Budi Iskandar Prisantoso
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Ancol-Jakarta

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search
Journal : Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia

KERAGAAN ARMADA PUKAT CINCIN TUNA YANG BEROPERASI DI SAMUDERA PASIFIK INDONESIA Agustimus Anung Widodo; Budi Iskandar Prisantoso
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol 16, No 3 (2010): (September 2010)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, BRSDM KP.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (360.229 KB) | DOI: 10.15578/jppi.16.3.2010.225-233

Abstract

Pukat cincin merupakan salah satu alat tangkap yang penting dalam kegiatan pemanfaatan sumber daya tuna di perairan Pasifik Indonesia yang berbasis di Bitung, Sulawesi Utara. Dalam rangka mengetahui keragaan mengenai struktur armada, strategi penangkapan dan catch per unit of effort armada pukat cincin tuna yang beroperasi di perairan Samudera Pasifik dengan basis pendaratan di Bitung, Sulawesi Utara. Tahun 2009 telah dilakukan penelitian melalui kegiatan survei dan obeservasi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa armada pukat cincin tuna terdiri atas tiga katagori yaitu kapal penangkap, kapal lampu, dan kapal penampung atau pengangkut. Kapal penangkap pada umumnya berukuran 30-100 GT, kapal lampu pada umumnya berukuran 10-20 GT dan lapal penampung atau pengangkut pada umumnya berukuran >150 GT. Strategi operasi penangkapan pukat cincin tuna pada umumnya adalah sistem paket di mana satu paket armada pukat cincin tuna terdiri atas 2-3 kapal penampung atau pengangkut, satu kapal penangkap dan 2-3 kapal lampu. Pukat cincin tuna beroperasi malam hari dengan alat bantu penangkapan rumpon dan cahaya lampu. Satu trip kapal pengangkut antara 10-12 hari, kapal penangkap 60-90 hari, dan kapal lampu 60-90 hari, rata-rata catch per unit of effort kapal pukat cincin tuna sepanjang tahun 2009 adalah 2,38 ton/tawur/kapal di mana nilai tersebut lebih rendah dari nilai sesungguhnya karena hasil observasi menunjukan bahwa laju tangkapnya mencapai 9,64 ton/tawur/kapal Purse seine is one important fishing gears for tuna exploitation in the Indonesian Pacific waters based in Bitung, North Sulawesi. A reseach has been conducted in order to categorize fleet structure, fishing strategy, and catch per unit of effort of tuna caught by pusre seine fleet based in Bitung during the year of 2009. Result showed that tuna purse seine fleet consisted of catcher boat, light boat and collecting/carrier vessel. The size of catcher boat mostly 30-100 GT, light boat 10-20 GT, and collecting/ carrier vessel >150 GT. Fishing strategy of tuna purse seine fleet developed in Bitung fishing companies were fishing unit system. One fishing unit of tuna purse seine fleet consisted of 2-3 units collecting/ carrier vessel, 1 catcher boat and 3-4 light boats. Tuna purse seine operated during the night around the fish agregating devices and using light. One trip of fishing operation of the collecting or carrier vessel was 10-12 days, catcher boat was 60-90 days and light boat was 60-90 days. The average of catch per unit of effort of tuna purse seine fleet in 2009 was 2,383 ton/setting/boat. This number considered to be under estimate compared to the real catch per unit of effort. Based on the field observation and interview to skippers it was informed that the average catch rate was 9.64 ton/setting/ boat.
BEBERAPA JENIS HASIL TANGKAP SAMPINGAN (BYCATCH) KAPAL RAWAI TUNA DI SAMUDERA HINDIA YANG BERBASIS DI CILACAP Budi Iskandar Prisantoso; Agustinus Anung Widodo; Mahiswara Mahiswara; Lilis Sadiyah
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol 16, No 3 (2010): (September 2010)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, BRSDM KP.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (165.238 KB) | DOI: 10.15578/jppi.16.3.2010.185-194

Abstract

Ikan-ikan tuna di Samudra Hindia dieksploitasi menggunakan rawai tuna oleh Jepang sejak tahun 1952, kemudian menyusul Korea dan Taiwan pada tahun 1964. Rawai tuna di Indonesia mulai digunakan sejak tahun 1973, sejak didirikannya PT. Perikanan Samodera Besar, yang berbasis di Benoa, Bali. Kemudian alat tangkap ini berkembang dengan pesat sejak tahun 1990-an, di mana pada tahun 2001 mencapai 618 kapal kemudian meningkat menjadi 705 kapal pada tahun 2002 serta 746 kapal pada tahun 2010. Target dari rawai tuna di Samudra Hindia adalah ikan madidihang atau tuna mata besar (Thunnus obesus). Walaupun demikian, banyak jenis-jenis ikan lain yang ikut tertangkap sebagai hasil tangkap sampingan. Ikan tuna sirip biru selatan tertangkap dianggap sebagai byproduct karena nilai ekonominya yang sangat tinggi, sedangkan ikan paruh panjang, cucut, ikan teleost lainnya, penyu, dan burung laut sebagai bycatch. Ikan cucut tertangkap sebagai bycatch hanya 10 spesies dari 61 spesies yang diketahui di Samudra Hindia. Jenis ikan teleost lain tertangkap tujuh jenis. Jenis-jenis penyu yang tertangkap adalah penyu hijau (Chelonia mydas) dalam trip pertama tiga ekor dan trip ketiga satu ekor, dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) trip kedua dua ekor dan trip ketiga dua ekor. Burung laut hanya tertangkap dua ekor pada trip ketiga (bulan Oktober 2004) dengan rata-rata laju tangkap 0,20 ekor burung laut per 1.000 pancing. Tuna species in the Indian Ocean have been exploited since 1952 by Japanese tuna longliners and followed by Taiwanese and Korean longliners in 1964. Indonesian company started to use this gear since 1973 when the government established PT. Perikanan Samodera Besar based in Benoa, Bali. In 1990s, this gear employed rapidly, where in 2001 the number of the boats was 618 boats, in 2002 increased up to 705 boats and became 746 boats in 2010. The main target of longline in Indian Ocean is yellowfin and bigeye tunas, however, many other species were caught as bycatch. Southern bluefin tuna was also caught but deemed as byproduct, whilst billfishes, sharks, rays, and other teleosts, turtle, and seabirds as bycatch. There were 61 shark species known from Indian Ocean, but only 10 species were caught. There were 7 species of other teleosts caught. The sea turtle caught were green sea turtle (Chelonia mydas), three in the first trip and one in the third trip. The other species caught was hawksbill sea turtle (Eretmochelys imbricate), two in the second trip and two in the third trip. There was only two seabirds caught during the third trip (October 2004), it meant that the possibility of bird caught was 0.20 at 1,000 hooks.
HASIL TANGKAP SAMPINGAN (HTS) PADA PERIKANAN RAWAI TUNA DI SAMUDERA PASIFIK Agustinus Anung Widodo; Budi Iskandar Prisantoso; R Thomas Mahulette
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol 17, No 4 (2011): (Desember 2011)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, BRSDM KP.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1839.843 KB) | DOI: 10.15578/jppi.17.4.2011.265-276

Abstract

Masalah umum yang dihadapi dalam operasi penangkapan ikan terhadap sumberdaya yang sifatnya multi spesies dan multi-cohort di daerah tropis adalah diperolehnya hasil tangkapan bukan spesies target yang biasa disebut hasil tangkap samping (HTS) atau by-catch. Saat ini informasi mengenai HTS pada perikanan rawai tuna di Indonesia yang beroperasi di Samudera Pasifik masih terbatas. Disisi lain informasi tersebut sangat dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan pengelelolaan sumberdaya tuna yang memadai. Penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan infomasi tentang HTS pada perikanan rawai tuna di Samudera Pasifik dilakukan di Bitung bulan Mei sampai Juli 2010. Penelitian dilakukan dengan dua cara yaitu melalui pengambilan contoh di pusat pendaratan armada rawai tuna (port sampling) dan observer di kapal rawai tuna (onboard observer). Port sampling dilakukan setiap hari pada minngu keempat selama bulan Mei sampai Oktober 2010. Onboard observer dilakukan sebanyak dua trip operasi penangkapan rawai tuna. Data yang dikumpulkan meliputi aspek operasional rawai tuna, jeni ikan HTS dan ukuran panjang cagak ikan HTS. Hasil riset menunjukkan bahwa rata-rata laju pancing HTS selama Mei sampai Oktober 2010 adalah 19,6 kg/100 mata pancing per tawur. Sebanyak 16 spesies HTS rawai tuna dapat diidentifikasi yang didominasi oleh ikan setuhuk hitam atau black marlin (Makaira indica). Ukuran low jaw fork length (LJFL) ikan ikan setuhuk hitam dan ikan meka secara berturut-turut adalah 97-198 cm (modus 141-160 cm), 94-241 cm (modus 161-180 cm) dan ukuran fork length ikan tikusan adalah 96-190 cm (modus 121-140 cm). The common fishing operation problematic in tropical waters which characterized by multispecies and multi-cohort resource is the numbers of bycatch exploited. Currently, the information of bycatch in the longline fishery especially operated in the Pacific Ocean is limited. On the other hand, this information is necessary for the implementation tuna fisheries management framework. The objective of this research is to collate the information of Pacific tuna longline bycatch landed in Bitung during the period of May until July 2010. Research conducted in two ways i.e. through port sampling at the central landing of tuna longline and observer onboard. Port sampling was conducted in the forth week during May until October 2010, whilst observer onboard was conducted in two trips within that period. Data collected consists of operational aspects of tuna longliners, species composition of bycatch and its fork length. Results of this research showed that the average of hook rate during the period of May October 2010 was 19.10 kg/100 hooks per set. Sixteen species of tuna longline bycatch have been identified and showed that black marlin (Makaira indica) was predominant. Size of Low Jaw Fork Length (LJFL) of blackmarlin, swordfish and thresher shark were 97-198 cm (mode 141-160 cm), 94-241 cm (mode 161-180 cm) and 96- 190 cm (121-140 cm) respectively.