Risa Nopianti
BPNB Jawa Barat

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

MAKNA RITUAL MULUD DALAM MEWUJUDKAN POPULARITAS GOLOK CIOMAS Risa Nopianti
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 9, No 1 (2017): PATANJALA Vol. 9 No. 1 MARCH 2017
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (423.849 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v9i1.350

Abstract

Penelitian difokuskan kepada ritual Mulud golok Ciomas yang diselenggarakan Penelitian difokuskan kepada ritual Mulud golok Ciomas yang diselenggarakan setiap tanggal 12 Mulud. Ritual ini berfungsi sebagai ajang silaturahmi para pemilik golok Ciomas, hingga golok Ciomas akhirnya dapat dikenal dan mengharumkan nama Ciomas. Prosesi ritual ngoles/ngulas pada golok Ciomas yang telah jadi, dan tempa pada besi bakal pembuatan golok Ciomas, merupakan filosofi bertemunya antara guru dan murid yang hanya terjadi satu tahun sekali yaitu pada bulan Mulud. Pertanyaannya kemudian bagaimana ritual tersebut diselenggarakan hingga menarik minat masyarakat, kemudian faktor-faktor apa saja yang ada dalam sistem ritual Mulud, yang menjadikan golok Ciomas begitu populer di mata masyarakat. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan etnografis. Adapun data diperoleh melalui proses wawancara, pengamatan, dan studi pustaka. Akhirnya penelitian ini menemukan bahwa kepopuleran golok Ciomas dicapai karena adanya usaha dan kerja sama yang erat antara beberapa stakeholder yang ada di lingkaran golok Ciomas yaitu pande golok, pemimpin ritual, dan pemegang pusaka godam Si Denok.  The study focuses on the Mulud ritual of Ciomas machete held annually on 12 of Mulud. This ritual serves as a gathering place of Ciomas machete owners, and then Ciomas machete finally can be popular and becomes the icon of the Ciomas. Ritual procession of ngoles or ngulas of finished Ciomas machete, and wrought iron of Ciomas machete designate, become a meeting philosophy between teachers and students that only happens once in a year, i.e. in Mulud. The question is then how the ritual is held to attract people, and then what factors are presented in the system of Mulud ritual which makes Ciomas machete, becomes so popular. This research is conducted by applying a qualitative method with ethnographic approach. The data is obtained through interviews, observation, and literature study. Finally, it is found that the Ciomas machete achieved popularity for the efforts and close cooperation between multiple stakeholders in the circle of Ciomas. It is Pande, a leader of the ritual, and the holder of the heritage sledgehammer, Si Denok.
PENDIDIKAN AHLAK SEBAGAI DASAR PEMBENTUKAN KARAKTER DI PONDOK PESANTREN SUKAMANAH TASIKMALAYA Risa Nopianti
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 10, No 2 (2018): PATANJALA Vol. 10 No. 2, JUNE 2018
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (585.815 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v10i2.362

Abstract

Pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan keagamaan memiliki visi yang cukup sentral dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain mengemban tugas mencerdaskan kognisi peserta didiknya, pesantren juga bertujuan untuk memberikan kecerdasan spiritual dan sosial. Kecerdasan spiritual tersebut salah satunya dibentuk oleh pendidikan akhlakul karimah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pendidikan ahlak dengan pembentukan karakter santri di pesanten Sukamanah, Tasikmalaya. Penelitian kualititaif dengan prespektif etnografi digunakan untuk memaparkan dan menganalisa data. Pendidikan ahlak memberikan bekal konsep spiritual pada diri seorang santri dalam bersikap dan berperilaku. Adapun salah satu implementasi praktis dari pendidikan akhlak adalah tata tertib dan tatakrama yang merupakan perwujudan dari tata kelakuan dan menjadi bagian dari norma sosial. Tata tertib dan tatakrama berperan penting untuk penanaman nilai-nilai sprititualitas dalam membentuk karakter para santri Pesantren as a religious education institution has a central vision in the intellectual life of the nation. In addition to carrying out the task of educating students cognition, pesantren also aims to provide spiritual and social intelligence. Spiritual intelligence can be formed by akhlakul karimah education. This study aims to determine the relationship of moral education with the formation of santri (students) characters in Sukamanah pesantren, Tasikmalaya. Qualitative research with an ethnographic perspective is used to describe and analyze data. Moral education has provided a spiritual concept for a santri in behaving and act. As for one of the practical implementations of moral education is the rules and manners which are the embodiment of behavior and become part of social norms. Rules and manners play an important role in the cultivation of spiritual values in shaping the character of the santri.
KAMPUNG ANGKLUNG DI CIAMIS: PENJAGA EKOSISTEM BUDAYA ANGKLUNG Risa Nopianti; Hary Ganjar Budiman
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 13, No 1 (2021): PATANJALA VOL. 13 NO. 1 APRIL 2021
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30959/patanjala.v13i1.731

Abstract

Kampung Angklung merupakan perkampungan penghasil angklung yang berada di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Sejak tahun 2010 angklung telah menjadi warisan budaya yang diakui dunia melalui konvensi yang digelar UNESCO di Nairobi, Kenya. Oleh Karena itulah diperlukan upaya-upaya untuk terus memajukannya melalui kegiatan pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan sumberdaya kebudayaan yang berkelanjutan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Pemajuan Kebudayaan No.5 Tahun 2017. Artikel ini melihat masyarakat di Kampung Angklung dalam upaya menghidupkan dan menjaga ekosistem kebudayaan angklung yang berkelanjutan. Penelitian kualitatif dengan melakukan wawancara secara mendalam terhadap para pengrajin angklung di Kampung angklung serta stakeholder pemerintah yang mendukungnya. Ekosistem kebudayaan angklung di Kampung Angklung yang di dalamnya terdapat berbagai subsistem seperti ekosistem tanaman bambu, pengrajin angklung, seniman angklung, sistem produksi dan distribusi, serta kelembagaan masyarakat, telah berkontribusi terhadap upaya menghidupkan dan menjaga ekosistem kebudayaan yang berkelanjutan. Ekosistem kebudayaan angklung mampu menjaga kelestarian ekosistem lingkungan, pada saat yang sama mereka juga dapat mengambil manfaat ekonomis daripadanya sekaligus melestarikan kebudayaan angklung.  Kampung Angklung in Ciamis Regency, West Java is a well-known producer of angklung. Since 2010, angklung has officially become a world-recognized cultural heritage as a result of the UNESCO convention held in Nairobi, Kenya. As a consequence, further steps are needed to continue to advance angklung by providing the activities of protecting, developing, utilizing, and fostering the sustainable resource culture referring to the Law of the Republic of Indonesia Number 5 of 2017 concerning Cultural Advancement. This article describes how the efforts of the people of Kampung Angklung to preserve and conserve the sustainable ecosystem of angklung culture. This research used the qualitative research methods, such as conducting the in-depth interviews with angklung craftsmen in Kampung Angklung, and the government stakeholders who supported the craftsmen. The ecosystem of angklung culture in Kampung Angklung, in which there are various subsystems such as bamboo plant ecosystem, angklung craftsmen, angklung artists, production and distribution systems, and community institutions, has contributed to preserve and conserve the sustainable ecosystem of angklung culture. The ecosystem of angklung culture assured to preserve the environmental ecosystem and, at the same time, to provide the economic benefits while preserving the angklung culture.
IDENTITAS ORANG TUGU SEBAGAI KETURUNAN PORTUGIS DI JAKARTA Risa Nopianti; Selly Riawanti; Budi Rajab
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 11, No 2 (2019): PATANJALA Vol. 11 No. 2, JUNE 2019
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (635.452 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v11i2.490

Abstract

Orang Tugu di Kelurahan Semper Barat merupakan sebuah komunitas keturunan Portugis yang  memiliki akar budaya dan sejarah yang cukup campuran sejak tahun 1661. Mereka berusaha untuk tetap bertahan dengan melestarikan aspek-aspek kebudayaan yang dimilikinya melalui beragam aktivitas dan tindakan-tindakan sosial sebagai upayanya untuk mendapatkan pengakuan akan identitas mereka sebagai Orang Tugu. Penelitian secara kualitatif dengan metode etnografi dan extended case method, digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan dan menganalisis data. Paparan data menjelaskan bahwa interaksi sosial Orang Tugu dengan kelompok-kelompok lainnya dilakukan sebagai upaya mereka untuk mempertahankan identitasnya. Hal tersebut memunculkan dua kelompok utama yaitu, kelompok penting (significant others) hubungan di antara mereka didasari oleh adanya kepentingan-kepentingan tertentu yang sifatnya saling menguntungkan, yaitu salah satunya berkaitan dengan eksistensi musik keroncong. Ada pula kelompok umum lainnya (generalized others) hubungan mereka bersifat saling membutuhkan. Kelompok yang dikategorikan dalam hubungan saling menguntungkan adalah pemerintah daerah, komunitas pemerhati budaya dan sejarah, serta penanggap keroncong. Adapun kelompok-kelompok yang dibutuhkan oleh Orang Tugu dalam kehidupan sehari-hari adalah tetangga Betawi, dan jemaat gereja.    The Tugu people in Semper Barat Village are a community of Portuguese descent who has quite mixed cultural and historical roots since 1661. They try to stay afloat by preserving their cultural aspects through various activities and social actions as an effort to get recognition of their identity as Tugu People. Qualitative methods with ethnographic approaches and extended case method are used as tools to collect and analyze data. The results explain that the social interaction of Tugu People with important groups (significant others) is carried out because of the existence of certain interests which are mutually beneficial, but there are also those that are mutually needed, namely those in other general groups (generalized others). Groups that are categorized as mutually beneficial relationships are local governments, cultural and historical observer communities, and keroncong appreciators. The groups needed by Tugu People in their daily lives are neighbors from Betawi ethnic group, and church members.
STRATEGI ADAPTASI MASYARAKAT TERDAMPAK PEMBANGUNAN WADUK JATIGEDE DI DUSUN CIPONDOH DESA PAWENANG KECAMATAN JATINUNGGAL KABUPATEN SUMEDANG Risa Nopianti; Triesya Melinda; Junardi Harahap
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 10, No 1 (2018): PATANJALA VOL. 10 NO. 1, MARCH 2018
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (703.613 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v10i1.338

Abstract

Pasca penggenangan Waduk Jatigede pada tahun 2015,  sejumlah permasalahan  muncul pada masyarakat terdampak, seperti kesulitan dalam beradaptasi di lingkungan baru, antisipasi pengetahuan yang minim,  perubahan kondisi, dan mata pencaharian yang terbatas. Keterbatasan  juga terjadi pada kondisi sanitasi di lingkungan tempat tinggal mereka. Adaptasi dilakukan untuk menyiasati keadaan alam dan lingkungan yang berimbas pada pemenuhan sarana sanitasi. Maka, penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana kondisi lingkungan dan sanitasi masyarakat Dusun Cipondoh Desa Pawenang Kecamatan Jatinunggal sebagai akibat pemukiman kembali pembangunan Waduk Jatigede, dengan menggunakan metode etnografi dan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini menemukan bahwa pengelolaan lingkungan dan sanitasi warga Dusun Cipondoh merupakan bagian dari proses adaptasi mereka di lingkungan barunya. Proses adaptasi ini merupakan sebuah tindakan yang diawali oleh adanya pengetahuan mengenai keterbatasan yang dihadapi, kemudian disusunlah strategi untuk memunculkan tindakan yang nyata dalam menyikapi keterbatasan tersebut yang dioperasionalkan dengan pengelolaan lingkungan dan sanitasi warga terdampak.  After the flooding of Jatigede dam in 2015, a number of problems arise in impacted communities in their daily activities, such as difficulties in adapting to a new environments, minimizing knowledge anticipation, changing conditions, and limited livelihoods. This limitation also occurs in sanitary conditions in their neighborhoods. Adaptation is done to deal with the natural and environmental conditions that impact on the fulfillment of sanitation facilities. So, this research is done to see how the environmental condition and sanitation of Cipondoh Village Pawenang Village Jatinunggal Subdistrict as a result of resettlement of Jatigede dam development by using ethnography approach to capture the point of view of indigenous people, their relationship with life, and to realize their vision and world. The results of this study is that environmental management and sanitation of Dusun Cipondoh residents is part of their adaptation process in their new environment. This adaptation process is an action initiated by the knowledge of the constraints faced, and then devised a strategy to bring tangible action in addressing the limitations that are operated with environmental management and sanitation of affected people.
IDENTITAS NELAYAN MIGRAN INDRAMAYU DI MUARA ANGKE Risa Nopianti; Ria Andayani Somantri
Pangadereng : Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora Vol 6, No 2 (2020)
Publisher : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36869/pjhpish.v6i2.155

Abstract

Masyarakat migran Muara Angke, termasuk halnya masyarakat nelayan yang dari Indramayu, selain bertujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan hidup utama mereka melalui ekonomi dan pendidikan, juga membawa seperangkat pengetahuan lokal dan nilai budaya yang dipraktikan di daerah tujuannya. Pengetahuan lokal seperti teknik dan jenis alat tangkap yang digunakan untuk melaut, ritual dan tradisi nadran laut, serta organisasi sosial yang dibentuk, menjadi modal budaya sekaligus juga bentuk identitas Orang Indramayu yang dikenal oleh masyarakat lainnya di Muara Angke. Metode etnografi dengan teknik wawancara, observasi lapangan dan audio visual, serta penggalian data sekunder diaplikasikan pada penelitian ini untuk menggambarkan budaya dari sudut pandang masyarakat. Heterogenitas komposisi etnis, profesi, situasi politik dan kondisi sosial yang ada di Muara Angke, menjadi sebuah faktor pendorong bagi nelayan Indramayu untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap perangkat identitas mereka supaya dapat diterima dengan baik oleh seluruh anggota masyarakat yang ada. Dengan demikian penyesuaian identitas merupakan sebuah konsekuensi yang harus dihadapi oleh Orang Indramayu yang bermigrasi ke Muara Angke dalam rangka pencapai tujuan-tujuannya.