Philips A. Kana
Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

PENGISIAN JABATAN KEPALA DAERAH DALAM DINAMIKA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA Nahot Martua Purba; Philips A. Kana; Parbuntian Sinaga
Krisna Law Vol 1 No 3 (2019): Krisna Law, Oktober 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (324.18 KB)

Abstract

Sejak reformasi konstitusi praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia termasuk di dalamnya proses dari pengisian jabatan kepala daerah telah mengalami kemajuan, dengan ditandatangani pemilihan kepala daerah secara langsung. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah pertama bagaimanakah pengisian jabatan kepala daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kedua bagaimanakah pengisian jabatan kepala daerah menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah dan ketiga bagaimanakah pengisian jabatan kepala daerah yang ideal menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif. Hasil penelitian ini diperoleh jawaban sebagai berikut. Pada pengisian jabatan kepala daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dipilih oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi/kabupaten, menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah hingga sampai sekarang pengisian jabatan kepala daerah provinsi/kabupaten dipilih secara langsung oleh rakyat (demokrasi). Kata Kunci: pengisian jabatan kepala daerah setelah reformasi sampai saat ini.
Analisis Yuridis Peran Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga Independen Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Dennis Robby Hidayat; Philips A. Kana; Riastri Haryani
Krisna Law Vol 2 No 1 (2020): Krisna Law, Februari 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (356.887 KB)

Abstract

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), merupakan suatu lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Bahwa kedudukan, fungsi dan wewenang KPK diatur dalam Bab I dan Bab II Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yaitu Pasal 3, 6, 7 dan 8. Pelaksanaan peran KPK diatur dalam Pasal 11, 12, 13, 14 dan 15 Undang-Undang KPK. Adapun hambatan dalam pemberantasan korupsi adalah hambatan struktural, hambatan kultural, hambatan instrumental dan hambatan manajemen. Kata Kunci: komisi pemberantasan korupsi, independensi, kedudukan, wewenang dan hambatan.
Analisis Yuridis Keterwakilan Perempuan Dalam Pengisian Keanggotaan Parlemen Dalam Perspektif Hukum Tata Negara Indonesia Tanti Setia Ningrum; Philips A. Kana; Riastri Haryani
Krisna Law Vol 2 No 1 (2020): Krisna Law, Februari 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (326.423 KB)

Abstract

Dalam Pasal 28 H ayat (2) “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”, hal ini seharusnya menjadi landasan untuk dijaminnya hak politik perempuan. Namun, seringkali partai politiklah yang mengabaikannya urgensi keterwakilan perempuan di parlemen. Kesadaran terhadap hak perempuan dalam keterwakilannya di parlemen dibangun dalam beberapa ketentuan undang-undang, salah satunya Undang-Undang Partai Politik yang memuat kuota affirmative action keterwakilan perempuan untuk setiap kepengurusan pada tiap tingkatan, pendirian dan pembentukan partai politik yang harus menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan. Hal ini karena partai politik merupakan mobil bagi perempuan untuk ikut bertarung di arena pemilihan umum yang kemudian mereka yang terpilih akan mewakili suara-suara perempuan di Indonesia. Kata Kunci: partai politik, keterwakilan perempuan, affirmative action, undang-undang partai politik, pemilu 2014.