Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Pemilihan Kepala Daerah Dalam Konstruksi UUD NRI 1945 Parbuntian Sinaga
BINAMULIA HUKUM Vol 7 No 1 (2018): Binamulia Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37893/jbh.v7i1.10

Abstract

Amandemen UUD 1945 telah membawa perubahan yang cukup mendasar terhadap sistem pemilihan kepala daerah di Indonesia. Substansi perubahan itu berkaitan dengan pengisian jabatan kepala daerah yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945, bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Frase “Dipilih secara demokratis” telah dimaknai sebagai pemilihan secara langsung oleh rakyat melalui UU No. 8 Tahun 2015. Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 2015 disebutkan, “…pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati, dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis”. Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung oleh rakyat merupakan salah satu upaya menciptakan pemerintahan yang demokratis. Ditinjau dari kedaulatan rakyat, pilkada secara langsung merupakan perwujudan bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat di daerah. Dalam hal ini rakyat memiliki kesempatan untuk menentukan pemimpinnya secara langsung, bebas, rahasia, tanpa intervensi dari pihak mana pun. Tujuan idealnya pilkada langsung antara lain, terpilihnya kepala daerah yang terpercaya, memiliki kemampuan, berkepribadian dan moral yang baik. Dengan demikian, pilkada mempunyai sejumlah manfaat, berkaitan dengan peningkatan kualitas tanggung jawab pemerintah daerah pada warganya yang pada akhirnya akan mendekatkan kepala daerah dengan masyarakatnya dalam upaya mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Keywords: pemilihan kepala daerah, pilkada, kepala daerah, demokrasi.
PENGISIAN JABATAN KEPALA DAERAH DALAM DINAMIKA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA Nahot Martua Purba; Philips A. Kana; Parbuntian Sinaga
Krisna Law Vol 1 No 3 (2019): Krisna Law, Oktober 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (324.18 KB)

Abstract

Sejak reformasi konstitusi praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia termasuk di dalamnya proses dari pengisian jabatan kepala daerah telah mengalami kemajuan, dengan ditandatangani pemilihan kepala daerah secara langsung. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah pertama bagaimanakah pengisian jabatan kepala daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kedua bagaimanakah pengisian jabatan kepala daerah menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah dan ketiga bagaimanakah pengisian jabatan kepala daerah yang ideal menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif. Hasil penelitian ini diperoleh jawaban sebagai berikut. Pada pengisian jabatan kepala daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dipilih oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi/kabupaten, menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah hingga sampai sekarang pengisian jabatan kepala daerah provinsi/kabupaten dipilih secara langsung oleh rakyat (demokrasi). Kata Kunci: pengisian jabatan kepala daerah setelah reformasi sampai saat ini.
PENERAPAN PASAL 51 AYAT (1) KUHP DALAM MENENTUKAN KESALAHAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI BIROKRASI: (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 685 K/PID/2005 dan Nomor 1393 K/Pid.Sus/2014) Syafri Donny Sirait; Siswantari Pratiwi; Parbuntian Sinaga
SOSIOEDUKASI Vol 12 No 1 (2023): SOSIOEDUKASI : JURNAL ILMIAH ILMU PENDIDIKAN DAN SOSIAL
Publisher : Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universaitas PGRI Banyuwangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36526/sosioedukasi.v12i1.2513

Abstract

This research is motivated by the fact that in recent years, many defendants from Corruption Crime cases have used Article 51 paragraph (1) of the Criminal Code, as evidenced by many Judges in the District Court (first instance) who granted the request, but many were also Supreme Court Judges who annulled it. The problems in this study include (i) What are the provisions of the position order contained in Article 51 paragraph (1) of the Criminal Code that can eliminate errors and accountability for corruption in the bureaucracy? (ii) How is the legal application of the office order in Article 51 paragraph (1) of the Criminal Code in determining the guilt and responsibility of corruption crimes in the Supreme Court Decision No. 685 K/PID/2005 and No. 1393 K/Pid.Sus/2014. This research is a normative research with juridical approach methods and analytical descriptive. The data was come from secondary data, primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary with literature data collection. The method of analysis used is a qualitative analysis. The results of the study First, there are (2) two conditions that must be met in order for an executor of an order to escape the noose, namely subjective conditions and objective conditions. Secondly, in Supreme Court Decision No. 685 K/PID/2005, judges apply the law normatively without judging more deeply and fundamentally, as in Supreme Court Decision No. 1393 K/Pid.Sus/2014, judges are more deeply assessed regarding the condition that a person can be given Article 51 paragraph (1) of the Criminal Code.
Equitable Law Enforcement Against Law Enforcement Officers in Criminal Acts of Corruption Andi Apriyanto; Siswantari Pratiwi; Parbuntian Sinaga
JILPR Journal Indonesia Law and Policy Review Vol 4 No 3 (2023): Journal Indonesia Law and Policy Review (JILPR), June 2023
Publisher : International Peneliti Ekonomi, Sosial dan Teknologi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56371/jirpl.v4i3.179

Abstract

The pattern of eradicating corruption by punishing perpetrators with severe criminal sanctions and even up to the death penalty must be upheld to prevent acts of corruption. However, in practice, the criminal sanctions given by court judges to perpetrators are still light, even when the perpetrators are law enforcement officials such as the Prosecutor General's Office. The problem is how to consider the judges of the DKI Jakarta High Court Number 10/Pid.Sus-TPK/2021/PT.Dki and the Decision of the Central Jakarta District Court Number 11/Pid.B/TPK/2008/PN.Jkt.Pst in imposing criminal sanctions by Prosecutor Pinangki and Prosecutor Urip Tri Gunawan? The research method used is normative juridical research using secondary data. The results of the study stated that the consideration of the DKI Jakarta High Court Judge Number 10/Pid.Sus-TPK/2021/PT.Dki and the Decision of the Central Jakarta District Court Number 11/Pid.B/TPK/2008/PN.Jkt.Pst in imposing criminal sanctions that were carried out by Prosecutor Pinangki and Prosecutor Urip Tri Gunawan was based on mitigating and aggravating matters which led to disparities. This is caused by structural factors, substance factors, and cultural factors.
Pemilihan Kepala Daerah Dalam Konstruksi UUD NRI 1945 Parbuntian Sinaga
Binamulia Hukum Vol. 7 No. 1 (2018): Binamulia Hukum
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37893/jbh.v7i1.311

Abstract

Amandemen UUD 1945 telah membawa perubahan yang cukup mendasar terhadap sistem pemilihan kepala daerah di Indonesia. Substansi perubahan itu berkaitan dengan pengisian jabatan kepala daerah yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945, bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Frase “Dipilih secara demokratis” telah dimaknai sebagai pemilihan secara langsung oleh rakyat melalui UU No. 8 Tahun 2015. Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 2015 disebutkan, “…pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati, dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis”. Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung oleh rakyat merupakan salah satu upaya menciptakan pemerintahan yang demokratis. Ditinjau dari kedaulatan rakyat, pilkada secara langsung merupakan perwujudan bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat di daerah. Dalam hal ini rakyat memiliki kesempatan untuk menentukan pemimpinnya secara langsung, bebas, rahasia, tanpa intervensi dari pihak mana pun. Tujuan idealnya pilkada langsung antara lain, terpilihnya kepala daerah yang terpercaya, memiliki kemampuan, berkepribadian dan moral yang baik. Dengan demikian, pilkada mempunyai sejumlah manfaat, berkaitan dengan peningkatan kualitas tanggung jawab pemerintah daerah pada warganya yang pada akhirnya akan mendekatkan kepala daerah dengan masyarakatnya dalam upaya mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera.