Claim Missing Document
Check
Articles

Pengembangan Ilmu Hukum Berbasis Religiuos Science: Dekonstruksi Filsosofis Pemikiran Hukum Positivistik Thontowi, Jawahir
Pandecta Vol 6, No 2 (2011)
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peran agama dalam pembangunan hukum ditengah berbagai krisis keadilan di tengah kehidupan masyarakat dewasa ini. Pendekatan kajian yang dilakukan adalah pendekatan konsep. Data yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber dari kajian-kajian akademik dibidang ilmu hukum. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa agama baik sebagai pedoman hidup, ideologi negara dan/atau budaya memiliki justifikasi yang kuat sebagai alternatif sumber dalam pembangunan ilmu hukum ke depan. Nilai-nilai universal agama sangat dekat dengan keadilan subtantif yang selama ini tidak banyak mendapatkan proporsi dalam praktek hukum yang berbasis pada tradisi positivistik. Dalam tradisi itu keadilan mekanis yang direfleksikan dalam putusan hakim dengan merujuk kepada bunyi perundang-undangan, dalam banyak kasus telah mencederai rasa keadilan masyarakat. Oleh sebab itu, pendekatan agama yang tidak saja memperhatikan dimensi akal manusia yang bersifat terbatas, juga menyandarkan kepada sebagai wahyu sebagai rujukan yang bersifat wahyu. Dalam konteks ini, Pancasila yang telah merekam berbagai jejak pemikiran tersebut sangat penting diperkuat sebagai landasan kompromis dalam pembangunan hukum.This study aims to examine the role of religion in the development of the law amid the various crises of justice in public life today. The study approach is concepts. The data used is secondary data sourced from academic studies in the field of legal science. The results of this study indicate that religion as a way of life, the ideology of the state and / or culture has a strong justification for the development of alternative sources of law in the future. Universal values ​​of religion are very close to substantive justice that has not been much to get the proportions in the practice of law based on the positivistic tradition. In the tradition of that justice which is reflected in the mechanical verdict with reference to the sound of the legislation, in many cases people have been injured sense of justice. Therefore, the approach to religion that does not take into account the dimensions of the human mind is limited, also rely on the revelation that is revealed as a reference. In this context, Pancasila has recorded several tracks of thought is very important as a basis for compromise reinforced the development of the law.
Perlakuan Pemerintah Myanmar terhadap Minoritas Muslim Rohingya Perspektif Sejarah dan Hukum Internasional Thontowi, Jawahir
Pandecta Vol 8, No 1 (2013)
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini didasarkan pada permasalahan mengapa minoritas Muslim Rohingya diabaikan hak-hak dasarnya, dan upaya apakah yang harus dilakukan secara hukum internasional agar genosida dan kebijakan diskriminatif dapat dicegah di Myanmar. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kebijakan politik dan hukum Pemerintahan Myanmar telah melanggar ketentuan Konvensi tentang diskriminasi, bukan saja dibuktikan melalui fakta minoritas Muslim Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan, tetapi juga aparat keamanan negara dan penduduk mayoritas Budha telah melakukan genosida dan massacre, serta pengusiran lainnya. Untuk mencegah kelangsungan praktek kejahatan genosida tersebut di Myanmar, bantuan kemanusiaan dan intervensi kemanusiaan dan penghukuman secara diplomatis oleh negara-negara Asean sangat diperlukan. This research is based on the following problematics, why Moslem minorities of Rohingya are neglected their basic rights, and what efforts must be made in according to international law in order that genocide and discrimination do not occur again in Myanmar government. This research has concluded that The Myanmar government has violated international law such as violent action and expulsion continuesly take place against Rohingya minority Moslem. It is important to urge for any state and political entity to take necessary action. In order to stop violent action occurs in Rohingya’s humanitarian intervention is important to take into account. But because of an uneasy decission to be made it is important to propose an independent fact finding team, and need countries to impose diplomatic sanctions.
HAM di Negara-Negara Muslim dan Realitas Perang Melawan Teroris di Indonesia Thontowi, Jawahir
Pandecta Vol 8, No 2 (2013)
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran Negara-negara Muslim dalam merespon permasalahan yang timbul dalam Konvensi Internasional tentang Hak Asasi Manusia (HAM), serta bagaimana Pemerintah Indonesia menyelesaikan permasalahan terkait tindak pidana terorisme. Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas Negara-negara Muslim telah meratifikasi instrumen hukum internasional tentang HAM, termasuk juga Konvensi tentang Terorisme; meskipun terdapat kontroversial antara pemahaman pandangan Barat dengan ajaran Islam terkait masalah HAM, Negara-negara Muslim telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang HAM dan Konvensi tentang Terorisme, sebagai bagian dari sistem hukum nasionalnya; adapun tindakan Pemerintah Indonesia, dalam memerangi terorisme sebagai kejahatan luar biasa sangat efektif dalam mengurangi penyebaran paham terorisme. Akan tetapi, tindakan Detasemen Khusus 88 anti teror Kepolisian Republik Indonesia, telah menyisakan permasalahan terkait dengan pelanggaran HAM korban dan juga keluarganya. This study aims to analyze the role of the Muslim Countries in responding to the problems that arise in the International Convention on Human Rights, and how the Indonesian government to solve the problems related to terrorism. This is a library research. Results of this study showed that the majority of Muslim Countries have ratified international legal instruments on human rights, including the Convention on Terrorism; despite controversial among Western view of understanding the human rights issues related to Islamic teachings, Muslim Countries have ratified the International Convention on Human Rights and the Convention on Terrorism, as part of the national legal system; while the Indonesian government action, in the fight against terrorism as an extraordinary crime is very effective in reducing the spread of terrorism. However, the actions of Special Detachment 88 anti-terror Indonesian National Police, has left the problems associated with human rights violations victims and their families.
HAK KONSTITUSIONAL PERDA SYARIAT ISLAM Thontowi, Jawahir
Al-Mawarid Jurnal Hukum Islam Vol 16 (2006): Penegakan Syariat Islam di Indonesia: Prospek, Peluang dan Tantangan
Publisher : Islamic University of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The pros and conts toward local acts based on Islamic Shari’ah either from moslem or non moslem of Indonesian. According to the writer of this article that struggle of Indonesian moslem to implement Islamic Shari’ah in Indonesia is inavoidable. In this connection, Indonesian gevernment and Indonesia people do not have rights to refuse it, even though the government have duty to protect toward the struggle to apply Islamic Shari’ah. Because it becomes the fundamental rights and the freedom of Indonesian moslem to realize Islamic Shari’ah, and that is protected by Indonesian constitution. Kata kunci: syariat Islam, perjuangan, konstitusi, dan hak.
Pengaturan Masyarakat Hukum Adat dan Implementasi Perlindungan Hak-hak Tradisionalnya Thontowi, Jawahir
Pandecta: Research Law Journal Vol 10, No 1 (2015): Pandecta June 2015
Publisher : Semarang State University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/pandecta.v10i1.4190

Abstract

Masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki perasaan yang sama dalam kelompok, tinggal di satu tempat karena genealogi atau faktor geologi. Mereka memiliki hukum adat mereka sendiri yang mengatur tentang hak dan kewajiban pada barang-barang material dan immateri. Mereka juga memiliki lembaga sosial, kepemimpinan adat, dan peradilan adat yang diakui oleh kelompok. Perlindungan pada masyarakat adat yang diatur dalam Pasal 18B (2) dan Pasal 28I ayat (3) dalam Konstitusi Indonesia 1945 dan di beberapa tata hukum Indonesia tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena sangat perlu peraturan operasional. Hal ini dikarenakan amandemen UUD 1945 saat itu sarat dengan Kepentingan politik pada saat itu, sehingga kata-kata pembangunan Pasal 18B ayat (2) ambivalen dalam arti. Dalam satu sisi, negara mengakui dan menghargai hak-hak masyarakat adat, namun di sisi lain mereka dituntut dengan persyaratan yang sulit dalam mewujudkan hak-hak mereka.AbstractIndigenous people are a group of people who have the same feeling in a group, live in one place because of genealogist or geologist factor. They have their own customary law that arrange about right and duty on removable good, material good, and immaterial good. They also have their own social institution, customary leadership, and customary judicature that avowed by the group. Protection on indigenous people was arranged in Article 18B point (2) and Article 28I point (3) in Indonesian Constitution 1945 and in the some Indonesian Ordinances. But the protection on indigenous people can’t implemented well because very need to operational regulations. Political interests at the time while amendment happens make the words construction of Article 18B point (2) ambivalent in meaning. In one side, the state respects and ensures indigenous people, but in the other side they charged with difficult requirements.
Pengaturan Masyarakat Hukum Adat dan Implementasi Perlindungan Hak-hak Tradisionalnya Thontowi, Jawahir
Pandecta Research Law Journal Vol 10, No 1 (2015): June
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/pandecta.v10i1.4190

Abstract

Masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki perasaan yang sama dalam kelompok, tinggal di satu tempat karena genealogi atau faktor geologi. Mereka memiliki hukum adat mereka sendiri yang mengatur tentang hak dan kewajiban pada barang-barang material dan immateri. Mereka juga memiliki lembaga sosial, kepemimpinan adat, dan peradilan adat yang diakui oleh kelompok. Perlindungan pada masyarakat adat yang diatur dalam Pasal 18B (2) dan Pasal 28I ayat (3) dalam Konstitusi Indonesia 1945 dan di beberapa tata hukum Indonesia tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena sangat perlu peraturan operasional. Hal ini dikarenakan amandemen UUD 1945 saat itu sarat dengan Kepentingan politik pada saat itu, sehingga kata-kata pembangunan Pasal 18B ayat (2) ambivalen dalam arti. Dalam satu sisi, negara mengakui dan menghargai hak-hak masyarakat adat, namun di sisi lain mereka dituntut dengan persyaratan yang sulit dalam mewujudkan hak-hak mereka.AbstractIndigenous people are a group of people who have the same feeling in a group, live in one place because of genealogist or geologist factor. They have their own customary law that arrange about right and duty on removable good, material good, and immaterial good. They also have their own social institution, customary leadership, and customary judicature that avowed by the group. Protection on indigenous people was arranged in Article 18B point (2) and Article 28I point (3) in Indonesian Constitution 1945 and in the some Indonesian Ordinances. But the protection on indigenous people can’t implemented well because very need to operational regulations. Political interests at the time while amendment happens make the words construction of Article 18B point (2) ambivalent in meaning. In one side, the state respects and ensures indigenous people, but in the other side they charged with difficult requirements.
Pembakaran dan Penenggelaman Kapal Nelayan Asing dalam Perspektif Hukum Laut Nasional dan Internasional Thontowi, Jawahir
Pandecta Research Law Journal Vol 12, No 2 (2017): December
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/pandecta.v12i2.11335

Abstract

Studi ini membahas tentang tiga hal terkait dengan kedaulatan terhadap wilayah laut, yaitu: Apa makna kedaulatan negara atas wilayah; bagaimana Pemerintah Indonesia menegakkan sanksi pembakaran dan penanggulangan terhadap kapal nelayan asing yang melakukan pelanggaran di wilayah laut Indonesia; dan apakah pembakaran dan penenggelaman kapal asing tersebut bertentangan dengan hukum laut internasional 1982. Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah yuridis-normatif melalui pendekatan komparatif dengan praktek Australia dalam menangani nelayan Indonesia yang melanggar wilayah laut Australia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa luas wilayah laut Indonesia yang menempati posisi kedua setelah Kanada, membuat Indonesia sangat memperhatikan wilayah teritorial lautnya—yang tidak saja memiliki makna penting terhadap kedaulatan negara, tetapi juga terhadap sumber daya laut yang terkandung di dalamnya. Oleh sebab itu, dalam kasus pembakaran dan penenggelaman kapal asing yang melakukan pelanggaran terhadap wilayah laut Indonesia, Pemerintah meyakini bahwa hal itu merupakan bagian dari penegakan kedaulatan negara dan tidak bertentangan dengan hukum laut Internasional. This study discusses three matters related to sovereignty over sea territory, namely: what is the meaning of state sovereignty over territory; how the Government of Indonesia enforces burning and ship sinking against foreign fishing vessels committing violations in the Indonesian sea territory; and whether the burning and sinking of foreign ships contradicted to United Nation on the Law of the Sea (UNCLOS 1982). The research method used in this study is juridical-normative through a comparative approach to Australian practice in handling Indonesian fishermen who violate Australian sea territory. The results of this study indicate that the area of Indonesian sea that occupies the second position after Canada, make Indonesia very concerned the sea territory-which not only has significance to the state sovereignty, but also to the marine resources contained therein. Therefore, in the case of burning and shinking of foreign vessels violating Indonesia’s sea territories, the Government believes that it is part of the enforcement of state sovereignty and is not contrary to the UNCLOS 1982.
Perlakuan Pemerintah Myanmar terhadap Minoritas Muslim Rohingya Perspektif Sejarah dan Hukum Internasional Thontowi, Jawahir
Pandecta Research Law Journal Vol 8, No 1 (2013)
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/pandecta.v8i1.2359

Abstract

Penelitian ini didasarkan pada permasalahan mengapa minoritas Muslim Rohingya diabaikan hak-hak dasarnya, dan upaya apakah yang harus dilakukan secara hukum internasional agar genosida dan kebijakan diskriminatif dapat dicegah di Myanmar. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kebijakan politik dan hukum Pemerintahan Myanmar telah melanggar ketentuan Konvensi tentang diskriminasi, bukan saja dibuktikan melalui fakta minoritas Muslim Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan, tetapi juga aparat keamanan negara dan penduduk mayoritas Budha telah melakukan genosida dan massacre, serta pengusiran lainnya. Untuk mencegah kelangsungan praktek kejahatan genosida tersebut di Myanmar, bantuan kemanusiaan dan intervensi kemanusiaan dan penghukuman secara diplomatis oleh negara-negara Asean sangat diperlukan. This research is based on the following problematics, why Moslem minorities of Rohingya are neglected their basic rights, and what efforts must be made in according to international law in order that genocide and discrimination do not occur again in Myanmar government. This research has concluded that The Myanmar government has violated international law such as violent action and expulsion continuesly take place against Rohingya minority Moslem. It is important to urge for any state and political entity to take necessary action. In order to stop violent action occurs in Rohingya’s humanitarian intervention is important to take into account. But because of an uneasy decission to be made it is important to propose an independent fact finding team, and need countries to impose diplomatic sanctions.
HAM di Negara-Negara Muslim dan Realitas Perang Melawan Teroris di Indonesia Thontowi, Jawahir
Pandecta Research Law Journal Vol 8, No 2 (2013)
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/pandecta.v8i2.2680

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran Negara-negara Muslim dalam merespon permasalahan yang timbul dalam Konvensi Internasional tentang Hak Asasi Manusia (HAM), serta bagaimana Pemerintah Indonesia menyelesaikan permasalahan terkait tindak pidana terorisme. Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas Negara-negara Muslim telah meratifikasi instrumen hukum internasional tentang HAM, termasuk juga Konvensi tentang Terorisme; meskipun terdapat kontroversial antara pemahaman pandangan Barat dengan ajaran Islam terkait masalah HAM, Negara-negara Muslim telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang HAM dan Konvensi tentang Terorisme, sebagai bagian dari sistem hukum nasionalnya; adapun tindakan Pemerintah Indonesia, dalam memerangi terorisme sebagai kejahatan luar biasa sangat efektif dalam mengurangi penyebaran paham terorisme. Akan tetapi, tindakan Detasemen Khusus 88 anti teror Kepolisian Republik Indonesia, telah menyisakan permasalahan terkait dengan pelanggaran HAM korban dan juga keluarganya. This study aims to analyze the role of the Muslim Countries in responding to the problems that arise in the International Convention on Human Rights, and how the Indonesian government to solve the problems related to terrorism. This is a library research. Results of this study showed that the majority of Muslim Countries have ratified international legal instruments on human rights, including the Convention on Terrorism; despite controversial among Western view of understanding the human rights issues related to Islamic teachings, Muslim Countries have ratified the International Convention on Human Rights and the Convention on Terrorism, as part of the national legal system; while the Indonesian government action, in the fight against terrorism as an extraordinary crime is very effective in reducing the spread of terrorism. However, the actions of Special Detachment 88 anti-terror Indonesian National Police, has left the problems associated with human rights violations victims and their families.
Pengembangan Ilmu Hukum Berbasis Religiuos Science: Dekonstruksi Filsosofis Pemikiran Hukum Positivistik Thontowi, Jawahir
Pandecta Research Law Journal Vol 6, No 2 (2011)
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/pandecta.v6i2.2338

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peran agama dalam pembangunan hukum ditengah berbagai krisis keadilan di tengah kehidupan masyarakat dewasa ini. Pendekatan kajian yang dilakukan adalah pendekatan konsep. Data yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber dari kajian-kajian akademik dibidang ilmu hukum. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa agama baik sebagai pedoman hidup, ideologi negara dan/atau budaya memiliki justifikasi yang kuat sebagai alternatif sumber dalam pembangunan ilmu hukum ke depan. Nilai-nilai universal agama sangat dekat dengan keadilan subtantif yang selama ini tidak banyak mendapatkan proporsi dalam praktek hukum yang berbasis pada tradisi positivistik. Dalam tradisi itu keadilan mekanis yang direfleksikan dalam putusan hakim dengan merujuk kepada bunyi perundang-undangan, dalam banyak kasus telah mencederai rasa keadilan masyarakat. Oleh sebab itu, pendekatan agama yang tidak saja memperhatikan dimensi akal manusia yang bersifat terbatas, juga menyandarkan kepada sebagai wahyu sebagai rujukan yang bersifat wahyu. Dalam konteks ini, Pancasila yang telah merekam berbagai jejak pemikiran tersebut sangat penting diperkuat sebagai landasan kompromis dalam pembangunan hukum.This study aims to examine the role of religion in the development of the law amid the various crises of justice in public life today. The study approach is concepts. The data used is secondary data sourced from academic studies in the field of legal science. The results of this study indicate that religion as a way of life, the ideology of the state and / or culture has a strong justification for the development of alternative sources of law in the future. Universal values ​​of religion are very close to substantive justice that has not been much to get the proportions in the practice of law based on the positivistic tradition. In the tradition of that justice which is reflected in the mechanical verdict with reference to the sound of the legislation, in many cases people have been injured sense of justice. Therefore, the approach to religion that does not take into account the dimensions of the human mind is limited, also rely on the revelation that is revealed as a reference. In this context, Pancasila has recorded several tracks of thought is very important as a basis for compromise reinforced the development of the law.