Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

Penerapan Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan dalam Kumulasi Cerai Gugat dan Harta Bersama di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Iskandar, Mizaj; Agustina, Liza
Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Vol 3, No 1 (2019)
Publisher : Islamic Family Law Department, Sharia and Law Faculty, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (352.763 KB) | DOI: 10.22373/sjhk.v3i1.4403

Abstract

Pengadilan Agama tidak dapat dipisahkan dengan asas sederhana, cepat dan biaya ringan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dalam penyelesaian suatu perkara. Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan ini diatur dalam pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, dan pada dasarnya berasal dari ketentuan pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Penggabungan gugatan terhadap beberapa masalah hukum dalam surat gugatan tidak dilarang oleh hukum acara perdata. Boleh saja digabungkan dalam satu gugatan asalkan ada hubungan erat atau koneksitas satu sama lain. Namun penyelesaian terhadap kumulasi cerai gugat dan harta bersama yang terjadi di Mahkamah Syar’iyah dalam praktiknya bertolak belakang dengan tujuan pembentukan kumulasi dan menjadi terhambatnya asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan tersebut. Salah satunya terletak pada pihak yang menyulitkan dalam pemeriksaan dikarenakan salah satu pihak yang tidak hadir. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan asas sederhana, cepat dan biaya ringan dalam cerai gugat dan harta bersama dan untuk mengetahui prespektif Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh terhadap kumulasi tuntutan. Metode pengumpulan data yang penulis gunakan adalah metode penelitian kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum penerapan asas sederhana cepat dan biaya ringan sudah diterapkan di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh. Namun belum dapat berjalan dengan sempurna. Terlebih dalam perkara kumulasi cerai gugat dan harta bersama. Perspektif hakim tentang perkara ini mengatakan bahwa kumulasi tuntutan dalam perkaracerai gugat dan harta bersama mereka menganjurkan untuk memisahkan perkara tersebut dengan tujuan untuk memudahkan jalannya persidangan serta tidak merugikan para pihak.
Al-Qayyimu At-Tarbawi Fii Libasi Al-Marati Wa Zayyanatuha Wa Atsaruha Fi Syakshiyyati Al-Marati Mizaj Iskandar Usman
INTERNATIONAL JOURNAL OF CHILD AND GENDER STUDIES Vol 1, No 1 (2015)
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/equality.v1i1.784

Abstract

شمل نظام الإسلام التربوي جميع أنشطة الإنسان الفكرية والسلوكية بما يحقق مصلحة الفرد في ذاته، ويضمن للأمة كلها سلامتها وترابطها، بما يعين الجميع في المجتمع المسلم على القيام بواجب الاستخلاق في الأرض ومن ثم التحقق بالعبودية الخلصة لله تعالى. وتأتي قضية اللباس والزينة بإعتبارها جزئية من الجزئيات المكونة لنظام الإسلام، وخاصية من خصوصيات الشخصية المسلمة التي تحمل في طبيعتها قدرا واضحا من التميز والخصوصية التي تظهر بوضوح في ملامبس المسلمات وتتجلى في أساليب تأنقهن وتجملهن. وقد توصل الباحث إلى نتائج كان من أهما شمول منهج الإسلام التربوي لقضية اللباس والزينة عند المرأة وضبطه لهما بإحكام كما وضح الباحث عمق الحاجة في طبيعة المرأة تجاه اللباس والزينة، مما قد يسوقها إلى شيء من الإفراط عند إشباعها لهذه الحاجة الفطرية، كما أن هذا الميل الفطري كثيرا ما يكون وسيلة استغلال للمرأة من دور الأزياء الأجنبية في نوع اللباس والتأنق مما قد يخرج بالمرأة المسلمة عند الاعتدال
Dayah Darussalam Network and Dayah Awakening in Aceh Mizaj Mizaj
Budapest International Research and Critics Institute (BIRCI-Journal): Humanities and Social Sciences Vol 1, No 3 (2018): Budapest International Research and Critics Institute October
Publisher : Budapest International Research and Critics University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33258/birci.v1i3.27

Abstract

As the oldest educational institution in Southeast Asia, dayah has not received wide attention from researchers at international, national and even local levels. This paper was carried out to see the revival of Dayah in Aceh through the spread of the Dayah Darussalam network. Previously the dayah had passed the phase. First, the initial phase. This phase is marked by the establishment of Dayah Zawiyah Cot Kala in the 10th century AD. Second, the golden phase. This phase occurs around the 16-18th century. This golden phase was marked by the establishment of Dayah Manyang Baiturrahman . Third, the phase of decline. This phase began since the Dutch launched their aggression in Aceh in 1873. The phase of the decline of the dayah is marked by two things: (1) the dayah scholars split their focus between conducting educational activities and physical resistance to expel the Dutch colonizers; (2) the dayah curriculum at that time began to be limited only to religious studies. And finally the phase of the Dayah awakening marked by the spread of the Dayah Darussalam network. This can be seen from the four generations who have studied in the Dayah Darussalam. The four generations formed the Dayah Darussalam network by establishing a dayah after they finished learning in the Dayah Darussalam.
PENERAPAN SANKSI TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING DI KAWASAN HUTAN LINDUNG DITINJAU DARI UU N0. 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN Ali Abu Bakar; Mizaj Iskandar; Reza Maulana
PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH Vol 3 No 1 (2018)
Publisher : LKKI Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2280.657 KB) | DOI: 10.22373/petita.v3i1.37

Abstract

Paya Rebol protected forest serves as the buffer system of water springs source for the communities in several sub-districts around the forest, such as Bener Kelipah, Bandar and Syah main sub-districts. Unfortunately, illegal activity of converting the protected forest to horticultural agriculture (plant cultivation) still occurs to date. The research used was a descriptive-analytical method with an empirical juridical approach, aimed to examine the law in the real sense and investigate how the law performs in the community. The results showed that supervision conducted by the Aceh Department of Environment and Forestry has not been effective. Hence, illegal logging still occurs due to the economic needs, the lack of forest supervisory personnel, the customs of indigenous peoples, and the unclear boundaries of forest areas. Suggestions for the related authorities are to combine and maximize the preventive and repressive efforts, and early detection, to suppress the cases of encroachment and destruction in the Paya Rebol protected forest area. Abstrak: Hutan lindung Paya Rebol merupakan kawasan hutan yang menjadi sistem penyangga sumber mata air bagi masyarakat di beberapa kecamatan yang berada di sekitar kawasan hutan, seperti kecamatan Bener Kelipah, Bandar dan Syah utama, kegiatan perambahan dan pengrusakan hutan (illegal logging) dengan merubah dan mengalihfungsikan hutan lindung menjadi lahan pertanian hortikultura (budidaya tanaman) secara tidak sah, sampai saat ini masih marak terjadi di kawasan hutan lindung Paya Rebol walaupun sebelumnya Dinas lingkungan Hidup dan kehutanan Aceh bekerja sama dengan pihak kepolisian telah menindak lanjuti kasus perambahan di hutan lindung tersebut, yang terbukti melanggar ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.Yang menjadi fokus permasalahan adalah apa faktor penyebab, masih maraknya kegiatan illegal logging yang mengalih fungsikan hutan lindung, bagaimana modus operandi dan vevendi terjadinya kegiatan illegal logging, bagaimana sistem penerapan sanksi tindak pidana illegal logging yang terjadi di kawasan hutan lindung Paya Rebol, bagaimanakah upaya pencegahan dan penanggulangan terjadinya tindak pidana illegal logging di kawasan hutan lindung Paya Rebol. Metode penelitian yang digunakan adalah Metode Diskriptif analitis dengan pendekatan Yuridis empiris, yang bertujuan untuk melihat hukum dalam arti nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum dalam lingkungan masyarakat serta mengetahui bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap kasus illegal logging tersebut. Hasil penelitian menujukan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh Dinas lingkungan Hidup dan kehutanan Aceh belum efektif sehingga tindak pidana illegal logging masih terjadi yang disebabkan oleh kebutuhan ekonomi, kurangnya Personel aparat pengawas hutan, kebiasaan masyarakat adat, ketidak jelasan tapal batas kawasan hutan. Saran yang direkomendasikan hendakanya pihak pejabat terkait dapat mengkombinasikan dan memaksimalkan upaya-upaya preventif,upaya represif dan deteksi dini, yang diharapkan dapat terus menekan terjadinya kasus perambahan dan perusakan pada kawasan hutan lindung Paya Rebol. Kata kunci: Tindak pidana, Illegal logging, Hutan lindung, Paya Rebol
AUTHORITY CONFLICT OF ACEH’S QANUN REVIEW BETWEEN THE MINISTRY OF HOME AFFAIRS AND THE SUPREME COURT Mizaj Iskandar Usman
al-Afkar, Journal For Islamic Studies Vol. 4, No.2, July 2021
Publisher : Fakultas Agama Islam Universitas Wiralodra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (685.46 KB) | DOI: 10.31943/afkarjournal.v4i2.192

Abstract

This study aims to understand the conflict of authority in reviewing Aceh's Qanun between the Ministry of Home Affairs and the Supreme Court. As a special autonomous province, Aceh is the only region given the authority to formally implement sharia law. These status was legitimized by the three national laws, namely the Law of Aceh as Special Region (No. 44/1999), which was strengthened by the Law of Special Autonomy of the Province of Nanggroe Aceh Darussalam (No. 18/2001), and the Law of the Governing of Aceh (LOGA, No. 14/2006). To regulate the Aceh’s privileges and sharia’s implementation, the Aceh Government is allowed to issue a regional regulation called as a Qanun. LOGA orders the authorities to review and annul the Aceh’s Qanun. The Qanuns that are against the public interest and higher laws are examined through an executive review by the Ministry of Home Affairs. Meanwhile, the qanuns that regulate the implementation of sharia are evaluated through a judicial review by the Supreme Court. However, the Central Government regards the Qanun equal to the regional regulations in other provinces. This has led to the neglect of the privilege of Qanun as a special rule in realizing Aceh's privileges, particularly in the implementation of sharia. As such, the central government can delegate all authority to the ministry of Home Affairs in order to review and annul the Aceh’s Qanuns, referring to Law no. 5/2015 on Regional Government. As a result, it is found that there are 65 Qanuns that have been recently canceled by the Ministry of Home Affairs through an executive review mechanism.
NALAR KONSTITUSI DALAM WACANA REFORMULASI GBHN Mizaj Iskandar
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 1, No 1 (2016)
Publisher : Law Department, Sharia and Law Faculty.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/justisia.v1i1.2561

Abstract

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) hilang setelah masa reformasi 1998 silam. Namun kini GBHN mulai dibicarakan kembali. GBHN yang di dalamnya tertera aturan-aturan jalannya pembangunan negara yang harus berlandaskan kepada UUD 1945 sebagai tempat tertulisnya tujuan atau cita –cita negara Indonesia. GBHN ini adalah visi dan misi tertinggi kedua setelah UUD 1945 dalam jalannya pembangunan nasional. Dalam perjalanannya berbagai pihak mulai berpikir untuk menghidupkan kembali GBHN sebagai panduan untuk kepala negara (Presiden) dalam menjalankan roda pemerintahan. Presiden tidak perlu membuat program baru, karena tugas presiden hanya melaksanakan GBHN yang telah disusun. Namun wacana reformulasi GBHN mendapatkan tanggapan beragam dari masyarakat, sebagian dari mereka ada yang bersikap pro, dan sebagian yang lagi ada yang bersikap kontra karena RPJPN menurut mereka salama ini telah menjalankan fungsi dari GBHN tersebut dengan relatif baik. Tulisan ini hadir untuk melihat sisi-sisi nalar konstitusi dalam wacana reformulasi GBHN tersebut, baik dari sudut pandang yang prof terhadap reformulasi sampai pihak yang kontra. Reformulasi perencanaan pembangunan nasional yang paling tepat adalah kembali kepada GBHN, di mana GBHN adalah sebuah sistem perencanaan pembangunan nasional yang lahir atas kesepakatan bersama sebagai penjabaran tujuan negara yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Sedangkan RPJPN cenderung berupa perencanaan pembangunan nasional dari pemerintah yang sedang berkuasa yang cenderung berubah seiiring dengan pergantian pemerintahan. Suatu perencanaan pembangunan yang tidak konsisten dan mudah berubah dan berganti sulit untuk dapat mewujudkan tujuan negara sebagaimana yang diharapkan, karena selalu dihadapkan pada arah yang berubah-ubah, bahkan berpotensi mengalami disorientasi arah pembangunan nasional. Key Words: GBHN, RPJPN, Reformulasi, Nalar.
Sharia Financial Institutions Compliance Towards Islamic Principles in Performing Intermediation Functions Mizaj Iskandar Usman
Al-Iqtishad: Jurnal Ilmu Ekonomi Syariah Vol 14, No 1 (2022)
Publisher : Faculty of Shariah and Law, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (92.757 KB) | DOI: 10.15408/aiq.v14i1.25632

Abstract

 This study aims to determine the factors of non-compliance with Islamic principles in Islamic Financial Institutions (IFIs). This article argues that IFIs must comply with Islamic principles based on the DSN-MUI fatwa, even though in the Indonesian legal hierarchy, DSN-MUI fatwas are not binding. IFIs show ambiguity in complying with Islamic principles when carrying out their intermediation function. Several other factors also cause IFIs' lack of compliance with sharia principles. These include the lack of applicability of the DSN-MUI fatwas, the conflict of interest of the Sharia Supervisory Board (SSBs), and competency issues among SSBs members. To address these issues, it is necessary to strengthen the regulations that make DSN-MUI an authoritative institution in establishing the sharia principles and the fatwas methodology. Thus, the fatwas are more applicable and avoid ambiguity. Furthermore, SSBs need re-structurization to be independent internal supervisory agencies. AbstrakPenelitian bertujuan mengetahui faktor-faktor ketidakpatuhan lembaga keuangan syariah (LKS) pada prinsip-prinsip Islam. Artikel ini menyebutkan LKS harus mematuhi prinsip-prinsip Islam sesuai fatwa DSN-MUI, walaupun dalam hierarki hukum Indonesia, DSN-MUI bukanlah sebuah lembaga otoritatif yang menerbitkan hukum mengikat. LKS tampak ambigu dalam mematuhi prinsip-prinsip Islam saat menjalankan fungsi intermediasinya. Ketidakpatuhan LKS kepada prinsip-prinsip syariah juga disebabkan oleh beberapa faktor lain, seperti: tidak aplikatifnya fatwa DSN-MUI; munculnya konflik kepentingan DPS; dan masalah kompetensi anggota DPS. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, perlu adanya perbaikan regulasi yang menjadikan DSN-MUI sebagai lembaga otoritatif, agar fatwa yang dikeluarkan lebih aplikatif dan tidak menimbulkan multi tafsir. Sementara dari sisi DPS, perlu adanya regulasi merestrukturisasi organisasi DPS dengan menepatkannya sebagai lembaga pengawas internal yang independen.
From the Public Space to the Prison Space: Regulation Polemic and the Implementation of Caning Law in Aceh Mizaj Iskandar; Azhari Yahya; Abdul Jalil Salam; Junaidi
Al-Ihkam, Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Vol 17 No 1 (2022)
Publisher : Faculty of Sharia IAIN Madura collaboration with The Islamic Law Researcher Association (APHI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19105/al-lhkam.v17i1.5646

Abstract

The implementation of caning law in Aceh Province is still sporadic due to a lack of coordination among the government institutions involved in caning law. Then, the prison infrastructure to impose the canning law is also not ade-quate, and socialization has also not been fully carried out. Besides, in deter-mining the location of the caning, Islamic law requires the fulfillment of two principles namely “open space” and “visible” to the public. Furthermore, the law that guides the implementation of sharia in Aceh does not regulate detail of where the caning can be executed. Hence, the issues that need to be scruti-nized in this study are about shifting the norm from “open space" to “prison space” and why there is a disparity in determining the place of caning sentenc-es. This study uses a normative legal method by relying on secondary data. All collected data were analyzed by using qualitative analysis. The results show that there has been a shifting norm from "open space" to “prison space” in the application of the caning sentences in Aceh. This shift starts from the open area in the courtyard of the mosque to the prison area as a place to execute a caning sentence. This shifting also allows the people who meet certain criteria to wit-ness the execution of a caning sentence. In addition, there is also a disparity among the sharia courts due to the lack of facilities available in certain the sha-ria courts in Aceh. Hence, the Aceh government needs to improve the facilities of the sharia courts to be able to execute caning sentences.
Sarf al-Zakat fi al- Masalih Al-mat (i'adat al-Fikr'an Sarf al-Zakat bi Siyaqi al-Ma ' ashirat) Mizaj Mizaj
Media Syari'ah Vol 16, No 1 (2014)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v16i1.1798

Abstract

Ada
HAM dalam Prespektif Islam Mizaj Iskandar
Media Syari'ah Vol 19, No 1 (2017)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v19i1.2017

Abstract

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, sering disingkat DUHAM (Universal Declaration on Human Rights, disingkat UDHR). Deklarasi ini berisi hak-hak dasar yang dianggap melekat pada setiap orang karena kemanusiaannya, oleh karena itu harus dilindungi dan dihormati oleh negara, masyarakat dan semua orang. Pada dasarnya hak-hak dasar ini tidak dapat dihilangkan atau dicabut dari seseorang, karena jika hak ini dicabut atau dihilangkan dari seseorang akan membuat identitas seorang manusia hilang . Namun begitu sebagian dari hak ini dalam keadaan tertentu dapat dicabut dengan alasan yang sangat terbatas, seperti pelaksanaan hukuman atas putusan pengadilan yang ditetapkan berdasarkan perundang-undangan yang sah.