Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

UJI POTENSI UMBI KIMPUL (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott.) SEBAGAI BAHAN PANGAN FUNGSIONAL ANTIULSER PADA MENCIT (Mus musculus L.) Triyani Yuliastuti; Marti Harini; Noor Soesanti Handajani; Tetri Widiyani
Metamorfosa: Journal of Biological Sciences Vol 3 No 1 (2016)
Publisher : Prodi Magister Ilmu Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/metamorfosa.2016.v03.i01.p06

Abstract

Cocoyam (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott.) tuber is usually consumed as carbohydrates source. Because of highly mineral and fiber contents, it is potential to develop as a functional food source. The mineral contents are potassium, phosphor, magnesium, iron, copper and sodium. Some minerals are well known able to neutralize pH of the gastric fluid. It is necessary to study cocoyam activity on the ulcer gastric. The aims of this study were to determine anti-ulcerogenic activity of cocoyam tuber by observing macroscopic stomach mucous structure on mice and measuring the gastric fluid pH. Twenty male mice aged 2-3 months were used in this study. They were classified in to 4 different treatment groups. Group I was control mice without gastric ulcer, group II, III, and IV were mice with gastric ulcer by using aspirin treatment. Group II,III, and IV were treated with different treatments then for 7 days. Group II was treated by aquadest (negative control group), group III by sucralfat (positive control group), and group IV by cocoyam tuber. In the last treatment day, mice were fasted for 24 hours and then sacrified to pick stomach up. Gastric fluid was collected and the pH was measured then. Stomach mucous structure was observed macroscopically. Data in the gastric fluid pH was analyzed by using one-way ANOVA (Analysis of Variance) and continued  HSD (Honest Significant Difference)-Tukey test in 5% significance degree. Degree of stomach mucous structure damage was analyzed descriptively and then it was scored based on number and diameter size of ulcers. Data on the ulcer score were analyzed by using Kruskal-Wallis test. The results showed that there was a significant difference (p<0.05) at the stomach fluid pH. Normal group was not significantly different to the sucralfat and cocoyam tuber group, nevertheless normal group was different significantly to the ulcer group. Based on the degree of stomach mucous structure damage, there was not significantly different (p>0,05) between cocoyam tuber group and aquadest group. Nevertheless, mice in the cocoyam tuber group had lower ulcer score than mice in the aquadest group. Therefore cocoyam tuber is safe consumed by the gastric ulcer mice. Cocoyam tuber is potential to develop as a functional food on gastric ulcer patient.
KEPADATAN TULANG METACARPAL SIMPANSE USIA 0 SAMPAI 44 TAHUN Tetri Widiyani; Bambang Suryobroto; Yuzuru Hamada
Proceeding Biology Education Conference: Biology, Science, Enviromental, and Learning Vol 9, No 1 (2012): Prosiding Seminar Nasional IX Biologi
Publisher : Universitas Sebelas Maret

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK   Sifat fisik tulang merupakan indikator yang baik untuk studi pertumbuhan dan penuaan. Tulang adalah jaringan dinamis karena adanya proses modeling dan remodeling. Tulang berubah tidak hanya pada ukuran dan bentuknya, tetapi juga kepadatannya yang disebabkan  karena perubahan kandungan mineralnya. Osteoporosis atau kekeroposan tulang merupakan salah satu tanda umum penuaaan manusia. Osteoporosis di kalangan anthropoid masih belum diketahui. Dalam penelitian ini kami melakukan pengukuran kepadatan korteks tulang metacarpal simpanse (Pan troglodytes) usia 0 sampai 44 tahun berdasarkan radiografi. Pengukuran dilakukan dengan metode mikro-densitometri pada 68 simpanse betina dan 49 simpanse jantan. Kami menemukan bahwa kepadatan tulang meningkat pesat sampai usia sekitar 10 tahun. Pada simpanse jantan kepadatan tulangnya terus meningkat sampai usia 44 tahun, sedangkan pada simpanse betina kepadatan tulangnya menurun mulai usia 20 tahun. Penurunan kepadatan tulang simpanse betina dapat disebabkan karena kalsium tulang digunakan pada masa kehamilan dan menyusui. Namun demikian, simpanse betina diketahui tidak mengalami menopause. Jadi tidak seperti wanita, kejadian osteoporosis pada simpanse betina bukanlah akibat dari menopause. Kemungkinan hal ini berkaitan dengan berkurangnya kadar estrogen pada simpanse lanjut usia.   Kata Kunci: osteoporosis, kepadatan tulang, metakarpal, simpanse
Pengolahan Kotoran Gajah Taman Satwa Taru Jurug Surakarta Menjadi Pupuk Organik Tetri Widiyani; Shanti Listyawati; Elisa Herawati; Agung Budiharjo; Okid Parama Astirin
Prosiding Konferensi Nasional Pengabdian Kepada Masyarakat dan Corporate Social Responsibility (PKM-CSR) Vol 5 (2022): PERAN PERGURUAN TINGGI DAN DUNIA USAHA DALAM AKSELERASI PEMULIHAN DAMPAK PANDEMI
Publisher : Asosiasi Sinergi Pengabdi dan Pemberdaya Indonesia (ASPPI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37695/pkmcsr.v5i0.1554

Abstract

Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) adalah suatu kebun binatang yang berlokasi di kota Surakarta yang secara spesifik membidangi konservasi flora dan fauna, edukasi, dan rekreasi. TSTJ ditopang oleh 67 spesies satwa yang terdiri dari 331 ekor satwa serta ribuan pohon. Dengan keberadaan satwa, dihasilkan limbah berupa kotoran hewan (feses). Feses TSTJ belum dimanfaatkan secara optimal dan berpotensi mencemari lingkungan terutama dari feses gajah. Oleh karena itu pengadian ini bertujuan melakukan pengolahan feses gajah TSTJ menjadi pupuk organik untuk mengatasi pencemaran lingkungan. Metode pengolahan feses gajah menjadi pupuk organik dilakukan dengan cara fermentasi menggunakan bioaktivator EM4. Feses gajah yang digunakan adalah feses yang telah kering. Feses dicampur sekam padi dan kapur tohor dengan perbandingan 5:2:1. EM4 dilarutkan dalam air dan molase kemudian disemprotkan pada campuran bahan pupuk sampai lembab dan dimasukkan dalam wadah tertutup. Proses pembuatan pupuk dilakukan selama 3 bulan. Di akhir kegiatan diselenggarakan acara FGD (forum group discussion) untuk mensosialisasikan teknologi pengolahan feses ini kepada perwakilan pengelola TSTJ. Hasil yang diperoleh adalah pupuk organik padat dengan konsistensi kasar berserabut berwarna hitam kecoklatan dengan kondisi lembab dan pH cenderung asam (5,6). Dari kegiatan FGD diperoleh beberapa masukan sebagai bahan evaluasi dalam proses pengolahan feses dan keberlanjutan program ini.