Monika Widiastuti
Faculty Of Medicine Universitas Pelita Harapan Tangerang

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Tatalaksana Anestesi pada Pasien Geriatri dengan Hematoma Subdural, Intraserebral, dan Subarahnoid yang Menjalani Kraniotomi Evakuasi Hematoma Monika Widiastuti; Iwan Abdul Rachman; Nazaruddin Umar
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 11, No 2 (2022)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (346.391 KB) | DOI: 10.24244/jni.v11i2.449

Abstract

Cedera otak traumatik pada geriatri memiliki insiden 7–34% dengan penyebab utama adalah jatuh. Perdarahan subdural merupakan jenis cedera yang paling sering terjadi pada populasi geriatri. Hal ini sesuai dengan proses penuaan yang terjadi pada jaringan otak sehingga menyebabkan populasi ini sering mengalami perdarahan subdural jika mengalami cedera. Pasien perempuan berusia 72 tahun datang dengan keluhan nyeri kepala pasca terjatuh 6 hari sebelum masuk rumah sakit. Dari pemeriksaan fisik ditemukan kesadaran E3M5V6, tanpa adanya kelainan dan defisit neurologis dan hemodinamika stabil. Dari pemeriksaan penunjang Computed Tomography (CT) scan ditemukan subdural hematoma di regio frontotemporoparietalis dextra dan regio frontalis et temporalis sinistra yang menyebabkan midline shift ke arah sinistra, perdarahan subarahnoid di regio frontalis sinistra, perdarahan intraserebral di lobus temporalis sinistra. Operasi kraniotomi evakuasi hematoma dilakukan selama 3 jam dengan anestesi umum. Pertimbangan anestesi pada pasien ini adalah neuroanestesi dan anestesi geriatri dengan memperhatikan proses penuaan yang mempengaruhi perubahan fisiologi dan farmakologi pada pasien geriatri, riwayat komorbiditas dan polifarmasi. Tatalaksana perioperatif yang baik penting untuk mencegah cedera sekunder pada jaringan otak. Anesthetic Management of Geriatri Patient with Subdural, Intracerebral, and Subarachnoid Hemorrhage Underwent Craniotomy for Hematoma EvacuationAbstractWorldwide, the incidence of traumatic brain injury in geriatrics is 7–34%, with falls as the most common cause. Subdural hemorrhage is the most common injury that occur and is associated with the aging process of the brain, making geriatric patients prone developing subdural hemorrhage. A 72-years-old female came with a headache after fell to the ground 6 days before hospital admission. Physical examination revealed E3M5V6 without neurologic deficits and hemodynamically stable. A computed tomography scan resulted in subdural hematoma in right frontotemporoparietal region causing midline shifting to the left, subarachnoid hemorrhage in the left frontal region, intracerebral hemorrhage in the left temporal lobe. The patient underwent craniotomy evacuation of hematoma and lasted for 3 hours under general anesthesia. Anesthetic concerns are neuroanesthesia and geriatric patient considering the aging process affects physiologic and pharmacologic changes, comorbidities and polypharmacy. Comprehensive perioperative management is essential to prevent secondary brain injury and improve the outcome.
Tatalaksana Vasospasme Serebral Pasca Perdarahan Subarahnoid Monika Widiastuti; Iwan Abdul Rahman; Rose - Mafiana; Zafrullah Khany Jasa
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 11, No 1 (2022)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2372.756 KB) | DOI: 10.24244/jni.v11i1.408

Abstract

Vasospasme cerebral merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada pasien dengan perdarahan subarahonid. Delayed ischemic neurologic deficit yang berhubungan dengan vasospasme serebral menyebabkan kematian pada 50% pasien yang bertahan pada periode awal setelah aneurisma ruptur yang ditangani. Onset vasospasme serebral yang bervariasi, mulai dari 24 jam pasca perdarahan subarahnoid atau subarahcnoid hemorrhage (SAH) sampai dengan 14 hari, patofisiologi vasospasme serebral yang kompleks dan cara diagnosis yang masih kontroversial, turut berkontribusi terhadap morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada pasien dengan SAH. Evaluasi ketat selama perawatan di ICU untuk mendeteksi kejadian vasospasme serebral awal sangat penting, setiap gejala neurologis baru yang muncul harus diperiksa dan ditangani secepatnya. Banyak obat-obatan yang diteliti untuk mengatasi vasospasme serebral namun efektifitasnya masih dipertanyakan. Tatalaksana utama yang dulu diketahui adalah dengan melakukan terapi triple H, namun hal ini sudah ditinggalkan. Induced hypertension menjadi satu-satunya bagian dari terapi triple H yang masih digunakan, namun belum banyak dipergunakan secara luas. Oleh karena itu perlu dikaji lebih lanjut bagaimana tatalaksana SAH untuk mencegah luaran yang buruk. Management of Cerebral Vasospasm after Subarachnoid HemorrhageAbstractCerebral vasospasm is the main etiology of morbidity and mortality in aneurysmal subarachnoid hemorrhage (SAH) patients. Delayed ischemic neurologic deficits associated with vasospasm may account for as high as 50% of the deaths in patients who survive the initial period after aneurysm rupture and its treatment. The variant onset of cerebral vasospasm, start from 24 hours after SAH up to 14 days after, complex pathophysiology, and the diagnosis of vasospasm has still been met with some controversy, contribute to the high morbidity and mortality in these patients. Vigilance evaluation during ICU care to detect cerebral vasospasm as early as posssible is essential, any new onset of neurological symptoms need to be investigated and treated immediately. Many studies reported some agents for the treatment of cerebral vasospasm, however their roles remain uncertain. Triple H therapy   was known as a main treatment for vasospasm, however it is no longer applied nowadays. Induced hypertension become the only part of Triple H therapy used yet it is not well recognized. Therefor, there is a need for thorough evaluation regarding treatment of SAH to prevent poor outcomes.   
Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Tumor Regio Pineal yang Menjalani Kraniotomi Pengangkatan Tumor dengan Posisi Duduk Monika Widiastuti; Dewi Yulianti Bisri; M Sofyan Harahap; Syafruddin Gaus
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 10, No 3 (2021)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (586.034 KB) | DOI: 10.24244/jni.v10i3.409

Abstract

Tumor regio pineal memiliki insiden 0.4-1% dari tumor intracranial. Lokasinya yang dalam, di antara kedua hemisfer otak, berdekatan dengan batang otak dan hipotalamus menjadi tantangan bagi bedah saraf. Operasi dengan supracerebellar approach dalam posisi duduk adalah pilihan terbaik untuk mencapai lokasi. Posisi duduk juga memfasilitasi lapang operasi yang optimal dengan retraksi cerebellum minimal. Posisi duduk membawa tantangan tersendiri untuk dokter anestesi, dengan segala kompleksitas saat memposisikan pasien dan risiko komplikasinya. Venous air embolism adalah pertimbangan utama yang jika tidak terdeteksi dan ditangani dapat menyebabkan kolaps kardiovaskular dalam waktu singkat. Pasien laki-laki berusia 38 tahun datang dengan keluhan nyeri kepala berat dan penglihatan kabur sejak 4 bulan sebelum masuk rumah sakit. Hasil Magnetic Resonance Imaging menunjukkan adanya massa di regio pineal dengan edema perifokal, tanpa deviasi struktur midline. Pasien dilakukan kraniotomi pengangkatan tumor dalam posisi duduk. Operasi berjalan selama 10 jam dengan hemodinamika stabil dan tidak terjadi komplikasi, dalam anestesi umum dengan kombinasi intravena dan inhalasi. Prinsip ABCDE neuroanestesi, posisi duduk dan implikasinya, dan lokasi operasi yang sulit adalah pertimbangan-pertimbangan anestesi yang harus diperhatikan pada pasien ini. Evaluasi preoperasi yang baik, komunikasi dan koordinasi yang baik antara tim bedah dan anestesi sangat diperlukan untuk kelancaran dalam kraniotomi dalam posisi duduk. Anesthetic Management of Patient with Pineal Region Tumor Underwent Craniotomy Tumor Removal in Sitting PositionAbstractIncidence of pineal regio tumor is 0.4-1% of intracranial tumors. Its location which is buried between two cerebral hemispheres, close to brainstem and hypothalamus become a difficult challenge for the neurosurgeon. Surgery with supracerebellar approach in sitting position is the best method to access the lesion. Sitting position also facilitates the optimal visual field with minimal retractions. However, for anesthesiologist, sitting position is challenging since it has its own complexities during positioning the patient and the risk of complications. Venous air embolism is one of the main concern and if not detected early and treated appropriately would leads to cardiovascular collapse instantly. This is a case of a 38-year-old male with chief complaint of severe headache and blurred vision started 4 months before admission. The Magnetic Resonance Imaging showed a pineal region tumor with perifocal edema, without midline deviation. The patient underwent craniotomy tumor removal with sitting position. The procedure lasted for 10 hours and uneventful. The principle of ABCDE neuroanesthesia, sitting position and its implications, and difficult tumor location are some anesthesia considerations for this patient. A thorough preoperative evaluation, good communication and coordination between surgery and anesthesia team are needed for a smooth uneventful procedure performed in sitting position.
Tatalaksana Anestesi pada Pasien Anak dengan Cystic Craniopharyngioma yang Menjalani Gamma Knife Radiosurgery Monika - Widiastuti; Radian Ahmad Halimi; Iwan Fuadi; Sri Rahardjo; Tatang Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 10, No 2 (2021)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3082.611 KB) | DOI: 10.24244/jni.v10i2.353

Abstract

Kraniofaringioma merupakan tumor otak jinak dengan karakteristik kistik dan kalsifikasi, yang letaknya dikeliingi oleh stuktur vital sehingga sulit untuk dilakukan reseksi total. Terapi kombinasi dengan Gamma knife radiosurgery (GKRS) merupakan pilihan terapi paling tepat. Prosedur GKRS yang kompleks meliputi banyak tahap dengan durasi 6-10 jam, memerlukan pemberian anestesi pada pasien yang tidak kooperatif. Kasus ini mengenai pasien anak perempuan berusia 4 tahun dengan cystic craniopharyngioma. Pasien dengan keluhan pandangan mata buram, dari pemeriksaan fisik didapatkan papil atrofi bilateral. Hasil magnetic resonance imaging (MRI) menunjukkan massa tumor yang menekan kelenjar hipofise inferior. Pasien menjalani prosedur GKRS selama 6 jam dengan anestesi sedasi sedang menggunakan Propofol 75 mcg/kg/menit. Hemodinamika selama prosedur stabil, tidak terjadi komplikasi. Pemilihan teknik anestesi dapat berupa anestesi umum atau sedasi, tergantung pada kondisi pasien, dokter anestesi, operator, dan fasilitas. Pertimbangan anestesi pada GKRS antara lain prosedur dilakukan di luar kamar operasi, durasi panjang, transportasi ke beberapa tempat seperti radiologi dan cathlab, imobilisasi kepala untuk mencegah pergeseran frame stereotaktik, pasien sendiri di dalam ruang radiasi, prinsip neuroanestesi pediatrik. Anesthetic Management of Pediatric Patient with Cystic Craniopharyngioma Underwent Gamma Knife RadiosurgeryAbstractCraniopharyngioma is a benign tumor characterized by cystic and calcification, surrounded by vital structures therefor it is difficult to perform total tumor resection. Combination with Gamma knife radiosurgery (GKRS) is the best treatment option. The complexities of GKRS consisting of several phases lasts for 6-10 hours. Anesthesia is needed for uncooperative patients. This is a case of a 4-year-old girl with cystic craniopharyngioma. The patient had chief complaint of blurry vision, physical examinations revealed bilateral papil atrophy. Result of MRI showed tumor mass compressing inferior hypophyse. Patient underwent the procedure under moderate sedation with Propofol at 75 mcg/kg/min for 6 hours. Intraoperative hemodynamic condition was stable without adverse events. Choice of anesthesia either general anesthesia or sedation, depends on the condition of patient, considerations from anesthesiologist dan neurosurgeon, dan availability of facilities. Unique considerations for GKRS are; a non-operating room anesthesia, long duration, transportation to other units such as radiology and cathlab, head of the patients need to be immobilized to prevent frame displacement, the patient will be alone in the treatment room, and principles of pediatric anesthesia and neuroanesthesia.
Tatalaksana Anestesi pada Pasien dengan Perdarahan Epidural dan Infeksi COVID-19 Monika Widiastuti; Radian Ahmad Halimi; M. Mukhlis Rudi Prihatno; Hamzah Hamzah
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 11, No 3 (2022)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v11i3.450

Abstract

Cedera otak traumatik (COT) masih menjadi masalah kesehatan utama di seluruh dunia. Meskipun terjadi penurunan angka kejadian COT saat pandemi COVID-19 karena mobilisasi yang dibatasi, namun karena keterbatasan akses ke fasilitas kesehatan, penanganan COT menjadi terlambat. Penanganan pasien COT dengan infeksi COVID-19 berbeda karena adanya protokol dan pertimbangan yang harus dilakukan untuk keselamatan tenaga medis dan kelancaran penanganan pasien. Laporan kasus ini mengenai laki-laki berusia 41 tahun datang dengan penurunan kesadaran pasca kecelakaan kendaraan bermotor 24 jam sebelum masuk rumah sakit (RS). Pasien merupakan rujukan dari RS lain dengan cedera kepala berat. Dari hasil Computed Tomography (CT) scan kepala didapatkan epidural hematoma (EDH) akut frontal kiri – frontal kanan parasagital yang menekan lobus frontal kiri – lobus frontal kanan parasagital dengan midline shift sejauh ± 1.35 cm. Hasil pemeriksaan screening menunjukan hasil swab PCR positif. Pasien awalnya akan dirujuk ke RS rujukan COVID-19 namun tidak berhasil mendapatkan rujukan. Perdarahan epidural merupakan kondisi yang mengancam nyawa sehingga tindakan harus segera dilakukan. Pasien menjalani operasi emergensi kraniotomi evakuasi EDH dalam anestesi umum dengan protokol COVID-19. Penanganan anestesi dengan memperhatikan COVID-19 dan implikasinya pada pasien, neuroanestesi, dengan tetap menerapkan protokol COVID-19