Muammar Muchtar
Universitas Islam Makassar

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hadis Muammar Muchtar; Masri Masri
Dirasat Islamiah: Jurnal Kajian Keislaman Vol. 3 No. 1 (2022)
Publisher : FAI UIM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Hak Asasi Manusia (HAM) saat ini telah menjadi pusat perhatian internasional dan menjadi isu yang hangat dan banyak dibicarakan. Meskipun dalam Islam hak asasi manusia tidak secara khusus memiliki piagam, namun al-Qur'an dan As-Sunnah fokus pada hak asasi manusia. Nabi Muhammad sejak awal telah melaksanakan prinsip kebebasan beragama berupa prinsip persamaan derajat dan penghormatan terhadap manusia di madinah dalam masyarakat yang sangat heterogen seperti yang tertuang dalam piagam madinah.
Ikhlas dalam Perspekstif Hadis Muammar Muchtar; Masri Saad
Dirasat Islamiah: Jurnal Kajian Keislaman Vol. 1 No. 2 (2020)
Publisher : FAI UIM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Hadis-hadis yang terkait dengan ikhlas sangat banyak, mulai dari yang menggunakan term ikhlas sendiri sampai kepada term-term yang memiliki makna dan tujuan ke arah ikhlas. Juga ditem mukan bahwa ikhlas dalam pandangan hadis Nabi adalah sebuah tujuan atau maksud dari sebuah perbuatan yang semata-mata diarahkan kepada Allah SWT saja tanpa ada “sentuhan-sentuhan” dari maksud-maksud yang lain. Orang yang belum sempurna keikhlasannya, tidak boleh menjadikan alasan ketidaksempurnaan tersebut untuk berhenti dari perbuatan baik karena bisa jadi awalnya kurang sempurna tapi karena selalu diusahakan dan diperbaharui maka akan dapat berujung pada kesempurnaan, yang pada akhirnya menjadikan seseorang mendapat gelar mukhlis. Keikhlasan yang berarti kemurnian, maka ia tidak terbagi ke dalam beberapa bagian, akan tetapi bagi orang yang belum mampu mengikhlaskan amalnya secara sempurna bukan berarti serta merta ia tidak mendapatkan pahala. Selama ia mau berusaha memperbaiki keikhlasannya maka pasti akan mendapatkan ganjaran yang setimpal karena usahanya tadi. Bagi orang yang tidak mau memperbaiki niatnya atau memang niatnya sudah menyimpang dari yang seharusnya maka ia akan mendapatkan ganjaran berupa tidak diterimanya amal yang ia lakukan atau bahkan ia akan mendapat dosa karena ketidakikhlasannya itu. Keikhlasan adalah sesuatu yang sangat penting, terlepas dari wujud urgensinya, yang harus dilakukan oleh seorang manusia adalah upaya untuk meningkatan peribadatannya kepada Sang Pencipta disertai niat murni, tulus, ikhlas hanya kepada-Nya. Sehingga satu kalimat yang mungkin dapat mewakili semua harapan itu adalah jaddid al Niah (perbaharui niat).
Pandangan Ekonomi Syariah terhadap Bisnis Multi Level Marketing (MLM) pada PT K-Link Indonesia Cabang Makassar Fatmawati Fatmawati; Muammar Muchtar; Heri Iswandi; Masri Masri
Dirasat Islamiah: Jurnal Kajian Keislaman Vol. 3 No. 2 (2022)
Publisher : FAI UIM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Maraknya bisnis Multi Level Marketing (MLM) membuat ahli ekonomi dan bisnis Islam berbeda pendapat dalam menentukan hukum sistem bisnis tersebut. Berdasarkan hal ini maka artikel ini akan membahas mengenai pandangan ekonomi syariah terhadap sistem bisnis MLM pada PT K-Link Indonesia Cabang Makassar. Motode penelitian ini adalah kualitatif. Data wawancara, dokumentasi dan observasi lapangan mengenai sistem bisnis MLM pada PT K-Link Indonesia Cabang Makassar kemudian dikonfrontir dengan teori ekonomi syariah sehingga dapat ditetapkan hukum syar’i mengenai bisnis tersebut. Ditemukan bahwa sistem kerja bisnis Multi Level Marketing (MLM) PT K-Link Indonesia Cabang Makassar dalam pandangan syariah terdapat pada kategori muamalah yang hukumnya secara prinsip ialah boleh berdasarkan kaidah fiqh. Akan tetapi, ketika ada unsur yang terlarang dalam literatur Islam dan terdapat pada MLM maka hal tersebut tidak boleh dilakukan.
Wawasan Al-Qur’an Tentang Misaq (Sebuah Kajian Tafsir Maudu’i) Muammar Muchtar; H. Mubarak Bakri; Masri Saad
AL-AQWAM: Jurnal Studi Al-Quran dan Tafsir Vol. 1 No. 2 (2022): Online Journal
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (572.628 KB)

Abstract

It is important to independently propose a study of the protocol (misaq). There’s a lot to explore about this topic, depending on what perspective and approach is used. At the same time, the views of tafsir (Qur’anic) and hadiths are still rarely touched upon. Independent study from the perspective of the Qur’an is an urgent attempt to obtain a complete view of this object. From the tracing of the misaq scriptures and the exposition of related research, it can be seen that the firm covenant of man and god (misaqan ghalizan) in the first three aspects, the covenant between man and God in the context of the implementation of religious teachings, is confirmed in the womb of man while he is still in the womb, second, the covenant between God and the prophet to publish his treatises, and the third is the covenant of harmony and peace between husband and wife. All these treaties are again firmly bound and will be accounted for in the future.
Pandangan Para Mufassir Tentang Ayat Tabarruj dalam Surah Al-Ahzab Muammar Muchtar; Yuni Trisnawati; Teguh Teguh
Dirasat Islamiah: Jurnal Kajian Keislaman Vol. 1 No. 2 (2020)
Publisher : FAI UIM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Ajaran Islam bukannya hanya mengatur hubungan vertikal manusia (hablum minallah), tetapi juga hubungan horizontal dengan sesamanya (hablum minannas). Karena itulah antara lain Islam dikatakan sebagai yang sempurna, Islam mengajarkan kepada manusia mulai dari bagaimana cara makan, minum, tidur, sampai bagaimana cara mengabdi kepada sang khalik. Dalam masalah berhias, Islam menggariskan aturan-aturan yang harus ditaati yakni dalam apa yang disebut etika berhias. Seorang muslim atau muslimah dituntut untuk berhias sesuai dengan apa yang digariskan dalam aturan. Tidak boleh misalnya, seorang muslim atau muslimah dalam berhias hanya mementingkan mode atau adat yang berlaku di suatu masyarakat, sementara batasan-batasan yang sudah ditentukan agama ditinggalkan.