Derry Angling Kesuma
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Published : 17 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 17 Documents
Search

PERLINDUNGAN HUKUM MEREK ASING TERKENAL TERHADAP PENIRUAN MEREK YANG MENYEBABKAN PERSAINGAN CURANG MENURUT UU NO. 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK Rianda Riviyusnita; Derry Angling Kesuma
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol. 27 No. 2 (2021): Mei
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/disiplin.v27i2.34

Abstract

Abstrak Dalam peraturan hukum nasional, pengaturan tentang merek terkenal diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.20 Tahun 2016 dimana kantor merek wajib menolak pendaftaran merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis. Undang-undang ini sudah memberikan pengertian yang lebih rinci tentang pengertian persamaan pada pokoknya maupun pengertian tentang merek terkenal. Walaupun penilaian terhadap keterkenalan suatu merek pada akhirnya tergantung kepada penilaian hakim yang memeriksa sengketa suatu merek. Hal ini disebabkan karena kriteria yang diatur dalam undang-undang merek yang telah ada selama ini belum dianggap cukup untuk mengkategorikan apakah suatu merek terkenal atau tidak. Selain peraturan hukum nasional, perlindungan terhadap merek asing terkenal juga diatur menurut instrumen internasional seperti yang terdapat dalam (The Paris Convention for the Protection of Industrial Property/Konvensi Paris), (Agreement on Trade Related Aspects of International Property Rights, Including Trade in Counterfeit Goods/TRIPs), dan (World Intellectual Property Organization/WIPO). Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peniruan merek terkenal, antara lain dikarenakan 1. Tidak adanya pedoman yang mutlak mengenai apa yang disebut sebagai merek terkenal, 2. Aparatur Penegak Hukum Lemah Pengetahuan Mengenai Hak Atas Merek, 3. Pihak pelaku usaha saingan yang tidak mau mengeluarkan biaya promosi mereknya. Kata kunci : Persiangan Curang, Perbuatan Melawan Hukum, Pelaku Usaha Abstract In national legal regulations, the regulation of well-known marks is regulated in Article 6 paragraph (1) letter a of Law No. 20 of 2016 where the mark office is obliged to refuse registration of a mark that has similarities in principle or in its entirety to a well-known mark belonging to another party for similar goods and/or services. This law has provided a more detailed understanding of the meaning of equality in principle as well as the notion of well-known marks. Although the assessment of the recognition of a brand ultimately depends on the judgment of the judge who examines the dispute over a trademark. This is because the criteria regulated in the existing trademark law have not been considered sufficient to categorize whether a brand is well-known or not. In addition to national legal regulations, the protection of well-known foreign marks is also regulated according to international instruments such as those contained in (The Paris Convention for the Protection of Industrial Property/Paris Convention), (Agreement on Trade Related Aspects of International Property Rights, Including Trade in Counterfeit Goods). /TRIPs), and (World Intellectual Property Organization/WIPO). Factors that lead to imitation of well-known brands include: 1. There is no absolute guideline regarding what is known as a well-known brand, 2. Law Enforcement Apparatuses are Weak in Knowledge of Trademark Rights, 3. Rival business actors who do not want to issue brand promotion costs.
Tanggungjawab Negara (State Responsibility) Terhadap Pelanggaran Hak Kekebalan Diplomatik (Diplomatic Immunity) Berdasarkan Konvensi Wina 1961 Sehubungan Dengan Teori Kedaulatan Negara (State of Sovereignty) Derry Angling Kesuma
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol 18, No 1, Maret 2014
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Konvensi wina 1961 tentang hubungan diplomatik menegaskan bahwa status gedung perwakilan diplomatik tidak dapat diganggu gugat (Inviolable) karena merupakan suatu kerahasiaan diplomatik sehingga pejabat-pejabat dari negara penerima tidak boleh memasukinya, kecuali dengan persetujuan kepala perwakilan. Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap kekebalan dan keistimewaan wakil diplomatik, maka negara penerima dapat dikatakan tidak dapat memberikan perlindungan dan kenyamanan terhadap para diplomatik dalam menajalankan fungsi dan misi-misinya. Negara penerima memperbaiki sekaligus mempertanggungjawabkan pelanggaran hak tersebut dan menjaga kehormatan dari negara pengirim wakil diplomatik sebagai negara yang berdaulat. Penyelesaian sengekata internasional dalam kasus pelanggaran kewajiban internasional negara penerima dapat ditempuh dengan berbagai cara diantaranya melalui prosedur penyelesaian secara damai, yaitu dengan menggunakan jalur diplomatik atau jalur negoisasi yang didasarkan pada itikad baik dari kedua negara yang merupakan langkah awal yang paling baik dalam penyelesaian sengketa. Bila kesepakatan gagal diambil dalam jalur diplomasi, maka dapat ditempuh cara-cara penyelesaian sengketa secara hukum dan membawanya ke mahkamah internasional bahkan dapat dilakukan juga dengancara kekerasan yaitu perang, akan tetapi hal tersebut sebisa mungkin harus dihindari demi terwujudnya kedamaian dunia.
PROSEDUR PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PELANGGARAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN ANAK Derry Angling Kesuma
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol 22, No 2, September 2016
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Prosedur penyelesaian tindak pidana secara formal yang dilakukan anakyang dimulai tahap penyidikan dan penyeledikan, penentuan, pemeriksaan di pengadilan, dan pelaksanaan hukuman pada dasarnya telah mengatur perlakuan khusus. yang harus diterapkan pada anak demi kepentingan terbaik anak. sedangkan diversi dan restorative justice merupakan penyelesaian tindak pidana secara tidak formal untuk menghindari gtrauma bagi anak selama proses peradilan. tindakan ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap semua pihak sehingga tercapai keadilan. penerapan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan pelanggaran lalu lintas, hakim harus mempertimbangkan segala hal yang menyangkut anak tersebut seperti keadaan aank, keadaan keluarga, keadaan lingkungan dan juga laporan dari lembaga kemasyarakatan setempat. dan untuk sanksi dapat dikenakan sanksi pidana dan sanksi tindakan. penerapanya sendiri harus dibedakan dengan penerapan sanksi terhadap orang dewasa.
TANGGUNG JAWAB TERHADAPBARANG BUKTI YANG DISITA DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA Derry Angling Kesuma
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol. 27 No. 3 (2021): September
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/disiplin.v27i3.53

Abstract

Abstrak Berdasarkan penjelasan diatas maka objek materil yang memiliki kekuatan penelitian baik-baik barang yang menjadi sasaran tindak pidana, hasil tindak pidana, alat yang digunakan tindak pidana, maupun barang-barang untuk memberat atau meringankan kesalahan terdakwa. Kemudian dijelaskan lebih lanjut pengelolaan barang bukti adalah tata cara atau proses penerimaan, penyimpanan pengamana, perawatan, pengeluaran dan pemusnahan benda sitaan dari ruang atau tempat khusus penyimpanan barang bukti. Fungsi tempat penyimpanan benda sitaan yaitu tempat benda yang disita oleh Negara untuk keperluan proses peradilan. Di dalam Rupbasan ditempatkan benda yang harus disimpan untuk keperluan barang bukti dalam pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan termasuk barang yang dinyatakan dirampas berdasarkan putusan hakim. Penggunaan benda sitaan bagi keperluan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan, harus ada surat permintaan dari pejabat yang bertanggungjawab secara juridis atas benda sitaan tersebut. Pengeluaran barang rampasan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dilakukan atas permintaan jaksa secara tertulis. Pemusnahan barang rampasan dilakukan oleh Jaksa, dan disaksikan oleh Kepala Rupbasan. Kata Kunci : Barang Bukti, Tindak Pidana, Sitaan Abstract Based on the explanation above, the material objects that have research power are goods that are the target of a crime, the proceeds of a crime, the tools used by the crime, as well as goods to aggravate or alleviate the defendant's guilt. Then it is further explained that the management of evidence is the procedure or process for receiving, securing, maintaining, releasing and destroying confiscated objects from a special room or place for storing evidence. The function of the place for storing confiscated objects is a place for objects confiscated by the State for the purposes of the judicial process. In the Rupbasan, objects must be kept for the purposes of evidence in the examination at the level of investigation, prosecution and examination in court, including items declared confiscated based on a judge's decision. The use of confiscated objects for the purposes of investigation, prosecution and examination in court, there must be a request letter from the official who is legally responsible for the confiscated objects. The release of the spoils to implement a court decision that has obtained permanent legal force, is carried out at the request of the prosecutor in writing. The destruction of the spoils is carried out by the Prosecutor, and witnessed by the Head of the Rupbasan.
Implementasi Pasal 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya Derry Angling Kesuma
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum 2016: Volume 3 Nomor 1 Desember 2016
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1087.219 KB) | DOI: 10.46839/lljih.v3i1.64

Abstract

Perlindungan hukum bagi pemilik lahan yang dikuasai oleh orang lain yaitu dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, maka berdasarkan ketentuan pasal 19 undang-undang pokok agraria, negara membuat pranata hukum yaitu berupa penyelenggaraan pendaftaran tanah yang teknis pelaksanaannya diatur dalam peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997. Pendaftaran tanah tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah. Penerapan hukum bagi warga yang menggunakan lahan tanpa izin yang berhak atau kuasanya adalah dengan upaya penyelesaian perkara-perkara yang timbul akibat pelaksanaan penguasaan tanah/lahan (landreform) dibentuklah pengadilan landreform berdasarkan undang- undang nomor 1 tahun 1964. Tetapi kenyataannya pengadilan ini tidak dapat bekerja secara efektif, berdasarkan undang-undang nomor 7 tahun 1970 pengadilan landreform ini dihapus. Apabila terjadi sengketa yang berkenaan dengan landreform, maka penyelesaiannya dilakukan melalui: 1. Peradilan umum, berdasarkan undang-undang nomor 14 tahun 1970 apabila sengketa itu bersifat perdata dan pidana. 2. Aparat pelaksanaan landrefotm apabila mengenai sengketa administrasi. Dan ancaman pidana kurungan yang dapat diterapkan terdapat pada pasal 6 ayat (1) peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 51 tahun 1960. Kata Kunci: Larangan Pemakaian Tanah Tanpa lzin Yang Berhak Abstract: Legal protection for owners of land held by others that in order to achieve legal certainty, then under the provisions of Article 19 of the basic agrarian law, the state made a legal order that is the organization of the technical implementation of land registration stipulated in Government Regulation No. 24 of 1997. the land registry aims to provide legal ertainty and legal protection to rights holders on the ground. Implementation of the law for the people who use the land without their permission or their proxies are entitled to efforts to resolve the cases that arise from the implementation of land tenure/land (land reform) landreform court established by law number 1 in 1964. But in fact this court can work effectively, based on law No. 7 1970 court reform is removed. In the event of a dispute regarding the land reform, the settlement is done through: 1. The general Justice, based on Law No. 14 of 1970 when the dispute is civil and criminal 2. Apparatus if the implementation that can be applied contained in Article 6 paragraph (1) a government regulation in lieu of law number 51 of 1960 Daftar Pustaka Buku-buku: A.P Parlindungan, 2009, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Bandung, Alumni. H.M Arba, 2015, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika. Irawan Soerodjo, 2014, Hukum Pertahan Hak Pengelolaan Atas Tanah (HPL), Yogyakarta, Laksbang Mediatama. J. Andy Hartanto, 2013, Hukum Pertanahan Karakteristik Jual Beli Tanah yang Belum Terdaftar Hak Atas Tanahnya, Surabaya, Laksbang Justitia. Philippus M. Hadjon, 1986, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya, Bina Ilmu. Soedikno Mertokusumo, 1998, Hukum Dan Politik Agraria, Jakarta, Karunika-Universitas Terbuka. Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, Liberty. Undang-undang Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya.
SINERGITAS KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA GRATIFIKASI DALAM STRUKTUR HUKUM PIDANA DI INDONESIA Derry Angling Kesuma; Husnaini Husnaini
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum 2019: Volume 6 Nomor 1 Desember 2019
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/lljih.v6i1.486

Abstract

Abstrak Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK adalah lembaga negara bantu yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Walaupun memiliki independensi dan kebebasan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, namun KPK tetap bergantung kepada cabang kekuasaan lain dalam hal yang berkaitan dengan keorganisasian. KPK juga memiliki hubungan kedudukan yang khusus dengan kekuasaan yudikatif, karena Pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengamanatkan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang bertugas dan berwenang memeriksa serta memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK. Harmonisasi antara KPK, Kepolisian, serta Kejaksaan mengenai kewenangan sama-sama bisa menangani tindak pidana korupsi sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Khusus KPK bisa menangani kasus korupsi dengan syarat melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara Negara, mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat dan menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Kata Kunci : Penegakan Hukum, Sinergitas, Tindak Pidana Korupsi Abstract The Corruption Eradication Commission or KPK is an auxiliary state institution which in carrying out its duties and authorities is independent and free from the influence of any power. Although it has independence and freedom in carrying out its duties and authorities, the KPK still relies on other branches of power in matters relating to the organization. The KPK also has a special position relationship with judicial power, because Article 53 of Law Number 30 of 2002 concerning the Corruption Eradication Commission mandates the establishment of a Corruption Criminal Court (Tipikor) which has the task and authority to examine and decide on corruption crimes whose prosecution is filed by the Corruption Eradication Commission. KPK. Harmonization between the KPK, the Police, and the Prosecutor's Office regarding their respective authorities can handle corruption in accordance with their respective main duties and functions. Specifically, the Corruption Eradication Commission (KPK) can handle corruption cases on condition that it involves law enforcement officers, state administrators, and other people who are related to corruption crimes committed by law enforcement officers or state administrators, receive attention that is disturbing to the public and involves state losses of at least Rp. 1.000.000.000,00 (one billion rupiah).
TANGGUNGJAWAB NEGARA DALAM MELINDUNGI HAK WARGA NEGARA UNTUK BERPARTISIPASI DALAM PEMILU SERENTAK DI 2020 PADA MASA PANDEMI COVIT-19 Derry Angling Kesuma; Darmadi Djufri; Andi Candra; Husnaini Husnaini
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum 2020: Volume 6 Nomor 2 Juni 2020
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/lljih.v6i2.259

Abstract

Abstrak Ada beberapa perlakuan yang dapat dilakukan oleh KPU atas nama negara agar Pemilu serentak dapat berjalan seperti yang diinginkan, yaitu bersih dan sehat, antara lain : 1) Memberikan Pendidikan Pendidikan Politik kepada Masyarakat. Pendidikan Politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Memberikan pemahaman politik kepada masyarakat melalui Pendidikan politik tidak hanya saat tahapan pemilu, tetapi dilaksanakan secara terus menerus sehingga masyarakat dapat melek (memahami) politik. UU 2 Tahun 2011 perubahan atas UU 2 Tahun 2011 tentang partai politik menyatakan bahwa Partai Politik berfungsi sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berkaca pada undang-undang tersebut maka partai politik wajib memberikan Pendidikan politik kepada masyarakat bukan hanya saat ada tahapan pemilu saja, tapi secara berkesinambungan sehingga masyarakat sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. 2) Meningkatkan Sosialisasi Tahapan Pemilu oleh Penyelenggara Pemilu. Kewajiban penyelenggara pemilu terutama KPU untuk melakukan sosialisasi Pemilu kepada Pemilih. Sosialisasi Pemilu merupakan proses penyampaian informasi tentang tahapan dan program Penyelenggaraan Pemilu. 3) Menyusun Data Pemilih Tetap (DPT) yang berkualitas. Pemilih yang terdaftar dalam data pemilih memang tidak berkaitan langsung dengan dengan kesadaran kesadaran masyarakat untuk menggunakan hak pilih dalam pemilu atau pemilihan, tetapi daftar pemilih yang berkualitas akan berpengaruh terhadap angka tingkat kehadiran pemilih di TPS. Hanya pemilih yang memenuhi syarat yang dimasukkan dalam daftar pemilih tetap, sehingga mengurangi tingkat ketidakhadiran pemilih ke TPS. Kata Kunci : Pertanggungjawaban Negara, Hak Warga negara, Pemilihan Umum Abstract From what has been described in the previous sub-chapter, the writer can say that there are also several treatments that can be carried out by the KPU on behalf of the country so that the general election can run as desired, namely clean and healthy, including: 1) Providing Education Education Politics to the Community. Political Education is a process of learning and understanding of the rights, obligations and responsibilities of every citizen in the life of the nation and state. Providing political understanding to the community through political education not only during the election stage, but carried out continuously so that people can be literate (understand) politics. Law 2 of 2011 amendments to Law 2 of 2011 regarding political parties state that Political Parties function as a means of political education for members and the wider community to become Indonesian citizens who are aware of their rights and obligations in the life of society, nation and state. Reflecting on the law, political parties are required to provide political education to the community not only when there are election stages, but on an ongoing basis so that people are aware of their rights and obligations as citizens. 2) Increase Election Stages Socialization by Election Organizers. The obligation of election organizers, especially the KPU, is to disseminate information to the voters Election socialization is the process of delivering information about the stages and programs of the Election Implementation. 3) Develop quality voter data (DPT). Voters who are registered in the voter data are indeed not directly related to public awareness to use their voting rights in elections or elections, but the list of qualified voters will affect the number of voter attendance at polling stations. Only eligible voters are included in the permanent voter list, thereby reducing the level of absence of voters to the polling station.
Pekerja Anak, Upaya Implementasi Konvensi Hak Anak di Indonesia, Faktor Penyebab dan Metode Pencegahannya Derry Angling Kesuma
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum 2015: Volume 2 Nomor 1 Desember 2015
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1909.34 KB) | DOI: 10.46839/lljih.v2i1.75

Abstract

Faktor-faktor yang menyebabkan anak Indonesia terutama yang tinggal di kota Palembang terkategori anak jalanan, pengemis dan gelandangan adalah disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: a. anak jalanan, pengemis dan gelandangan mempunyai kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan, mempunyai cacat tubuh sehingga mcmpersulit mencari pekerjaan, dan mempermudah bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan sebagai pengemis. karena rasa iba orang lain akan memperbanyak pendapatan mereka. Sedangkan gambaran anak jalanan latar belakang pendidikanya rendah. kondisi ekonomi keluarga pas-pasan, berusia sekolah tetapi mereka lebih tertarik untuk berada di jalanan dan bekerja sebagai gelandangan dan pengemis, karena tidak diikat oleh peraturan, latar belakang pendiidikan relatif rendah (ada yang sedang sekolah dasar/menengah pertama). Latar belakang sosial, budaya dan ekonomi yang mendorong dan menarik untuk tetap bertahan menjadi anak jalanan dan pengemis dapat dikatagorikan menjadi dua yaitu Faktor besar pendapatan yang dapat diperoleh dan pengemis merupakan pekerjaan yang mudah. Jaringan hubungan yang ditemukan diantara para pengemis dan anak jalanan tidak terjadi secara formal dalam organisasi yang permanen, tetapi dilakukan secara informal dan spontan. Oleh karena itu, pada dasarnya tidak terdapat jaringan dalam arti yang sesungguhnya, yang ada hubungan antar pengemis atau anak jalanan dalam melaksanakan pekerjaan. Aktor-aktor yang terlibat dalam hubungan tersebut adalah anak-anak, orangtua, saudara, teman. Hubungan-hubungan yang terbentuk dalam kumpulan dapat bersifat saling memanfaatkan, koordinatif-ekspioitasi, dan koordinatif-kerjasama. Alternatif model penanganan anak jalanan mengarah kepada 3 jenis model yaitu family base, institutional base dan multi-system base. Untuk menanggulangi anak Indonesia terutama yang berada di kota Palembang tidak akan menjadi anak jalanan. pengemis dan Gelandangan dapat juga dilakukan dengan cara menerapkan model Street-centered intervention, Family- centered intervention, Institutional-centered intervention, dan Community-centered intervention. Kata Kunci: Implementasi, Hak Anak Abstract: Factors that led to Indonesian children who live ini the city of palembang categorized street children, beggars and bums are caused by things as follows: a. Street children, beggars and homeless families have economic conditions that mediocre,,, have a disability which makes it difficult finding a job, and make it easier for them to get a job as a beggar, because the compassion of others will increase their income. While the picture of street children background pendidikanya low, the economic conditions of families mediocre, old school but they are more interested in being on the streets and working as geandangan and beggars, because it is not bound by regulations, educational background is relatively low (there being primary shool/secondary). social background, cultural and economic push and pull to survive become street children and beggars can be categorized into two major factors yaitu revenue that can be obtained and begging an easy job. Network of relationships found between beggars and street children do not occur formally within the organization permanently, but done informallu and spontaneously. Therefore, basically there is no network in the real sense, that there is a relationship betwen beggars or street children in carrying out the work. Actors involved in the relationship are children, parents, relatives, friends. Relationships are formed in the collection can mutually exploit, coordinative-exploitation, and coordinative-cooperation. Alternative models of handling street children leads to three types of models of family base, institutional base and multi-system base. To cope with the children of Indonesia, especially in the city of Palembang ankan not become street children, beggars and homeless could also be done by applying the model of Street-centered intervention, Family-centered intervention, Institutional-centered intervention, and community-centered intervention. Daftar Pustaka Penulis adalah Dosen Tetap pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang Afrizal, "A Study of Matrilineal Kin Relation in Cotemporary Minangkabau Society of West Sumatera", Tesis Master of Art, Tasmania University , 1996. Farid Mohammad,. "Pekerja Anak, Upaya Implementasi Konvensi Hak Anak di Indonesia dan Konvensi ILO (no.l38)", Jurnal Analisis Sosial, Edisi 5 Juli 1997, Akatiga dan UNICEF, Jakarta, 1997. Hanandini, Dwiyanti, dkk., "Tindak Kekerasan dan Pelecehan Seksual terhadap Anak Jalanan", Laporan Penelitian, Dana HEDS, 2004. Hanandini, Dwiyanti, dkk, Perlindungan Anak Jalanan dari Tindak Kekerasan dan pelecehan Seksual, Laporan penelitian, Dana HEDS, 2005. Parsons et.al dalam Pramono, Wahyu, Pekerja Anak Sektor Informal Di Terminal Bus dan Angkutan Kota Kotamadya Padang, Laporan Penelitian (tidak diterbitkan), Lembaga Penelitian Universitas Andalas, padang, 2000. Suharto, Edi, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Kajian Strategis pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial,PT. Refika Aditama, Bandung, 2005. Soetomo. Masalah sosial dan pembangunan, PT. Dunia pustaka Jaya, Jakarta, 1995. Utomo, Suwarno. 1996. "Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Kerja Anak Usia Sekolah di Sektor Informal di Kotamadya Bengkulu" Tenaga Kerja Anak Indonesia: Rangkuman dan Sari Literatur, PDII-LIIP dan UNICEF, Jakarta. Wiyoga, Giwo Rubiyanto, dalam "Anak Jalanan Juga Anak Bangsa", http:// www.jurnalnasional.com/ diakses tanggal 01 November 2015 http://www.hupelita.com), diakses tanggal 01 November 2015 http://www.antara-sumbar.com, diakscs tgl 12-8-2009, diakses pada tanggal 01 November 2015
TELAAH NORMA TERHADAP DISPENSASI KAWIN DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA UNTUK KEPENTINGAN SI ANAK Derry Angling Kesuma; Rianda Riviyusnita; Husnaini Husnaini
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum Vol 8, No 2 (2022): Juni
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/lljih.v8i2.633

Abstract

Abstrak Pemberlakuan Perma ini ialah sebagai antisipasi dan standarisasi agar putusan atau penetapan pengadilan lebih merperhatikan banyak aspek ketika hendak memberikan izin kepada anak untuk melangsungkan perkawinan. Sehingga produk yang dihasilkan nanti dapat dipertanggungjawabkan secara hukum maupun akademik. Dan yang terpenting dari penetapan dispensasi kawin yang dikeluarkan pengadilan agama ialah berdasarkan kepentingan terbaik untuk anak (for the best interest of the child). Karenanya anggapan bahwa pengadilan agama senantiasa mempermudah bahkan melegalkan pernikahan dini merupakan anggapan yang sangat keliru. Sebagai kewenangan Pengadilan Agama, perkara dispensasi kawin sangat dilematis dan debatable karena secara simultan perkara tersebut bias nilai, antara kemaslahatan, kemudharatan, dan perilaku masyarakat. Secara sosiologi, masyarakat senantiasa mengalami perubahan dan yang menjadi pembeda hanyalah pada sifat atau tingkat perubahannya. Salah satu aspek mendasar dari cerminan putusan-putusan Peradilan Agama yang mengedepankan upaya pencegahan pernikahan anak adalah mempersempit ruang gerak pengajuan perkara pernikahan anak, memeriksa perkara secara lebih cermat dengan menambah beban pembuktian, serta komitmen para pihak merespon akibat negatif yang ditimbulkan dalam pernikahan anak. Kata Kunci : Dispensasi Perkawinan, Antisipasi, Standarisasi Abstract The determination of the marriage dispensation issued by the religious court is based on the best interests of the child. As the authority of the Religious Court, the marriage dispensation case is very dilemmatic and debatable because simultaneously the case is biased in values, between the benefit, the mudharatan, and the behavior of the community.religious courts always make it easier and even legalize early marriage is a very wrong assumption. As the authority of the Religious Court, the marriage dispensation case is very dilemmatic and debatable because simultaneously the case is biased in values, between the benefit, the mudharatan, and the behavior of the community.One of the fundamental aspects of the reflection of religious court decisions that prioritize efforts to prevent child marriage is to narrow the scope for filing child marriage cases, examine cases more carefully by increasing the burden of proof, and the commitment of the parties to respond to the negative consequences caused in child marriage.
PENINGKATAN PEMBANGUNAN EKONOMI MELALUI POLITIK HUKUM OMNIBUS LAW Kinaria Afriani; Derry Angling Kesuma; Husnaini Husnaini
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum 2021: Volume 7 Nomor 2 Juni 2021
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/lljih.v7i2.441

Abstract

Abstrak Omnibus Law sebagai upaya Pemerintah dalam meningkatkan pembangunan ekonomi di Indonesia dan meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia dalam perumusan maupun implementasinya harus berimbang dalam tataran efektivitas dan akuntabilitas dengan memperhatikan aspek yuridis, politik, sosiologi dan ekonomi. Kata kunci: Pembangunan Ekonomi, Politik Hukum , Omnibus Law Abstract Omnibus Law, the Government's efforts to improve economic development in Indonesia and improve the welfare of all Indonesian people in its formulation and implementation must be balanced in the level of effectiveness and accountability by taking into account juridical, political, sociological and economic aspects.