Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

PENERAPAN ASAS NASIONALITAS AKTIF TERHADAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Ni Putu Ari Setyaningsih
Jurnal Aktual Justice Vol 4 No 2 (2019): Aktual Justice
Publisher : Magister Hukum Pascasarjana Univeristas Ngurah Rai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47329/aktualjustice.v4i2.544

Abstract

Money laundering crime is a follow-up crime which is forwarded from a predicate crime. In line with technological developments, the proceeds of criminal offenses that are laundered may also come from the proceeds of crimes committed outside the territory of Indonesia. Money Laundering Act stipulates that the predicate crime of money laundering committed outside the territory of Indonesia can be prosecuted and tried under Indonesian law as well as Indonesian citizens who are outside the territory of Indonesia who participate in conducting trials and assistance. or a malicious consensus to commit the crime of laundering. However, the application of Indonesian law to crimes committed in the territorial areas of other countries will relate to issues of law enforcement jurisdiction. This raises a problem regarding the extent to which the active nationality principle can apply to the perpetrators of the crime of money laundering whose predicate crime and crimes of probation, co-operation or conspiracy are committed outside the territory of Indonesia. The preparation of this paper uses a normative research method with a statutory approach. This paper concludes that the active nationality principle can be applied based on the provisions of Article 2 paragraph (1) letter z and Article 10 of the Money Laundering Act. The application of the active nationality principle cannot be carried out absolutely because there are limitations related to the sovereignty of the State where the criminal act is committed, the sovereignty of this country is closely related to the legal jurisdiction of a country. Therefore, to be able to apply Money Laundering Act in the jurisdiction of other countries, a legal basis is needed in the form of formal cooperation or mutual assistance. In addition, a technical extradition treaty is required to hand over the perpetrator of a criminal offense to the Indonesian state.
KEDUDUKAN LEMBAGA PERKREDITAN DESA (LPD) SEBAGAI SUBJEK HUKUM DALAM MENGAJUKAN PERMOHONAN PAILIT Ni Putu Ari Setyaningsih
Jurnal Aktual Justice Vol 6 No 2 (2021): Aktual Justice
Publisher : Magister Hukum Pascasarjana Univeristas Ngurah Rai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47329/aktualjustice.v6i2.771

Abstract

LPD is not a microfinance institution that is regulated in Law Number 1 of 2013 concerning Microfinance Institutions because it is excluded under Article 39 paragraph (3) of the law. LPD is not a legal entity like other financial institutions such as banks, rural banks and cooperatives, LPD only has the status as a financial institution belonging to traditional villages until now. In 2016 there was a case of bad loans in one of the LPDs in Bali, namely the Kelan Traditional Village LPD, in this case the settlement was carried out through the bankruptcy mechanism regulated in Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations (hereinafter referred to as Law No. Bankruptcy Law and PKPU). People who can collect receivables before the court are people (natuurlijke persoon) and legal entities (rechtspersonen). While conceptually LPD is not a microfinance institution as regulated in the Law on Microfinance Institutions and LPD is a financial institution that is not a legal entity such as banks, rural banks and cooperatives. Normative legal research is carried out by library research by tracing secondary data in the form of primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials, with documentation methods and tools in the form of document studies. Data analysis used qualitative analysis. Based on the results of research and discussion, it shows that legal subjects in bankruptcy are legal subjects that are recognized in civil law, namely individuals and legal entities because Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations is a special regulation of Article 1131 and Article 1132 of the Law. - Civil Law Law, so that LPD which is a customary institution that does not meet the requirements as a legal entity is not a legal subject that can file an application for bankruptcy.
AKIBAT HUKUM PEMBUATAN PERJANJIAN PERKAWINAN SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG TERHADAP UTANG BERSAMA Ni Putu Ari Setyaningsih
Jurnal Yustitia Vol 14 No 2 (2020): Yustitia
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 telah memperluas makna perjanjian perkawinan sehingga perjanjian perkawinan tak lagi dimaknai hanya sebagai perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan (prenuptial agreement) tetapi juga bisa dibuat setelah perkawinan berlangsung (postnuptial agreement). Perjanjian perkawinan yang dilakukan setelah perkawinan berlangsung dapat mengatur mengenai pemisahan harta benda para pihak setelah perkawinan. Perubahan terhadap status harta benda dalam suatu perkawinan tidak hanya menimbulkan akibat bagi suami istri, namun juga bisa memberikan akibat terhadap peenuhan hak-hak pihak ketiga yang terkait. Hal ini menimbulkan permasalahan mengenai bagaimana akibat hukum pembuatan perjanjian Perkawinan setelah perkawinan berlangsung terhadap utang bersama. Penyusunan tulisan ini menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep hukum. Tulisan ini menyimpulkan bahwa Perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung mulai berlaku sejak perkawinan berlangsung, kecuali ditentukan lain. Apabila waktu mulai berlakunya perjanjian perkawinan pada saat perkawinan berlangsung dapat mengakibatkan kerugian bagi pihak ketiga yang memiliki piutang terhadap suami-istri karena pemisahan harta benda suami-istri dianggap terpisah sejak awal perkawinan, sehingga harta pihak yang satu tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada utang pihak lainnya. Sedangkan apabila dengan itikad baik para pihak mengatur bahwa perjanjian perkawinan berlaku setelah perjanjian perkawinan tersebut dibuat maka utang bersama akan tetap menjadi kewajiban bersama karena status harta bersama sebelum perjanjian perkawinan dibuat tidak berubah. Kata Kunci: Akibat Hukum, Perjanjian Perkawinan, Utang Bersama
Pengembangan Desa Wisata Darmasaba Melalui Perancangan Ekowisata Jalan Usaha Tani dan DAM Tanah Putih Made Mariada Rijasa; Ni Putu Silvi; I Gusti Agung Prabandari Tri Putri; Cokorda Istri Agung Vera Nindia Putri; Ni Putu Ari Setyaningsih
Aksiologiya: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Vol 7 No 2 (2023): Mei
Publisher : Universitas Muhammadiyah Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30651/aks.v7i2.16395

Abstract

Desa wisata sedang menjadi pengembangan yang sedang dilakukan oleh pemerintah daerah, termasuk Desa Darmasaba. Konsep sustainable architecture dan sustainable tourism mendasari perancangan ekowisata Jalan Usaha Tani (JUT) dan DAM Tanah Putih. Sustainable architecture mengarah pada penggunaan material ramah lingkungan sehingga mendukung ekowisata yang mengarah pada pelestarian lingkungan. Target utamanya adalah menarik wisatawan untuk datang ke Desa Darmasaba dan berdampak pada kesejahteraan masyarakat desa. Pemilihan JUT untuk dikembangkan karena adanya fungsi tambahan yang dapat dimanfaatkan dengan baik yakni sebagai sarana berolahraga. Beberapa tahapan yang dilakukan meliputi persiapan, observasi lapangan rencana pembangunan ekowisata, perancangan gambar, sosialisasi desain yang telah selesai, serta tahap berkelanjutan. Perancangan gambar oleh tim PkM memanfaatkan sejumlah aplikasi seperti Autocad, SketchUp, Photoshop dan Lumion. Hasil dari pengabdian berupa desain jalur jogging track dan area rekreasi terbuka hijau dengan mengedepankan aspek pembangunan berwawasan lingkungan, edukasi, serta ekonomi. Pada tahap sosialisasi, perwakilan masyarakat merasa senang apabila perancangan ekowisata dapat segera direalisasikan. Program berkelanjutan akan dilaksanakan pada periode mendatang saat desain ekowisata telah mendapatkan persetujuan pembangunan.
Implikasi Perubahan Undang-Undang Keolahragaan Terhadap Kecakapan Suporter Sebagai Subjek Hukum Dalam Pembuatan Perjanjian I Ketut Satria Wiradharma Sumertajaya; Ni Putu Ari Setyaningsih
Jurnal Ilmiah Raad Kertha Vol 6, No 2 (2023)
Publisher : Universitas Mahendradatta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47532/jirk.v6i2.923

Abstract

Tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisa bagaimana implikasi perubahan Undang-Undang Keolahragaan terhadap kecakapan suporter sebagai subjek hukum dalam pembuatan perjanjian. Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif karena fokus kajian berangkat dari kekaburan norma. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan undang-undang (Statute Approach) dan pendekatan konseptual (Conseptual Approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasca perubahan Undang-Undang Keolahragaan memberikan manfaat yang substansial terhadap penyelenggara kejuaraan olahraga salah satunya mengenai pengaturan suporter dalam Undang-Undang Keolahragaan. Keberadaan suporter dalam penyelenggara kejuaraan olahraga berkewajiban untuk mendaftar sebagai anggota organisasi atau badan hukum suporter olahraga. Suporter memiliki kecakapan sebagai subjek hukum dalam pembuatan perjanjian apabila suporter yang didirikan berbentuk badan hukum. Apabila suporter didirikan dalam bentuk organisasi, kecakapannya dalam membuat perjanjian ditentukan berdasarkan pada bentuk organisasi pada saat pendirian.
AKIBAT HUKUM PEMBUATAN PERJANJIAN PERKAWINAN SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG TERHADAP UTANG BERSAMA Ni Putu Ari Setyaningsih
Jurnal Yustitia Vol 14 No 2 (2020): Yustitia
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62279/yustitia.v14i2.499

Abstract

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 telah memperluas makna perjanjian perkawinan sehingga perjanjian perkawinan tak lagi dimaknai hanya sebagai perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan (prenuptial agreement) tetapi juga bisa dibuat setelah perkawinan berlangsung (postnuptial agreement). Perjanjian perkawinan yang dilakukan setelah perkawinan berlangsung dapat mengatur mengenai pemisahan harta benda para pihak setelah perkawinan. Perubahan terhadap status harta benda dalam suatu perkawinan tidak hanya menimbulkan akibat bagi suami istri, namun juga bisa memberikan akibat terhadap peenuhan hak-hak pihak ketiga yang terkait. Hal ini menimbulkan permasalahan mengenai bagaimana akibat hukum pembuatan perjanjian Perkawinan setelah perkawinan berlangsung terhadap utang bersama. Penyusunan tulisan ini menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep hukum. Tulisan ini menyimpulkan bahwa Perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung mulai berlaku sejak perkawinan berlangsung, kecuali ditentukan lain. Apabila waktu mulai berlakunya perjanjian perkawinan pada saat perkawinan berlangsung dapat mengakibatkan kerugian bagi pihak ketiga yang memiliki piutang terhadap suami-istri karena pemisahan harta benda suami-istri dianggap terpisah sejak awal perkawinan, sehingga harta pihak yang satu tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada utang pihak lainnya. Sedangkan apabila dengan itikad baik para pihak mengatur bahwa perjanjian perkawinan berlaku setelah perjanjian perkawinan tersebut dibuat maka utang bersama akan tetap menjadi kewajiban bersama karena status harta bersama sebelum perjanjian perkawinan dibuat tidak berubah. Kata Kunci: Akibat Hukum, Perjanjian Perkawinan, Utang Bersama