Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

PERAWATAN LUKA INFUS MENGGUNAKAN OLES PAVIDONE IODINE 10 PERSEN TERHADAP KEJADIAN PLEBITIS SUSY HERMANINGSIH
Healthy Journal Vol. 1 No. 1 (2013): HEALTHY JOURNAL | Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan
Publisher : Program Studi Ilmu Keperawatan FIKES UNIBBA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (138.46 KB)

Abstract

Standar intervensi keperawatan yang merupakan lingkup tindakan keperawatan adalah upaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah cairan (air dan elektrolit). Kebutuhan manusia terhadap cairan adalah sangat penting sekali untuk proses metabolisme tubuh. Pemasangan infus merupakan terapi intra vena bertujuan untuk mengoreksi dan mencegah gangguan cairan dalam tubuh, dengan permasalahan yang sering dihadapi pada pemasangan infus tersebut adalah flebitis. Flebitis mengacu ke temuan klinis adanya nyeri, nyeri tekan, bengkak, pengerasan, eritema, hangat dan terbanyak vena seperti tali. Semua ini diakibatkan peradangan, infeksi dan atau trombosis. Faktor patogenesis flebitis, antara lain : faktor kimia seperti obat atau cairan yang iritan. Flebitis kimia bisa terjadi ketika cairan dengan pH yang tinggi atau rendah, osmolaritas yang > 500 mOsm/L (seperti infus glukosa, nutrisi parenteral, darah, dll), faktor mekanis seperti bahan, ukuran kateter, lokasi dan lama kanulasi, serta agen infeksius. Faktor pasien yang dapat mempengaruhi angka flebitis mencakup kondisi dasar yakni diabetes melitus, infeksi, luka bakar. Di Amerika Serikat, lebih dari 25 juta pasien di dipasang jalur intravena setiap tahun. 26% sampai 70% dari pasien yangterpasang infuse terjadi flebitis, sesuai dengan standar Intravenous Nurses Society, kalau itu lebih dari 5% tidak dapat diterima. Flebitis paling sering terjadi dalam 24 - 48 jam pertama setelah jalur intravena dilakukan, dan lebih mungkin terjadi ketika tempat penusukan dekat dengan penusukan yang terdahulu. Flebitis dapat berkembang sampai 96 jam setelah infus dihentikan. Kata kunci: luka infus, oles povidone, plebitis
MENGAPA BAYI MENANGIS TERUS MENERUS? ( SUSY HERMANINGSIH
Healthy Journal Vol. 2 No. 1 (2014): HEALTHY JOURNAL | Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan
Publisher : Program Studi Ilmu Keperawatan FIKES UNIBBA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (743.97 KB)

Abstract

Menangis adalah ungkapan perasaan sedih (kecewa, menyesal) dengan mencucurkan air mata serta mengeluarkan suara (tersedu-sedu, menjerit-jerit). Bila bayi terus menerus menangis, maka perlu dicari penyebabnya kemungkinan bayi tersebut lapar, haus, teknik menyusu yang salah, ingin ditemani, tidak nyaman, gigi tumbuh, lelah, bosan, kolik, atau kebiasaan, karakter, atau bayi tersebut sakit, dan lain-lain. Menangis adalah cara bayi berkomunikasi. Melalui tangisan bayi memberitahukan kebutuhan-kebutuhannya kepada orang tua seperti rasa lapar, lelah, pedih dan keadaan tubuh yang tidak menyenangkan lainnya, serta untuk memenuhi keinginannya untuk diperhatikan. Orang tua terkadang tidak mengetahui apa yang dibutuhkan ketika bayinya menangis sehingga bayinya menangis terus-menerus. Umumnya, orang tua mengartikan tangis bayi sebagai tanda lapar padahal bayi menangis itu tidak selalu berarti lapar. Hasil penelitian tentang Pengetahuan dan Sikap Ibu tentang Bayi Menangis Terus-Menerus menunjukan bahwa ibu-ibu memiliki pengetahuan dan sikap yang positif berdasarkan pengalaman dan informasi yang didapatkan ibu diusia produktif tetapi masih ada ibu-ibu di usia produktif ini, memiliki sikap yang negatif, yang disebabkan oleh faktor internal ibu, seperti kelelahan dan rasa cemas dalam merawat bayi yang sakit dan menangis terus-menerus. Tangisan pada bayi dapat dihentikan jika orang tua mengetahui penyebab bayi itu manangis. Bayi yang banyak menangis bisa membuat ibunya tegang, lelah dan bosan karena seorang ibu tidak tahu penyebab tangisannya. Arti tangisan bayi berbeda-beda, masing-masing merupakan tanda komunikasi yang jelas sebagai ungkapan pesan kepada orang tua tentang apa yang bayi butuhkan. Gerakan tubuh yang menyertai tangis dapat membantu orang tua lebih memahaminya. Makin lama dan makin keras tangisannya menandakan semakin kuat kebutuhannya. Kata Kunci: bayi, orang tua/ibu, menangis terus menerus,
Pengaruh Senam Kegel Terhadap Dispareunia pada Perempuan Menopause di Kelurahan Pamoyanan Wilayah Kerja Puskesmas Pasirkaliki Bandung Gurid mulyo; Iryanti .; Susy Hermaningsih
JURNAL RISET KESEHATAN POLTEKKES DEPKES BANDUNG, Online ISSN 2579-8103 Vol 7 No 1 (2014): Jurnal Riset Kesehatan Poltekkes Depkes Bandung
Publisher : Poltekkes Kemenkes Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4707.53 KB)

Abstract

Kegel exercise is an intervention which can be carried out by menopause women suffering dyspareunia in order to avoid the risk of depression. This research is aimed at identifying the impacts of Kegel exercise on menopause women with dyspareunia at Pamoyanan District in the Operational Area of Pasirkaliki Community Health Center in Bandung. The result of this research can be used to improve the service quality and model for the community so as to improve the life quality of menopause women. The type of this research is quasi experiment with pre - post test one group design. Independent variable in this research is Kegel exercise, while the dependent variable is dyspareunia. Based on the sampling technique, namely, consecutive sampling, there are 36 respondents. Dyspareunia scale is measured by using the instrument of numeric scale from 0-10. After the measurement of dyspareunia scale prior to the Kegel exercise (pre test), menopause women carry out Kegel exercise 3 times a day, namely in the morning, afternoon and evening, for 6 weeks which is monitored through a log book, and subsequently, dyspareunia scale is measured following the Kegel exercise (post test). The analysis of data in order to find out the average of dyspareunia scale before and after Kegel exercise is conducted by using univariate analysis, while in order to find out the impact of Kegel exercise on dyspareunia, T dependent test is carried out. The results of analysus indicate that the average dyspareunia scale before Kegel exercise (pre test) is 5.58 and the average dyspareunia scale after Kegel exercise (post test) is 2.69, which indicate the decreased dyspareunia scale in the amount of 2.89 points. The result of the statistic test indicates that t value = 12.665 with p-value = 0.000 < a (0.05), which means that Kegel exercise carried out for 6 weeks has decreased dyspareunia on menopause women. Therefore, menopause women with dyspareunia should carry out Kegel exercise as a therapy so that they can avoid the effects of the decrease in estrogen and estrogen therapy, thus their life quality will be improved