Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Dialog Ontologis: Mendudukan Teknologi, Komunikasi dan Manusia Hudjolly hudjolly
LONTAR: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 3 No. 2 (2015): LONTAR JURNAL ILMU KOMUNIKASI
Publisher : Universitas Serang Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (429.482 KB) | DOI: 10.30656/lontar.v3i2.397

Abstract

Teknologi komunikasi menjadi instrumen yang mewakili fungsi tubuh manusia (embodiment) dalam melakukan proses komunikasi manusia. Pada satu tahapan fungsionalitas instrumentum teknologis dalam komunikasi berkutat pada persoalan tujuan alat dan tujuan komunikasi. Tetapi secara ontologis, pelibatan teknologi dalam proses komunikasi menggeser banyak makna esensial, seperti keterlibatan nilai dalam teknologi komunikasi, arti kehadiran manusia, eksistensi manusia, pertukaran sistem tanda dalam komunikasi. Kajian yang dirumuskan dalam narasi dialogis verstehen ini diawali dengan pertanyaan apakah manusia yang dibentuk oleh teknologi komunikasi atau manusia yang membentuk teknologi komunikasi. Simpulan dalam kajian ini berupa argumentasi pergeseran eksistensi manusia oleh pelibatan teknologi dalam berkomunikasi.
Synchronic Analysis of Keris in Citizenship Social Class Stratification Hudjolly Hudjolly; Siti Inayatulloh
Budapest International Research and Critics Institute-Journal (BIRCI-Journal) Vol 5, No 3 (2022): Budapest International Research and Critics Institute August
Publisher : Budapest International Research and Critics University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33258/birci.v5i3.6284

Abstract

The Indonesian treasures civilization have known keris for 1000 years ago until the time of independence. Keris is often mentioned in the counter-colonialism narration led by royal figures, aristocrats such as keris of Prince Diponegara's, keris kyai naga siluman luk 13 and kyai nagasiluman luk 11 owned by the Sultan of Yogyakarta. The keris contains a widely adopted the pakem as symbolic framework. Obedience to the pakem implies a political citizenship, such as kyai carubuk kris, kyai kalamunyeng, mahesalanjer, jalatunda. Pakem keris also has a series of symbols that are accepted by the public and accepted individually, such as ladrang, dhapur, pamor. The materials of the keris, starting from the type of wood, the type of metal for the bilah (body of blade’s), the form of carving the keris upstream, the warangka and its ornaments refer to a certain social class stratification as well as a marker of one's capacity.  Keris becomes self-representative, represents individual identity and to gain recognition in the community. This study analyzes the keris symbol which is used as a class arrangement and civic politics which is diachronic type. The results of the diachronic analysis show that the division of social classes does not always refer to the class divisions of Max Weber and Marx's version.
Establishment Of The Asset Confiscation Law To Minimize Corruption In Indonesia Hudjolly Hudjolly; Rabith Madah Khulaili Harsya; Fatima Suatrat; Kalijunjung Hasibuan; Deny Susanto
As-Syar'i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga Vol 6 No 2 (2024): As-Syar’i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Laa Roiba Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47467/as.v6i2.6569

Abstract

This research is qualitative research with a descriptive approach, namely describing a number of things that are closely related to confiscation of assets in criminal law, criminal acts of corruption, and other things. The data used in this research is secondary data in the form of the Criminal Code, Civil Code, statutory regulations, the official website of the House of Representatives, other credible websites, and so on. The researchers analyzed the data using grammatical and systematic legal analysis techniques, namely interpreting every word in the legislation and connecting it with other secondary data or other related legislation. The result in this article show there are three major urgencies for the presence of the Law on Asset Confiscation in Indonesia, namely to provide instruments that are stricter than the current regulations because in the Criminal Code, asset confiscation is only an additional crime and not the main crime, providing a deterrent effect for corruptors and potential corruptors, and of course minimizing corruption cases in Indonesia. Under existing legal structures, state losses resulting from criminal acts of corruption cannot be recovered. Recovering state losses takes years and may not even be returned at all. What is meant to provide a deterrent effect in this research is to impoverish corruptors, change the nomenclature of words whose nature is emphasized from facultative to imperative, and change its status not only to become an additional crime, but also to become a principal crime. On this basis, researchers are of the opinion that the presence of asset confiscation laws in Indonesia can be effective in minimizing the occurrence of corruption in Indonesia.
DIALEKTIKA KEADILAN DALAM KEMANUSIAAN YANG BERADAB Hudjolly Hudjolly
UNTIRTA CIVIC EDUCATION JOURNAL Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30870/ucej.v5i1.8250

Abstract

Setiap keberadaan masyarakat mensyaratkan adanya nilai keadilan yang diterapkan sebagai penopang tatanan sosial, rotasi kekuasaan, operasionalisasi sistem hukum. Konsep keadilan yang dibutuhkan masyarakat itu mengandung keragaman persepsi, mulai dari Aristoteles di masa klasik sampai John Rawls di masa modern, ada pula konsep keadilan yang berhubungan dengan terminologi dalam agama. Sebagai ideologi, Pancasila juga memiliki sudut pandang tentang keadilan dan kemanusiaan dengan menyertakan frasa beradab yang membuat konsep keadilandalam Pancasila memiliki kecenderungan yang spesifik. Kajian singkat ini menggunakan obyek formal filsafat untuk mengupas objek material konsepsi keadilan Pancasila yang memiliki kecenderungan-kecenderungan spesifik.
KAJIAN FILSAFAT HUKUM TENTANG PENEGAKAN HUKUM DALAM ACARA TELEVISI : Law En[tertaint]forcement Hudjolly Hudjolly
UNTIRTA CIVIC EDUCATION JOURNAL Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30870/ucej.v5i1.8244

Abstract

Media televisi membuat konten acara berisi penangkapan kriminal, razia jalan raya, operasi penyakit masyarakat, disertai tindakan penggeledahan badan serta tindakan-tindakan lain polisionil dalam lingkup penegakkan hukum. Dalam beragam tayangan polisi—sebagai aktor sekaligus sebagai penegak hukum—kerap menyebut bahwa tindakan yang dilakukannya atas nama undang-undang, dilindungi undang-undang: UU Kepolisian, KUHP dan KUHAP. Pada satu sisi, polisi bertindak sebagai penegak hukum sehingga semua tindakan yang dilakukan, meskipun di bawah sorot kamera mengharuskan dirinya untuk selalu taat dan tunduk kepada azas-azas dalam penegakan hukum, seperti azas legalitas. Azas ini memposisikan warga negara sebagai objek dari hukum. Pada sisi lain, polisi di bawah sorotan kamera itu memerlukan alur, dramatisasi senatural ala reality show, tindakan-tindakan lain yang “selling”, menarik-layak tayang, sehingga kerap muncul sikap, tindakan, kalimat, gestur “heroik”, penggunaan tindakan di luar kebutuhan yang semestinya (excessive use of authority). Hal itu menimbulkan paradox bagaimana tindakan penegakkan hukum yang dilakukan kepolisian di bawah naungan tiga undang-undang tersebut sebagai law enforcement, menegakkan aturan demi hukum itu sendiri (pro justitia), tetapi dalam tindakan yang berada di bawah sorot kamera terdapat dimensi aturan produksi, durasi tayangan dan kebutuhan “layak acara”. Maka diperlukan hal-hal yang entertaining, tindakan yang dapat menjadi selling content menjadi tidak terpisahkan dengan law enforcement. Kajian ini menunjukkan bahwa tindakan semacam itu meninggalkan wilayah ontologis penegakkan hukum demi hukum dan menyatu dengan ontologi televisi, sehingga tercipta pseudo penegakkan hukum atau lebih tepat disebut sebagai the law en[tertaint]forcement.