ABSTRAKPencemaran udara di Kota Pontianak sebagian besar disebabkan oleh pembukaan lahan yang di lakukan oleh masyarakat untuk membuka lahan pertanian baru, perumahan serta industri. Aktivitas ini selain menyebabkan dari pencemaran udara juga mengakibatkan munculnya Titik Panas (Hotspot) dari kebakaran hutan yang terjadi paling banyak pada musim kemarau. Sebagian besar kebakaran hutan terjadi pada lahan gambut yang berpotensi menghasilkan kabut asap. Kabut asap ini menyebabkan adanya perubahan kualitas udara. Untuk mengetahui adanya hubungan antara memburuknya kualitas udara akibat kebakaran hutan maka perlu dilakukan penelitian untuk melihat korelasi antara ISPU dengan jumlah titik panas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah titik panas (Hotspot) tahun 2010 – 2015 di Kota Pontianak, mengetahui konsentrasi parameter kualitas udara () dari data Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU)dan menganalisa hubungan antara jumlah titik panas (Hotspot) dengan konsentrasi parameter () dari data Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di Kota Pontianak tahun 2010 – 2015. Data yang digunakan adalah data titik panas (Hotspot) yang didapat dari Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat dan nilai dari data Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) yang di dapat dari Dinas Badan Lingkungan Hidup Kota Pontianak dengan menggunakan alat Fix Station AQMS. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis statistik korelasi terhadap dua data tersebut. Hasil penelitian menunjukan bahwa pada rentang tahun 2010 hingga 2015, jumlah titik panas (Hotspot) tertinggi terjadi pada tahun 2014 pada bulan Februari dengan jumlah 37 titik panas (Hotspot). Nilai Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) tertinggi terjadi pada tahun 2010 pada Bulan Oktober dengan jumlah rata-rata 256,38 ug/m3. Sementara titik panas (Hotspot) terendah terjadi pada tahun 2010 pada Bulan Januari dengan jumlah 2 titik panas (Hotspot), sedangkan nilai Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) terendah terjadi pada tahun 2013 pada Bulan Maret dengan jumlah rata-rata 121,1 ug/m3. Hal ini terjadi karena titik panas (Hotspot) yang tertangkap oleh satelit NOAA bukan hanya berasal dari kebakaran hutan tetapi juga dari sumber lain sepeti asap transportasi, pabrik maupun pembakaran untuk buka lahan pertanian dan perumahan yang baru. Satelit NOAA dapat menangkap titik yang lebih panas dari lingkungan sekitarnya.Untuk mengetahui kekuatan hubungan antara kedua variabel tersebut, dilakukan analisa korelasi dengan program SPSS. Pada uji korelasi antara jumlah Hotspot dengan nilai pada tahun 2014, didapatkan nilai signifikan 0,028 (kurang dari 0,05), yang berarti ada hubungan secara signifikan antara jumlah hotspot dengan nilai PM10.Pada tahun 2010, didapatkan nilai signifikan 0,552 (lebih dari 0,05) yang artinya tidak ada hubungan secara signifikan antara jumlah hotspot dengan nilai PM10. Kata Kunci : Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU), kualitas udara,titik panas (hotspot)