Perkenalan al-Ghazali dengan klaim-klaim metodolgis mutallimu, filosofis, Ta’limiyah dan sufi memberikan andil sebagai penyebab krisis yang bersifat epistemologis, karena pada dasarnya merupakan krisis mencari tempat yang tepat bagi daya-daya mengetahui (daya-daya kognitif) dalam skema total pengetahuan. Sebagai seorang filosof muslim, al-Ghazali selalu memetakan pemikirannya pada adanya kekuatan transendntal, dimana dia senantiasa percaya pada adanya superioritas wahyu kenabian dan intuisi intelektual atas akal, begitupun juga dalam epistemologinya, terlihat nuansa keilahiyahan yang begitu kental, tapi hal itu bukan berarti menutup pada hal-hal yang bersifat non-transendental, artinya dia meletakkan suatu pemahaman tentang hakekat ilmu dalam kesatuan teoritik yakni menjurus pada pemahaman ilmu sebagai ilmu Allah yang harus dituntut dan dikaji oleh setiap pribadi dalam upaya membawa dunia dan seisinya ke gerbang kemaslahatan. Hakekat ilmu menurut al-Ghazali secara psikologis adalah untuk mengubah mental umat Islam yang dikhotomik menjadi monokhotomi, sebab umat Islam telah lama terkungkung oleh pengaruh barat yang meniupkan adanya pemisahan intelektual, antara ilmu agama dan ilmu umum sebagai dua disiplin ilmu yang tidak bisa dipertemukan. Selain itu makna monokhotomik yang terkandung dalam hakekat ilmu versi al-Ghazali juga membawa dampak yang positif bagi umat Islam khususnya dalam memahami bahwa setiap ilmu berporos pada tujuan mencari keridhoan dan sebagai upayapengabdian kepada Allah.