Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

TINJAUAN TENTANG FENOMENA PERAMBATAN RETAK DINAMIK Husnaini Husnaini; Djoko Suharto
Mesin Vol. 11 No. 1 (1996)
Publisher : Mesin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Fenomena retak lelah dan retak dengan beban kuasistatik sudah rnenjadi konsep yang mapan dan telah digunakan dalam perhitungan rekayasa, Sebaliknya, fenomena retak cepat (fastfracture) masih belum banyak diketahui dan merupakan bidang penelilian baru. Tulisan ini merupakan rangkuman dari penelitian-penelitian dibidang ini. Tujuannya adalah membuat suatu pembahasan yang sistemalik sehingga konsep dan parameter-parameter retak cepat ini dengan mudah dapat dimengerti.
SINERGITAS KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA GRATIFIKASI DALAM STRUKTUR HUKUM PIDANA DI INDONESIA Derry Angling Kesuma; Husnaini Husnaini
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum 2019: Volume 6 Nomor 1 Desember 2019
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/lljih.v6i1.486

Abstract

Abstrak Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK adalah lembaga negara bantu yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Walaupun memiliki independensi dan kebebasan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, namun KPK tetap bergantung kepada cabang kekuasaan lain dalam hal yang berkaitan dengan keorganisasian. KPK juga memiliki hubungan kedudukan yang khusus dengan kekuasaan yudikatif, karena Pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengamanatkan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang bertugas dan berwenang memeriksa serta memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK. Harmonisasi antara KPK, Kepolisian, serta Kejaksaan mengenai kewenangan sama-sama bisa menangani tindak pidana korupsi sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Khusus KPK bisa menangani kasus korupsi dengan syarat melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara Negara, mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat dan menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Kata Kunci : Penegakan Hukum, Sinergitas, Tindak Pidana Korupsi Abstract The Corruption Eradication Commission or KPK is an auxiliary state institution which in carrying out its duties and authorities is independent and free from the influence of any power. Although it has independence and freedom in carrying out its duties and authorities, the KPK still relies on other branches of power in matters relating to the organization. The KPK also has a special position relationship with judicial power, because Article 53 of Law Number 30 of 2002 concerning the Corruption Eradication Commission mandates the establishment of a Corruption Criminal Court (Tipikor) which has the task and authority to examine and decide on corruption crimes whose prosecution is filed by the Corruption Eradication Commission. KPK. Harmonization between the KPK, the Police, and the Prosecutor's Office regarding their respective authorities can handle corruption in accordance with their respective main duties and functions. Specifically, the Corruption Eradication Commission (KPK) can handle corruption cases on condition that it involves law enforcement officers, state administrators, and other people who are related to corruption crimes committed by law enforcement officers or state administrators, receive attention that is disturbing to the public and involves state losses of at least Rp. 1.000.000.000,00 (one billion rupiah).
TELAAH NORMA TERHADAP DISPENSASI KAWIN DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA UNTUK KEPENTINGAN SI ANAK Derry Angling Kesuma; Rianda Riviyusnita; Husnaini Husnaini
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum Vol 8, No 2 (2022): Juni
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/lljih.v8i2.633

Abstract

Abstrak Pemberlakuan Perma ini ialah sebagai antisipasi dan standarisasi agar putusan atau penetapan pengadilan lebih merperhatikan banyak aspek ketika hendak memberikan izin kepada anak untuk melangsungkan perkawinan. Sehingga produk yang dihasilkan nanti dapat dipertanggungjawabkan secara hukum maupun akademik. Dan yang terpenting dari penetapan dispensasi kawin yang dikeluarkan pengadilan agama ialah berdasarkan kepentingan terbaik untuk anak (for the best interest of the child). Karenanya anggapan bahwa pengadilan agama senantiasa mempermudah bahkan melegalkan pernikahan dini merupakan anggapan yang sangat keliru. Sebagai kewenangan Pengadilan Agama, perkara dispensasi kawin sangat dilematis dan debatable karena secara simultan perkara tersebut bias nilai, antara kemaslahatan, kemudharatan, dan perilaku masyarakat. Secara sosiologi, masyarakat senantiasa mengalami perubahan dan yang menjadi pembeda hanyalah pada sifat atau tingkat perubahannya. Salah satu aspek mendasar dari cerminan putusan-putusan Peradilan Agama yang mengedepankan upaya pencegahan pernikahan anak adalah mempersempit ruang gerak pengajuan perkara pernikahan anak, memeriksa perkara secara lebih cermat dengan menambah beban pembuktian, serta komitmen para pihak merespon akibat negatif yang ditimbulkan dalam pernikahan anak. Kata Kunci : Dispensasi Perkawinan, Antisipasi, Standarisasi Abstract The determination of the marriage dispensation issued by the religious court is based on the best interests of the child. As the authority of the Religious Court, the marriage dispensation case is very dilemmatic and debatable because simultaneously the case is biased in values, between the benefit, the mudharatan, and the behavior of the community.religious courts always make it easier and even legalize early marriage is a very wrong assumption. As the authority of the Religious Court, the marriage dispensation case is very dilemmatic and debatable because simultaneously the case is biased in values, between the benefit, the mudharatan, and the behavior of the community.One of the fundamental aspects of the reflection of religious court decisions that prioritize efforts to prevent child marriage is to narrow the scope for filing child marriage cases, examine cases more carefully by increasing the burden of proof, and the commitment of the parties to respond to the negative consequences caused in child marriage.
TANGGUNGJAWAB NEGARA DALAM MELINDUNGI HAK WARGA NEGARA UNTUK BERPARTISIPASI DALAM PEMILU SERENTAK DI 2020 PADA MASA PANDEMI COVIT-19 Derry Angling Kesuma; Darmadi Djufri; Andi Candra; Husnaini Husnaini
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum 2020: Volume 6 Nomor 2 Juni 2020
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/lljih.v6i2.259

Abstract

Abstrak Ada beberapa perlakuan yang dapat dilakukan oleh KPU atas nama negara agar Pemilu serentak dapat berjalan seperti yang diinginkan, yaitu bersih dan sehat, antara lain : 1) Memberikan Pendidikan Pendidikan Politik kepada Masyarakat. Pendidikan Politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Memberikan pemahaman politik kepada masyarakat melalui Pendidikan politik tidak hanya saat tahapan pemilu, tetapi dilaksanakan secara terus menerus sehingga masyarakat dapat melek (memahami) politik. UU 2 Tahun 2011 perubahan atas UU 2 Tahun 2011 tentang partai politik menyatakan bahwa Partai Politik berfungsi sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berkaca pada undang-undang tersebut maka partai politik wajib memberikan Pendidikan politik kepada masyarakat bukan hanya saat ada tahapan pemilu saja, tapi secara berkesinambungan sehingga masyarakat sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. 2) Meningkatkan Sosialisasi Tahapan Pemilu oleh Penyelenggara Pemilu. Kewajiban penyelenggara pemilu terutama KPU untuk melakukan sosialisasi Pemilu kepada Pemilih. Sosialisasi Pemilu merupakan proses penyampaian informasi tentang tahapan dan program Penyelenggaraan Pemilu. 3) Menyusun Data Pemilih Tetap (DPT) yang berkualitas. Pemilih yang terdaftar dalam data pemilih memang tidak berkaitan langsung dengan dengan kesadaran kesadaran masyarakat untuk menggunakan hak pilih dalam pemilu atau pemilihan, tetapi daftar pemilih yang berkualitas akan berpengaruh terhadap angka tingkat kehadiran pemilih di TPS. Hanya pemilih yang memenuhi syarat yang dimasukkan dalam daftar pemilih tetap, sehingga mengurangi tingkat ketidakhadiran pemilih ke TPS. Kata Kunci : Pertanggungjawaban Negara, Hak Warga negara, Pemilihan Umum Abstract From what has been described in the previous sub-chapter, the writer can say that there are also several treatments that can be carried out by the KPU on behalf of the country so that the general election can run as desired, namely clean and healthy, including: 1) Providing Education Education Politics to the Community. Political Education is a process of learning and understanding of the rights, obligations and responsibilities of every citizen in the life of the nation and state. Providing political understanding to the community through political education not only during the election stage, but carried out continuously so that people can be literate (understand) politics. Law 2 of 2011 amendments to Law 2 of 2011 regarding political parties state that Political Parties function as a means of political education for members and the wider community to become Indonesian citizens who are aware of their rights and obligations in the life of society, nation and state. Reflecting on the law, political parties are required to provide political education to the community not only when there are election stages, but on an ongoing basis so that people are aware of their rights and obligations as citizens. 2) Increase Election Stages Socialization by Election Organizers. The obligation of election organizers, especially the KPU, is to disseminate information to the voters Election socialization is the process of delivering information about the stages and programs of the Election Implementation. 3) Develop quality voter data (DPT). Voters who are registered in the voter data are indeed not directly related to public awareness to use their voting rights in elections or elections, but the list of qualified voters will affect the number of voter attendance at polling stations. Only eligible voters are included in the permanent voter list, thereby reducing the level of absence of voters to the polling station.
PENINGKATAN PEMBANGUNAN EKONOMI MELALUI POLITIK HUKUM OMNIBUS LAW Kinaria Afriani; Derry Angling Kesuma; Husnaini Husnaini
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum 2021: Volume 7 Nomor 2 Juni 2021
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/lljih.v7i2.441

Abstract

Abstrak Omnibus Law sebagai upaya Pemerintah dalam meningkatkan pembangunan ekonomi di Indonesia dan meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia dalam perumusan maupun implementasinya harus berimbang dalam tataran efektivitas dan akuntabilitas dengan memperhatikan aspek yuridis, politik, sosiologi dan ekonomi. Kata kunci: Pembangunan Ekonomi, Politik Hukum , Omnibus Law Abstract Omnibus Law, the Government's efforts to improve economic development in Indonesia and improve the welfare of all Indonesian people in its formulation and implementation must be balanced in the level of effectiveness and accountability by taking into account juridical, political, sociological and economic aspects.
SENGAJA dan TIDAK SENGAJA dalam Hukum Pidana Indonesia Marsudi Utoyo; Kinaria Afriani; Rusmini Rusmini; Husnaini Husnaini
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum 2020: Volume 7 Nomor 1 Desember 2020
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/lljih.v0i0.298

Abstract

Abstrak Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Pelaku ini dapat dikatakan merupakan “subyek” tindak pidana. Bahwa pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Yang dimaksud dengan kesalahan adalah Kesalahan adalah dasar untuk pertanggungjawaban. Kesalahan merupakan keadaan jiwa dari si pembuat dan hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya. Mengenai keadaan jiwa dari seseorang yang melakukan perbuatan, lazim disebut sebagai kemampuan bertanggung jawab, sedangkan hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya itu merupakan kesengajaan, kealpaan, serta alasan pemaaf.Dengan demikian, untuk menentukan adanya kesalahan, dalam pidana subjek hukum harus memenuhi beberapa unsur, antara lain: Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pelaku, Perbuatannya tersebut berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); Tidak adanya alasan penghapus kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf. Pengertian “Sengaja dan Tidak Sengaja” dalam hukum pidana Indonesia adalah Kesengajaan itu adalah “menghendaki” dan “mengetahui” (willens en wetens). Maksudnya adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja itu, haruslah menghendaki (willens) apa yang ia perbuat dan harus mengetahui pula (wetens) apa yang ia perbuat tersebut beserta akibatnya. Kata Kunci : Kesalahan, kesengajaan, kealpaan Abstract Criminal action is an act for which the perpetrator is subject to criminal penalties. This perpetrator can be said to be the "subject" of a criminal act. Whereas criminal liability is defined as the continuation of an objective reproach that is in the criminal act and subjectively meets the requirements to be convicted of that act. What is meant by error is error is the basis for accountability. Mistakes are the mental state of the maker and the inner connection between the maker and the deeds. Regarding the mental state of a person who does an action, it is commonly referred to as the ability to be responsible, while the mental relationship between the maker and the action is deliberate, negligent, and excuses for forgiveness. Thus, in order to determine an error, a legal subject must fulfill several elements, among others: The ability to be responsible to the perpetrator, the act is in the form of intent (dolus) or negligence (culpa); There is no excuse for erasing mistakes or the absence of excuses for forgiveness. The definition of "Intentional and Unintentional" in Indonesian criminal law is intentional, it means "willing" and "knowing" (willens en wetens). The point is that someone who commits an act deliberately, must will (willens) what he does and must also know (wetens) what he is doing and its consequences.
Reading Skills Used in English Textbook Suyadi Suyadi; Husnaini Husnaini
Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol 22, No 2 (2022): Juli
Publisher : Universitas Batanghari Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33087/jiubj.v22i2.2405

Abstract

This article investigates a reading skill content in English textbook used at a state senior high school from the point of view its variety, exploitability, suitability, length of text, readability, and authenticity of texts. A representation theory was used to explore the key issue of a textbook. A multimodal discourse analysis is applied, in more specifically through verbal analysis and visual analysis of the texts within the textbook. The results of analysis reveal that there are seven reading texts with different variety namely narrative, expository, speech, play script, and recount text. There is one text that is not suitable with characteristics of a book length, and the rest of the texts are met its variety, exploitability, readability, and its authenticity. Therefore, further studies with a different analysis are required to achieve deeper information about how English textbook used in Indonesia can implement the characteristics of international standard.
TELAAH NORMA TINDAK PIDANA UJARAN KEBENCIAN (HATE SPEECH) DI INDONESIA DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM Derry Angling Kesuma; Husnaini Husnaini
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum Vol 9, No 2 (2023): Juni
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/lljih.v9i2.769

Abstract

Abstrak Ketentuan pidana untuk kasus yang terjadi dalam media sosial sehubungan dengan ujaran kebencian (hate speech) sudah cukup jelas diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan KUHP sebagai Lex Generale, daan juga di bahas dalam Surat Edaran Kapolri sebagai berikut :Di dalam Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ,Pasal 28 Ayat (2) UU ITE, Pasal 156 KUHP , Pasal 157 KUHP, Juga di Bahas didalam Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia bern omor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian. Pidana ujaran kebencian (hate speech) menurut hukum pidana Islam menitikberatkan pada pencemaran nama baik dan penghinaan termasuk dalam perbuatan dosa. Di dalam hukum pidana Islam, terdapat tiga hukuman pidana jarîmah: Yang pertama, jarîmah hudûd, suatu jarîmah yang dibentuknya telah ditentukan oleh syarak sehingga terbatas jumlahnya. Yang kedua, jarîmah qishâsh atau diat, seperti jarîmah hudûd, jarîmah qishâsh atau diat, telah ditentukan jenis maupun besar hukuman untuk jarîmah ini hanya satu untuk setiap jamaah. Yang ketiga, ta’zîr, adalah suatu dalam bentuk jarîmah, yang bentuk atau macam jarîmah serta hukuman dan sanksinya ditentukan oleh penguasa. Kata Kunci : Ujaran Kebencian, Sanski Pidana, Penegakan Hukum Abstract Criminal provisions for cases that occur on social media in connection with hate speech are quite clearly regulated in the Information and Electronic Transactions Law, and the Criminal Code as Lex Generale, and are also discussed in the Chief of Police's Circular Letter as follows: In Article 45A Paragraph (2) of Law Number 19 of 2016 Concerning Information and Electronic Transactions, Article 28 Paragraph (2) of the ITE Law, Article 156 of the Criminal Code, Article 157 of the Criminal Code, also discussed in the Circular Letter issued by the Head of the Indonesian National Police numbered SE/6/X/2015 concerning Handling of Hate Speech. Criminal hate speech according to Islamic criminal law focuses on defamation and humiliation, including in acts of sin. In Islamic criminal law, there are three jarîmah criminal penalties: First, hudûd jarîmah, a jarîmah which has been formed has been determined by syaraad so that the number is limited. Secondly, jarîmah qishâsh or diat, such as jarîmah hudûd, jarîmah qishâsh or diat, it has been determined that the type and amount of punishment for this jarîmah is only one for each congregation. The third, ta'zîr, is something in the form of jarimah, in which the form or type of jarimah and the penalties and sanctions are determined by the authorities.
IMPLEMENTASI BATAL DEMI HUKUM DALAM PERJANJIAN KERJA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN Julianto; Muhammad Abdurrahman; M. Soheh Salahudin W; Alvin Reynaldo; Reggy Permana; Husnaini Husnaini
Consensus : Jurnal Ilmu Hukum Vol. 2 No. 1 (2023): Agustus
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/consensus.v2i1.47

Abstract

Abstrak Hubungan kerja pada dasarnya adalah hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha setelah adanya perjanjian kerja. Perjanjian kerja merupakan awal dimulai suatu hubungan kerja yang dibuat atas pernya taan kesanggupan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Perjanjian kerja dapat dilakukan secara lisan maupun tulisan. bagaimana implementasi makna batal demi hukum dalam perjanjian kerja yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yaitu sebuah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Sumber data sekunder yaitu berupa dokumen-dokumen tertulis, peraturan perundang-undangan dan litelatur-litelatur yang berkaitan dengan objek penelitian ini. Makna batal demi hukum berarti perjanjian kerja tersebuat seolah-olah tidak pernah ada atau sejak semula secara yuridis tidak pernah ada perjanjian. Namun dalam kenyataan yang sering terjadi walaupun pekerjaaan tersebut batal demi hukum ada tetapi pekerja atau buruh masih tetap diperkerjakan hingga saatnya terjadilah pemutusan hubungan kerja. Kata Kunci : Batal Demi Hukum, Perjanjian, Kerja Abstract The working relationship is basically the relationship between the worker/laborer and the entrepreneur after a work agreement has been made. The work agreement is the beginning of a work relationship that is made based on a statement of commitment between the worker/laborer and the entrepreneur. Work agreements can be made orally or in writing. how to implement the meaning of null and void in work agreements that are contrary to Law Number 13 of 2003 concerning Manpower. The research used is normative legal research, namely a legal research method that is carried out by examining literature or secondary data. Secondary data sources are in the form of written documents, laws and regulations and literature related to the object of this research. The meaning of null and void means that the work agreement is as if it never existed or from the beginning there was never an agreement legally. However, in reality, what often happens is that even though the work is null and void, workers or laborers are still employed until the time when the employment relationship is terminated. Keywords: Null By Law, Agreement, Work