Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

THE MULTICULTURAL PEDAGOGY IN THE PARABLE OF THE GOOD SAMARITAN AND ITS CONTRIBUTION TO SUNDERMEIER’S INTERCULTURAL HERMENEUTIC: A DIACOGNITIVE ANALYSIS Erni Maria Clartje Efruan; Zummy Anselmus Dami
Analisa: Journal of Social Science and Religion Vol 4, No 02 (2019): Analisa Journal of Social Science and Religion
Publisher : Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18784/analisa.v4i02.836

Abstract

This study was aimed to analyze the text of Luke 10:25-37 using the methods of diacognitive analysis, thus discovering the principles of Jesus’ multicultural pedagogy that can be used as a tool to solve multicultural issues and complement Sundermeier's intercultural hermeneutics so as not to look brittle in its application. The result of the analysis of the Parable of the Good Samaritan suggests that there are five principles in Jesus’ multicultural pedagogy and at once as a contribution to Sundermeier' intercultural hermeneutic, namely: (1). Multicultural issues can only be resolved through the creation of dialogue by the teacher; (2) The teacher's position is decisive in solving multicultural problems; (3) The teacher must know the actual cognition object; (4) The teacher must have multicultural competence; and (5) the primary goal of multicultural pedagogy is reconciliation. Among these five principles, the third principle has the most essential role in its application because it emphasizes compassion. The presence of compassion in teacher' self will make the teacher has a strong desire to help others without considering the differences of ethnicity and religiosity, eliminating assumptions, paying attention to the welfare of others without being selfish, having feel-in and respect, willing to sacrifice both psychic and material to manifest life together (convivencia). 
KONTRIBUSI GAGASAN JÜRGEN HABERMAS BAGI HERMENEUTIKA POSTMODERN Erni M.C. Efruan
Missio Ecclesiae Vol. 3 No. 1 (2014): April
Publisher : Institut Injil Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52157/me.v3i1.35

Abstract

Pertama, konteks sosial postmodern terdiri dari banyak bagian dan berubah-ubah, yang memengaruhi hermeneutika seseorang. Hermeneut menjadi titik tolak hermeneutika, dan ini menyebabkan hermeneutika menjadi penting. Karenanya, bila hermeneut meninggalkan makna teks dan maksud penulis, maka ia akan tenggelam dalam lautan relativitas postmodern, dan tak ada dimensi metanaratif yang absolut. Kedua, pewahyuan ilahi itu sendiri terkondisi secara budaya karena dikomunikasikan kepada berbagai budaya dalam berbagai bahasa yang tidaklah netral dan tak dapat dihapuskan oleh postmodern. Ketiga, teologi kritis bisa memberi kemungkinan mengerjakan refleksi-diri terus-menerus. Kritis atas kenyataan dunia harus dibarengi dengan kritik terhadap diri sendiri. Untuk itu diperlukan sebuah pola hermeneutik yang kritis atas teks-teks mapan yang ada. Keempat, jika hendak menginterpretasi secara benar dan tepat, maka kita harus mengupayakan dialog antara bahasa dan pengalaman di satu sisi dengan tindakan di sisi lain. Tidak memisahkan teori dan praksis, tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapat hasil yang objektif. Kelima, bahasa mencakup seluruh makna dan oleh sebab itu hermeneutika memiliki implikasi yang universal. Pentingnya sosiologi pengetahuan sebagai suatu sarana penafsiran. Keenam, kekuatan-kekuatan ideologis mengendalikan hermeneutika hampir semua orang. Calvinis atau Armenian, Reformed atau Dispensasional, Teolog Proses atau Pembebasan, tiap komunitas orang percaya telah memberikan kecenderungan-kecenderungan ideologis tertentu yang menuntun penafsiran. Karenanya, hermeneutika harus membebaskan pemahaman dari ideologi. Ketujuh, pemahaman hermeneutik sifatnya global, yaitu mengandaikan adanya tujuan khusus. Setiap komunikasi yang sehat adalah komunikasi dimana setiap partisipan bebas untuk menentang klaim-klaim tanpa ketakutan akan koersi, intimidasi, deceit dan sebagainya. Melalui tindakan komunikatif, pemahaman hermeneutik mempunyai bentuk yang hidup, yaitu kehidupan sosial Postmodern.
BOLEHKAH ORANG KRISTEN DI KOTA WISATA BATU BERCERAI? Erni M.C. Efruan
Missio Ecclesiae Vol. 9 No. 1 (2020): April
Publisher : Institut Injil Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52157/me.v9i1.105

Abstract

Pada saat kini tingkat perceraian di Indonesia sangat memprihatinkan. Sebuah surat kabar harian dengan berani mengusung tema “Perceraian Darurat Di Indonesia!” Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memperingatkan bahwa angka perceraian di Indonesia adalah yang tertinggi di Asia Pasifik. Di antara jumlah permohonan perceraian yang masuk tahun 2019 tercatat 604.997 kasus, 79 persen permohonan telah dikabulkan pengadilan. Lebih dari 479.618 pasangan menikah telah resmi bercerai. Mengejutkannya, perkara kasus perceraian yang diajukan dari pihak istri (Cerai Gugat) totalnya mencapai 355.842 kasus. Artinya penggugat cerai oleh istri sebanyak 70 persen. Sedangkan kasus perceraian yang diajukan dari pihak suami (Cerai Talak) mencapai 124.776 kasus. Di Jawa Timur, Januari hingga Mei 2016 terdapat 3.063 pengajuan kasus perceraian. Total 2.032 istri yang menuntut perceraian terhadap suaminya. Data pada Kemenag Kota Batu tercatat 300 kasus perceraian dan 300 pernikahan dini terjadi dari 1.678 perkawinan pada tahun 2018. Dengan demikian latar belakang penelitian adalah: Apakah orang Kristen di Kota Wisata Batu, Jawa Timur juga berkontribusi pada peningkatan angka perceraian di Indonesia? Bolehkah orang Kristen bercerai? Bagaimana tanggapan Yesus Kristus menurut Injil Markus 10: 1-12? Tujuan penelitian adalah menemukan jawaban Yesus dalam Injil Markus 10: 1-12 sebagai perspektif yang dapat ditimplementasikan dan antisipatif terhadap meningkatnya jumlah kasus perceraian di Kota Wisata Batu, Jawa Timur. Pendekatan terhadap topik “Bolehkah Orang Kristen Di Kota Wisata Batu, Jawa Timur Bercerai?” menggunakan Metode Deskripsi. Hasil analisis literatur menyimpulkan bahwa Yesus Kristus tidak pernah mengizinkan perceraian pasangan Kristen dengan alasan apa pun. Tidak pernah! Hasil survei lapangan menunjukkan bahwa ada kasus perceraian, tetapi tidak terdaftar di Kantor Pemerintah terkait di Kota Wisata Batu, Jawa Timur. Oleh karena itu, penyelidikan ini masih terbuka untuk penelitian lebih lanjut, mengapa ada dua kasus perceraian pada pasangan Kristen di Kota Wisata Batu, Jawa Timur, namun tidak terdaftar di Instansi Pemerintah?
MODEL KEMARTIRAN DALAM PENGINJILAN RASUL PAULUS BERDASARKAN KISAH PARA RASUL TERHADAP KELOMPOK KABAR BAIK DI MALANG Tri Hananto; Erni M.C. Efruan
Missio Ecclesiae Vol. 10 No. 1 (2021): April
Publisher : Institut Injil Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52157/me.v10i1.124

Abstract

Penginjilan merupakan tindakan pelaksanaan Amanat Agung. Penginjilan selalu berkaitan erat dengan kemartiran. Setiap anak-anak Tuhan yang terlibat dalam penginjilan harus selalu siap dengan dampak yang diterima baik itu kesulitan, tantangan, penderitaan ataupun kematian. Martir identik dengan saksi. Martir Kristus berkaitan dengan tindakan dalam menjadi saksi Kristus baik dalam pewartaan maupun dalam sikap sehari-hari. Dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif mengenai kemartiran yang dialami oleh Rasul Paulus. Paulus bukan hanya berbicara tentang berita Injil kasih karunia, tetapi juga mengalami dampak dari pemberitaan Injil itu sendiri, masuk penjara, dianiaya bahkan sampai mati. Jadi tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui kemartiran penginjilan Rasul Paulus.
Integrasi Kristologi dan Misiologi Berdasarkan Lukas 24:44-49 Bagi Pelayanan Misi di Gereja Persekutuan Oikoumene Umat Kristen (POUK) ICHTHUS Bumi Dirgantara Permai - Bekasi Galuh Pandandari; Erni M.C. Efruan
Missio Ecclesiae Vol. 9 No. 2 (2020): Oktober
Publisher : Institut Injil Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52157/me.v9i2.129

Abstract

Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengemukakan sebuah model dari integrasi Kristologi dan Misiologi berdasarkan Lukas 24:44-49, yang memberi pengaruh terhadap keterlibatan jemaat dalam pelayanan misi di Gereja POUK ICHTHUS BDP, dengan menggunakan kombinasi model atau desain sequential explanatory yang menggabungkan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif secara berurutan. Beberapa prinsip yang terdapat dalam model tersebut adalah : (1) Kristologi dan Misiologi yang dibangun di atas dasar penggalian Alkitab, (2) Kristologi yang misiologis dan Misiologi yang kristologis. (3) Kristologi tanpa Misiologi menjadi Kristologi tanpa sasaran, Misiologi tanpa Kristologi menjadi Misiologi tanpa dasar, (4) Integrasi Kristologi dan Misiologi meningkatkan mutu pelayanan misi, (5) Integrasi Kristologi dan Misiologi yang diajarkan secara maksimal menghasilkan keterlibatan dalam misi global, (6) Kristologi dan Misiologi yang terintegrasi melalui ketaatan menjadi Saksi Kristus, dan (7) Efektivitas Integrasi Kristologi dan Misiologi bergantung pada kuasa Roh Kudus. Rekomendasi diberikan kepada Gembala Jemaat, Para Pengajar Kelas Pembinaan Jemaat dan Penggiat Misi di Gereja POUK ICHTHUS Bumi Dirgantara Permai dan di gereja-gereja mitra misi, dalam mengemban misi Allah sampai Parousia.
THE MULTICULTURAL PEDAGOGY IN THE PARABLE OF THE GOOD SAMARITAN AND ITS CONTRIBUTION TO SUNDERMEIER’S INTERCULTURAL HERMENEUTIC: A DIACOGNITIVE ANALYSIS Erni Maria Clartje Efruan; Zummy Anselmus Dami
Analisa: Journal of Social Science and Religion Vol 4, No 02 (2019): Analisa Journal of Social Science and Religion
Publisher : Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (556.504 KB) | DOI: 10.18784/analisa.v4i02.836

Abstract

This study was aimed to analyze the text of Luke 10:25-37 using the methods of diacognitive analysis, thus discovering the principles of Jesus’ multicultural pedagogy that can be used as a tool to solve multicultural issues and complement Sundermeier's intercultural hermeneutics so as not to look brittle in its application. The result of the analysis of the Parable of the Good Samaritan suggests that there are five principles in Jesus’ multicultural pedagogy and at once as a contribution to Sundermeier' intercultural hermeneutic, namely: (1). Multicultural issues can only be resolved through the creation of dialogue by the teacher; (2) The teacher's position is decisive in solving multicultural problems; (3) The teacher must know the actual cognition object; (4) The teacher must have multicultural competence; and (5) the primary goal of multicultural pedagogy is reconciliation. Among these five principles, the third principle has the most essential role in its application because it emphasizes compassion. The presence of compassion in teacher' self will make the teacher has a strong desire to help others without considering the differences of ethnicity and religiosity, eliminating assumptions, paying attention to the welfare of others without being selfish, having feel-in and respect, willing to sacrifice both psychic and material to manifest life together (convivencia).