Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : Jurnal Adat dan Budaya Indonesia

Menggali Konsep Filosofis Ritual Wu’u Lolo Masyarakat Lamaole-Lawomaku-Flores Timur dalam Perspektif “Being in the Other” menurut Heidegger Heribertus Ama Bugis; Riyanto, Armada
Jurnal Adat dan Budaya Indonesia Vol. 6 No. 1 (2024)
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jabi.v6i1.69706

Abstract

Fokus penelitian ini ialah mengkaji dan memahami konsep "being in the other" (berada dalam yang lain) Martin Heidegger dalam ritual Wu'u Lolo yang dilakukan oleh masyarakat Lamaholot di Indonesia Timur.  Martin Heidegger merupakan seorang filsuf terkenal dalam tradisi fenomenologi dan eksistensialisme mengembangkan pandangan filosofis yang menekankan pentingnya interaksi sosial dan konteks dalam membentuk pemahaman individu tentang eksistensi dan realitas. Dalam Ritual Wu'u Lolo, masyarakat Lamaholot terlibat dalam serangkaian upacara adat yang melibatkan interaksi sosial, pertukaran budaya, dan pemahaman kolektif tentang dunia spiritual mereka. Penelitian ini menggunakan kerangka konseptual Heidegger untuk menganalisis bagaimana peserta ritual "berada dalam yang lain" saat berpartisipasi dalam upacara ini, bagaimana pengalaman tersebut membentuk pemahaman mereka tentang eksistensi, dan bagaimana konsep ini berperan dalam mempertahankan dan memperkaya tradisi budaya masyarakat Lamaholot. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini ialah studi kepustakaan. Melalui analisis ini, penelitian ini bertujuan untuk membawa pemahaman filosofis Heidegger tentang "being in the other" ke dalam konteks budaya yang berbeda, menunjukkan relevansi dan aplikabilitas konsep tersebut dalam pemahaman eksistensi manusia di berbagai latar belakang budaya. Penelitian ini menemukan bahwa konsep Being in Other ditemukan melalui partisipasi masyarakat Lamalohot dalam ritual Wulu Lolo membuat mereka terhubung dengan orang lain, alam dan juga sang Pencipta.
Tradisi Cear Cumpe di Kampung Runtu: Ekspresi Eksistensi Manusia Menurut Soren Kierkegaard Jebar, Sirilus; Riyanto, Armada; Adon, Mathias Jebaru
Jurnal Adat dan Budaya Indonesia Vol. 6 No. 1 (2024)
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jabi.v6i1.71598

Abstract

Artikel ini berfokus untuk mendalami konsep ekspresi eksistensi manusia dengan merinci dan menganalisis ritual cear cumpe, sebuah tradisi unik di Kampung Runtu, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tradisi ini bertujuan untuk memberi nama kepada bayi yang baru lahir, dan biasanya dilakukan setelah bayi tersebut berumur tiga sampai tujuh hari. Pendekatan filosofis Kierkegaard digunakan sebagai landasan teoretis untuk memahami makna mendalam dari ekspresi keberadaan manusia melalui ritual ini. Tujuan utama artikel ini adalah mengungkap dan menganalisis bagaimana ritual cear cumpe menjadi bentuk ekspresi eksistensi manusia, serta menjelaskan relevansi pemikiran Kierkegaard dalam konteks tradisi ini. Artikel ini bertujuan untuk memperkaya pemahaman tentang keberadaan manusia dalam konteks budaya lokal, dan mengaitkannya dengan pemikiran filosofis. Penulis menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Data diperoleh melalui studi literatur baik buku, jurnal ataupun artikel yang terkait. Pendekatan filosofis Kierkegaard diterapkan untuk merinci elemen-elemen eksistensial yang terkandung dalam ritual ini. Penulis menemukan bahwa ritual cear cumpe bukan sekadar serangkaian tindakan formal, tetapi merupakan ekspresi mendalam dari eksistensi manusia. Ritual ini mencerminkan keberadaan individual dan kolektif, serta menggambarkan perjalanan spiritual dalam kerangka pemikiran Kierkegaard. Artikel ini menyoroti signifikansi ritual ini dalam memahami konsep eksistensi manusia di tengah kompleksitas budaya dan nilai lokal. Artikel ini memberikan kontribusi pada pemahaman lintas budaya tentang ekspresi eksistensi manusia. Implikasi praktis termasuk peningkatan penghargaan terhadap keanekaragaman budaya dan pemikiran filosofis dalam konteks lokal. Selain itu, artikel ini dapat menjadi dasar untuk pelestarian dan pengembangan budaya lokal, sambil membuka ruang dialog antara tradisi lokal dan pemikiran global