Hasan Su'aidi
IAIN Pekalongan

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Hermeneutika Hadis Syuhudi Ismail Hasan Su'aidi
Religia Vol 20 No 1: April 2017
Publisher : IAIN Pekalongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28918/religia.v20i1.837

Abstract

Hadis as a historical text should be in keeping with any social changes across times and situations of any kind. This is because Hadis is viewed as a sacred text which is shalih li kulli zaman wa makan (i.e., valid anywhere and anytime), despite ‘the impression’ that when being comprehended literally it seems at odd with the present-day context. Accordingly, research into matan within Hadis should adapt to the developing theories, including those of hermeneutics invented by orientalist scholars. In this regard, Gadamer’s hermeneutic presupposes three compulsory components in the study on texts, i.e.,  prejudice, time, and product. The component of time implies the importance of the contextual background that may underlie the emergence of Hadis (asbab al-Wurud), in an attempt to understand matan hadis as is requested by muhaddis. Moreover, the fact that matan hadis frequently take shape via the sentences of majazi, ramzi, and qiyasi, which altogether are closely connected to grammatical analyses, suggests how important it is to take into account the linguistic aspects in studying Hadis. This issue has been raised within the hermeneutics that emphasises the importance of the grammar in studying Hadis as was initiated by Schleiermacher. It seems that the contextualisation of Hadis as was done by Syuhudi Ismail also considers the hermeneutics. This paper tries to uncover and explain the similarities between Syuhudi Ismail’s contextualisation method and the hermeneutics in studying Hadis.
Tindak Pencurian dan Korupsi Perspektif Kitab Tafsir Klasik, Tengah, Kontemporer Hasan Su'aidi
AQWAL Journal of Qur'an and Hadis Studies Vol. 1 No. 1 (2020)
Publisher : IAT dan ILHA, UIN KH ABDURRAHMAN WAHID

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28918/aqwal.v1i1.3516

Abstract

Perbedaan penafsiran terhadap al-Qur`an merupakan hal yang wajar, mengingat tafsir adalah hasil karya manusia dan bukan karya Tuhan (meskipun penafsiran itu didasarkan kepada nash-nash yang terdapat di dalam hadis Nabi SAW). Tesis seperti ini diperkuat dengan fakta, bahwa masing-masing mufassir kalaupun mendasarkan penafsirannya kepada hadis (sunnah), namun tetap saja berbeda antara satu dan lainnya. Perbedaan penafsiran ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain; manhaj istinbath yang berbeda-beda, penilain terhadap nash hadis yang berbeda, kedalaman analisis mufassir yang beragam dan pengaruh madzhab yang dianut oleh masing-masing mufassir. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa tiga tafsir yang menjadi pembahasan di dalam makalah ini, dua di antaranya adalah kitab tafsir yang mewakili madzhab yang dianut oleh penulisnya. Kitab tafsir yang ditulis oleh al-Jashash sebagai representasi madzhab Hanafiyyah dan tafsir yang ditulis oleh al-Harasi mewakili madzhab Syafi’iyyah. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kitab tafsir kedua mufassir tersebut tidak dapat sepenuhnya lepas dari kerangka madzhab yang dianutnya. Kitab tafsir ketiga (yang ditulis oleh Ali as-Sayis) menurut penulis merupakan kitab tafsir yang berposisi tengah (tidak terpengaruh oleh madzhab fiqh tertentu) kalaupun ada beberapa tarjih yang ia lakukan, namun hal itu bukan sebagai pembelaan terhadap madzhab tertentu, tetapi berdasarkan kepada kajian yang mendalam terhadap beberapa instrument penafsiran. Pembahasan tentang korupsi dalam kerangka had pencurian memang tidak berkaitan secara langsung, namun dengan mempertimbangkan bentuk-bentuk korupsi yang telah dijelaskan di atas, maka hal itu tetap relevan, lebih-lebih jika dikaitkan dengan tema pembahasan kasus pencurian harta yang tersimpan di baitul mal. Hal ini karena baitul mal merupakan lembaga pemerintahan yang dapat dianalogikan dengan lembaga keuangan pada masa sekarang. Jika sariqah (tindak kriminal pencurian) telah ditentukan hukum atau hudud nya, maka korupsi merupakan tindak kriminal yang tidak diatur secara jelas hukumannya. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan penafsiran masing-masing kitab tafsir tentang pencurian dari harta baitul mal di atas, dan dengan mempertimbangkan aturan fiqh dan ushul fiqh tentang perbuatan kriminal yang tidak ditentukan hukumannya, maka penulis berpendapat bahwa hukum bagi pelaku tindak korupsi adalah ta’zir yang bentuk dan ketentuannya diserahkan dan diatur oleh waliyyul amri (pemerintah) dengan tetap mempertimbangkan aspek kemashlahatan.
Hermeneutika Hadis Syuhudi Ismail Hasan Su'aidi
Religia Vol 20 No 1: April 2017
Publisher : UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28918/religia.v20i1.837

Abstract

Hadis as a historical text should be in keeping with any social changes across times and situations of any kind. This is because Hadis is viewed as a sacred text which is shalih li kulli zaman wa makan (i.e., valid anywhere and anytime), despite ‘the impression’ that when being comprehended literally it seems at odd with the present-day context. Accordingly, research into matan within Hadis should adapt to the developing theories, including those of hermeneutics invented by orientalist scholars. In this regard, Gadamer’s hermeneutic presupposes three compulsory components in the study on texts, i.e.,  prejudice, time, and product. The component of time implies the importance of the contextual background that may underlie the emergence of Hadis (asbab al-Wurud), in an attempt to understand matan hadis as is requested by muhaddis. Moreover, the fact that matan hadis frequently take shape via the sentences of majazi, ramzi, and qiyasi, which altogether are closely connected to grammatical analyses, suggests how important it is to take into account the linguistic aspects in studying Hadis. This issue has been raised within the hermeneutics that emphasises the importance of the grammar in studying Hadis as was initiated by Schleiermacher. It seems that the contextualisation of Hadis as was done by Syuhudi Ismail also considers the hermeneutics. This paper tries to uncover and explain the similarities between Syuhudi Ismail’s contextualisation method and the hermeneutics in studying Hadis.