (243.683 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v3i1.68

Abstract

ABSTRAKHak Ulayat pada penerapannya telah digantikan oleh Hak Komunal melalui Peraturan MATR/KBPN No. 10/2016. Dengan kata lain, Permen ATR/KBPN No. 10/2016 menghendaki adanya Sertipikat Hak Komunal atas Tanah berpotensi dapat menegasikan pengelolaan Masyarakat Hukum Adat terhadap sektor kehutanan dan perkebunan. Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah metode pendekatan yuridis normatif. Sertipikat Hak Komunal atas Tanah merupakan suatu bukti kepemilikan atas tanah sebagai upaya mereduksi konflik yang terus berkelanjutan. Namun, eksistensi Hak Komunal baik UUPA maupun PP Pendaftaran Tanah tidak mengatur sebagai bagian daripada Hak Atas Tanah maupun objek pendaftaran tanah. Begitu juga UU Kehutanan dan UU Perkebunan sebagai UU sektoral pengelolaan tanah di bidang kehutanan dan perkebunan tidak mengatur mengenai pranata Hak Komunal atas Tanah. Dengan demikian, Permen ATR/KBPN No. 10/2016 dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat dikarenakan pembentukannya tidak diperintahkan peraturan perundang-undangan di atasnya, demikian juga dengan Sertipikat Hak Komunal atas Tanah dapat dikesampingkan, khususnya pada sektor Kehutanan dan Perkebunan.Kata kunci: hak komunal atas tanah; kehutanan; perkebunan.ABSTRACTCustomary rights in their application have been replaced by Communal Rights through the Regulation of MATR/KBPN No. 10/2016. In other words, Minister regulation ATR/KBPN No. 10/2016 requires the Communal Land Rights Certificates can potentially negate the management of Indigenous People of the forestry and plantation sectors. The method used in this article is normative juridical approach. Communal Land Rights Certificate is a proof of ownership of the land, it is used to reduce conflict. However, the existence of communal rights, both the UUPA and the PP of land registration, does not regulate it as part of land rights or the object of land registration. As well as the Forestry Law and the Plantation Law which in charge in land management law in the field of Forestry and Plantations do not regulate Communal Rights on Land. Thus, Permen ATR/KBPN No. 10/2016 is declared to have no binding power because its formation is not mandated by the laws and regulations above, as well as the Communal Rights Certificate on Land can be set aside, especially in the Forestry and Plantation sectorKeywords: communal rights to land; forestry; plantation.