Claim Missing Document
Check
Articles

Found 25 Documents
Search

Anestesia Spinal untuk Seksio Sesarea pada Pasien Hipotiroid Rizqi Adhelia; Sri Rahardjo; Yusmein Uyun
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 2 No 2 (2019): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v2i2.11

Abstract

Disfungsi tiroid sering dijumpai pada populasi perempuan usia masa reproduksi. Efek disfungsi tiroid bermanifestasi pada berbagai organ dan mungkin menimbulkan komplikasi pembedahan dan kehamilan. Seorang perempuan 37 tahun dengan hipotiroid akan menjalani seksio sesarea. Kadar tiroid timulating hormone (TSH): dan tiroksin (T4) adalah 14,87 µUI/mL dan 71 nmol/L. Pasien mendapat terapi levotiroksin selama 6 minggu. Pada pemeriksaan fisik, pasien dalam keadaan umum baik. Anestesia spinal dilakukan dengan bupivakain 0,5% 7,5 mg dan fentanyl 25 µg. Bayi lahir dengan skor Apgar 8/9, hemodinamik stabil selama operasi. Pasien pulang dari rumah sakit setelah hari ke tiga operasi. Pasien hipotiroid dapat mengalami komplikasi koma miksedema, gangguan respirasi, maupun hipotensi selama pembedahan. Pembedahan elektif sebaiknya ditunda sampai kondisi eutiroid. Anestesia spinal dosis rendah, monitoring adekuat, pencegahan hipotermia, pengurangan opioid, dan terapi levotiroksin perioperatif dibutuhkan untuk mencegah komplikasi jika kondisi eutiroid belum tercapai. Sebagai kesimpulan anestesia spinal dapat dilakukan pada pasien hipotiroid yang menjalani seksio sesarea. Anesthesia for Cesarean Section in Hypothyroid Patient Abstract Thyroid disfunction is common in woman of child-bearing age population. Multiple organ are influenced with thyroid dysfunction and may contribute to complication during surgery and pregnancy. A 37-years-old female with hypothyroid was scheduled for cesarean section. Thyroid stimulating hormone (TSH) and thyroxine (T4) level was 14,87 µUI/mL and 71 nmol/L. The patient had levothyroxine therapy for 6 weeks. On physical examination, the general condition was good. She underwent spinal anesthesia with bupivacaine 0,5% 7,5 mg and fentanyl 25 µg. The baby was born with Apgar score 8/9 and the surgery was done without any complication. The patient was discharged from the hospital on the 3rd day after surgery. The hypothyroid patient may experience complication of myxedema comatous, respiratory disorder and hypotension during surgery. The elective surgery was best postponed until a euthyroid state was achieved. Low dose spinal anesthesia, adequate monitoring, hypothermia prevention, reducing opioid dose and continuing levothyroxine therapy was needed to prevent the complication if the euthyroid state was able not able to achieve. As conclusion : spinal anesthesia may be done for cesarean section in hypothyroid patient.
Low Dose Spinal Anesthesia Bupivakain 0,5% 5 mg dengan Adjuvan Fentanyl 50 mcg untuk Pasien dengan Uncorrected Tetralogy of Fallot yang Menjalani Seksio Sesarea Ruddi Hartono; Sri Rahardjo; Yusmein Uyun
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 2 No 2 (2019): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v2i2.15

Abstract

Pasien hamil dengan uncorrected tetralogy of fallot yang menjalani seksio sesarea merupakan tantangan tersendiri bagi dokter anestesi. Tetralogy of Fallot terdiri dari ventricular septal defect, hipertrofi ventrikel kanan, overriding aorta dan stenosis pulmonal. Prinsip anestesi pada pasien ini adalah mempertahankan systemic vascular resistence (SVR) dan menghindari peningkatan pulmonary vascular resistance (PVR). Pasien Ibu hamil, 19 tahun dengan berat badan 50 kg, tinggi badan 150 cm, G3P000Ab200 Gravida 36–37 minggu, tunggal hidup, fetal distress dan tali pusat menumbung dengan tetralogy of fallot, akan dilakukan seksio sesarea cito. Penatalaksanaan anestesi pasien ini dengan low dose spinal anesthesia bupivakain 0,5% 5 mg dan adjuvan fentanyl 50 mcg. Hemodinamik stabil setelah tindakan spinal. Tekanan darah sebelum dilakukan spinal 100/60 mmHg dengan laju nadi 67 kali per menit dan saturasi oksigen 80% menggunakan non rebreathing mask (NRBM) 10 liter per menit. Tekanan darah pada saat operasi dimulai adalah 96/57 mmHg dan laju nadi 77 kali per menit serta saturasi 78% menggunakan NRBM 10 liter per menit. Setelah bayi dilahirkan, hemodinamik stabil hingga akhir operasi, tidak ditemukan periode hipotensi yang berat dan tidak digunakan obat vasopressor selama operasi. Pasien dipindahkan ke ICU untuk observasi pasca operasi selama 2 hari. Selama perawatan di ICU, kondisi pasien tetap stabil dan kemudian dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Low dose spinal anesthesia mencegah risiko hipotensi karena intensitas blok simpatis yang lebih minimal sehingga penurunan SVR dapat dihindari. Teknik ini dapat digunakan sebagai alternatif pembiusan pada pasien dengan tetralogy of fallot tetapi tergantung kondisi pasien saat akan dilakukan pembiusan. Low Dose Spinal Anesthesia Bupivacaine 0,5% 5 mg with Adjuvant Fentanyl 50 mcg for Cesarean Section Patient with Uncorrected Tetralogy of Fallot AbstractCesarean delivery in parturient with uncorrected tetralogy of fallot poses significant challenge for anesthesiologist. Tetralogy of Fallot consists of ventricular septal defect, right ventricular hypertrophy, overriding aorta and stenosis pulmonum. Main principle of anesthesia for tetralogy of fallot is maintenance of systemic vascular resistance dan avoidance of increasing pulmonary vascular resistance. Parturient, 19 years old, body weigt 50 kg, height 150 cm, G3P000Ab200 36 – 37 weeks, fetal distress and umbilical cord prolapse with tetralogy of fallot will perform cesarean section. Patient anesthesized with low dose spinal anesthesia using bupivacaine 0,5% 5cmg with adjuvant fentanyl 50 mcg. Haemodynamic before spinal with blood pressure is 100/60 mmHg, heart rate 67 beat per minute (BPM), saturation is 80% using 10 liter of oxygen non rebreathing mask (NRBM) . Blood pressure during incision 96/57 mmHg heart rate 77 BPM with saturation 78% using 10 liter of NRBM. Haemodynamic is stable after baby is born until the operation is done, without any episode of severe hypotension and there is no using of vasopressor drugs. Patient is moved to ICU after the operation for further observation and for 2 days periode the haemodynamic is stable and then patient is moved to regular ward. Low dose spinal anesthesia avoid the incidence of hypotension by causing less intense blocked sympathetic system than traditional dose and thus providing a stable SVR. This technique could be an alternative for anesthesizing for parturient with tetralogy of fallot but its depend on patient condition before operation.
Perbandingan Ringer Laktat 40° C dengan Ringer Laktat pada Suhu Kamar dalam Mencegah Shivering pada Seksio Sesarea dengan Anestesi Spinal Adi Hidayat; Yusmein Uyun; Sri Rahardjo
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 1 No 1 (2018): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v1i1.17

Abstract

Latar Belakang: Shivering perioperatif selama anestesi spinal merupakan komplikasi yang sering terjadi seksio sesarea karena vasodilatasi perifer akibat blok simpatis dan irigasi cairan dingin. Meningkatnya tonus otot yang tampak sebagai shivering akan meningkatkan kebutuhan oksigen antara 200-800% dan produksi karbondioksida meningkat antara 300-500% diatas nilai dasarnya. Hal ini akan dapat berbahaya bagi pasien dengan kondisi fisik tidak optimal. Karena itu shivering harus segera dicegah atau diatasi.Tujuan: Mengetahui perbandingan kejadian shivering antara pemberian cairan ringer laktat 1000 cc suhu 40° C dengan Ringer laktat 1000 cc dengan suhu kamar pada operasi seksio sesarea yang dilakukan spinal anestesi.Metode:Subjek penelitian ini sebanyak 102 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan dilakukan secara double blind randomized control trial. Sebelum dilakukan spinal anestesi, kelompok A diberikan pemberian ringer laktat 1000 cc dengan menggunakan penghangat infus 3 lumen pada suhu 40° C, kelompok B diberikan pemberian ringer laktat 1000 cc pada suhu kamar. Dilakukan pengukuran suhu tubuh setelah dilakukan pemberian cairan dan dinilai adanya shivering atau tidak di ruang pemulihan. Hasil: Didapatkan kejadian shivering pada kelompok A yaitu sebanyak 2 pasien (3,9 %) dan kejadian shivering pada kelompok B yaitu sebanyak 8 pasien (15,7 %). Di dapatkan perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok (P <0,05). Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna kejadian shivering pada kelompok yang diberikan ringer laktat 1000 cc dengan suhu40° C dibandingkankelompok yang diberikan ringer laktat 1000 cc pada suhu kamar. The Comparison of Ringer’s Lactate 40 °C and Ringer's Laktat at Room Temperature To Prevent Shivering in Cesarean Section with Spinal Anesthesia Background: Perioperative shivering during spinal anesthesia is a common complication in cesarean surgery caused by peripheral vasodilatation due to sympathetic block and fluid cold irrigation. Increased muscle tone which seemed as shivering will increase 200-800% oxygen requirement and carbon dioxide production increased of 300-500% above the baseline. This will be dangerous for patients with not optimal physical condition. Therefore, shivering should be prevented immediately.Objective: To comparing shivering incident between 1000 cc ringer's lactate administration at 40 ° C and 1000 cc ringer's lactate administration at room temperature in cesarean surgery with spinal anesthesia. .Methods: The study subject was 102 patients who met the inclusion criteria and conducted a double-blind randomized control trial. Before spinal anesthesia, group A was given 1000 cc ringer's lactate at 40 ° C, group B was given 1000 cc ringer's lactate at room temperature. After fluid administration the body temperature was measured and shivering was assessed in the recovery room.Results: The shivering incidence in group A of 2 patients (3.9%) and the shivering incidence in group B of 8 patients (15.7%). There was a significant difference between the two groups (P <0.05).Conclusions: There are significant differences in the incidence of shivering in the 1000 cc ringer's lactate at 40°C administration group compared to the room temperature group.
Perbandingan antara Tramadol 100 mg dan Natrium Diklofenak 100 mg Suppositoria untuk Penanganan Nyeri Pasca Seksio Sesarea dengan Blok Subarakhnoid Arief Hariyadi Santoso; Yusmein Uyun; Sri Rahardjo
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 1 No 1 (2018): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v1i1.20

Abstract

Latar Belakang: Seksio sesarea menyebabkan nyeri pasca operasi yang signifikan. Tidak ada standar pengelolaan nyeri pasca seksio sesarea. Obat antiinflamasi nonsteroid, natrium diklofenak berkerja meng-inhibisi sintesis prostaglandin (PG) dengan menghambat enzim cyclooxygenase. Tramadol, aktivitas mu-agonis, tidak hanya bekerja pada reseptor opioid, tetapi juga menghambat serotonin (5-HT) dan reuptake noradrenalin.Tujuan: Mengetahui daya guna analgesi 24 jam pasca seksio sesarea antara penggunaan suppositoria rektal tramadol dengan natrium diklofenakMetode:Prospektif, uji klinis acak terkontrol pada 70 pasien status fisik ASA I-II, berusia 19-40 tahun, hamil aterm 37-42 minggu. Indeks Massa Tubuh < 35 kg/m2. Pasien dibagi acak 2 kelompok: kelompok suppositoria rektal natrium diklofenak (D) dan tramadol (T) dengan teknik single blind. Dilakukan penilaian VAS pada kedua kelompok, jumlah penambahan rescue jika VAS ≥3, dan efek samping pada masing-masing kelompok.Hasil: Selama 24 jam pasca operasi, rata-rata frekuensi pemberian tambahan fentanyl kelompok T sebanyak 3,13 kali dan kelompok D 1,7 kali, rata-rata dosis tambahan fentanyl kelompok T sebanyak 155,71 mcg dan kelompok D 67,65 mcg (p=0,000). Rata-rata VAS 24 jam pasca operasi pada kelompok T 2,14 dan pada kelompok D 1,74 (p<0,05). Efek samping, kelompok T terdapat 4 kejadian (11,4%) mual muntah, pada kelompok D tidak ada. Simpulan :Daya guna analgesi natrium diklofenak 100 mg suppositoria rektal lebih baik dibanding tramadol 100 mg suppositoria rektal, dengan efek samping yang lebih kecil pada 24 jam pasca operasi sesar. The Comparison between 100 mg Tramadol and 100 mg Diclofenac Sodium - Suppository for Handling Pain After Cesarean Section Using Subarachnoid Block Abstract Background: Cesarean section inflicts significant postoperative pain. There is no standard for pain management after cesarean section. Non-steroidal anti-inflammatory drugs, diclofenac sodium, work to inhibit the prostaglandin (PG) synthesis, by obstructing the cyclooxygenase enzyme. Tramadol alongside mu-agonist activity, does not only act on opioid receptors, but also inhibits serotonin (5-HT) and noradrenaline reuptake.Objective: To determine the efficacy of 24-hour postoperative cesarean section between of rectal suppositori tramadol and diclofenac sodium.Methods: Prospective, randomized controlled clinical trial to 70 patients with ASA I-II physical status, aged 19-40 years old, pregnancy aterm 37-42 weeks, Body Mass Index <35 kg / m2. The patients were randomly assigned into 2 groups: rectal diclofenac sodium suppository (D) and tramadol (T) groups using single blind technique. VAS assessment was performed in both groups. The amount of rescue was added if the VAS ≥3, and there were side effects in each group.Results: During the 24 hour postoperative period, the mean frequency of supplemental fentanyl to group T was 3.13 times, and group D was 1.7 times. The mean additional dose of fentanyl group T was 155.71 mcg, and group D was 67.65 mcg (p = 0.000 ). The average VAS was 24 hours postoperative in the T group of 2.14, and 1.74 in the D group (p <0.05). For the side effects, T group had 4 occurrences (11.4%) nausea vomiting, and zero in group D. Conclusion: The efficacy of 100 mg diclofenac sodium analgesia of rectal suppository is better than 100 mg tramadol rectal suppository, with smaller side effects within 24 hours after surgery.
Eklampsia dan Sindroma HELLP pada Kehamilan Awal: Penegakan Diagnosis dan Manajemen Anestesia Fahmi Agnesha; Sri Rahardjo
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 1 No 1 (2018): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v1i1.26

Abstract

Preeklampsia merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas ibu hingga saat ini. Penyakit ini memiliki beberapa bentuk manifestasi klinis yang merupakan gambaran dari perburukan dari preeklampsia diantaranya adalah eklampsia dan sindroma HELLP (hemolysis, elevated liver enzyme dan low platelet). Kedua perburukan preeklampsia tersebut biasa terjadi pada usia kehamilan 27 hingga 37 minggu, namun semakin dini onset penyakit ini muncul prognosis bagi ibu akan semakin buruk. Seorang perempuan usia 34 tahun, gravida 3 paritas 1 abortus 1 hamil 24 minggu, janin intra uterine fetal death. Pasien datang dikarenakan kejang seluruh badan selama 5 menit sekitar 30 menit yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan hipertensi dengan tekanan darah 180/110 mmHg. Selain itu dari pemeriksaan penunjang didapatkan trombositopenia 94.000, SGOT 350 IU/L and SGPT 285 IU/L. Pasien didiagnosis dengan eklampsia dan sindroma HELLP, kemudian dilakukan terminasi kehamilan melalui seksio sesarea darurat dengan anestesia umum. Pembahasan: manajemen anestesia pada ibu hamil dengan eklampsia dan sindroma HELLP memiliki beberapa pertimbangan khusus antara lain adanya kesulitan intubasi, kemungkinan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dan juga efek pemberian anti kejang terhadap kontraksi rahim. Melalui penegakan diagnosis dan pengenalan risiko yang mungkin dapat terjadi pada pasien dengan eklampsia dan sindroma HELLP dapat direncanakan tindakan dan manajemen anestesia yang lebih baik sehingga morbiditas dan mortalitas ibu dengan eklampsia dan sindroma HELLP dapat diturunkan. Eclampsia and HELLP Syndrome in Early Pregnancy: Diagnosis and Management of Anesthesia Abstract Preeclampsia is one of the leading cause maternal morbidity and mortality. It has various clinical manifestations that describe the severity of the disease include eclampsia and HELLP syndrome (hemolysis, elevated liver enzyme dan low platelet). Those worsening of preeclampsia usually happen during 27 to 37 weeks of gestation. Even though the earlier the onset showed the worse the prognosis is. A pregnant woman 34 years old, gravidy 3 parity 1 abortus 1, 24 weeks gestational age with intra uterine fetal death. Patient had chief complain for seizure before admission. From the physical examination found that patient has severe hypertension with blood pressure 180/110 mmHg. The laboratory result showed trombositopenia 94.000, SGOT 350 IU/L and SGPT 285 IU/L. Patient diagnosed with eclampsia and HELLP syndrome and then did emergency caesarean section with general anesthesia. Discussion: The anesthesia management in this case should be specifics due to the patient condition circumstances with eclampsia and HELLP syndrome. We should prepare for difficult airway, intracranial pressure increase and effect of anticonvulsant agent to the uterine tone. By diagnose and identify the risk of eclamptic and HELLP syndrome patient carefully we can plan the better procedure and anesthesia management that maternal morbidity and mortality can be reduced.
Manajemen Anestesi pada Seksio Sesarea Pasien dengan HIV (Human Immunodeficiency Virus) Iwan Nuryawan; Bambang Suryono; Sri Rahardjo
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 2 No 1 (2019): Maret
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v2i1.31

Abstract

Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah masalah utama dari kesehatan global. Menurut United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS), salah satu bagian dari WHO yang mengurus tentang AIDS menyebutkan, bahwa perkiraan jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS di seluruh dunia sampai dengan akhir tahun 2010 mencapai 34 juta. Kasus HIV pada anak paling sering ditemukan akibat transmisi dari ibu yang HIV positif ke anaknya. Pada laporan kasus ini dilaporkan penanganan anestesi pada penderita pasien wanita berusia 25 tahun berat badan 50 kg primigravida hamil aterm 38 minggu belum dalam persalinan dengan infeksi HIV belum mendapatkan terapi antiretroviral. Pasien diklasifikasikan ASA II dan dilakukan anestesi regional teknik blok subarakhnoid dengan obat bupivakin 0,5% hiperbarik 10 mg. Dilahirkan bayi perempuan berat lahir 2500 gram, dengan skor Apgar 9/10. Operasi berlangsung selama 1 jam dengan hemodinamik TD 90–120/60-80 mmHg, HR 65-100 x/mnt, SpO2 99–100%, perdarahan 400 cc, produksi urin 0,5 ml/kgBB/jam. Pasca operasi pasien diobservasi di ruang pemulihan hingga skor Bromage 0 sebelum dikembalikan ke bangsal. Anesthesia Management in Cesarean Section Patients with HIV (Human Immunodeficiency Virus) Abstract Human Immunodeficiency Virus (HIV) and Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) infections are the main problems of global health. According to United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS), one part of the WHO that deals with AIDS states that the estimated number of people infected with HIV/AIDS worldwide by the end of 2010 reached 34 million. HIV cases in children are most often found due to the transmission of HIV-positive mothers to their children. We reported a 25-year-old primigravida, 38 weeks, weighing 50 kg, not in delivery with HIV infection without antiretroviral therapy underwent caesarean section. Patient was classified as ASA II and performed subarachnoid blocks with hyperbaric 0.5 mg bupivacaine 10 mg. A baby girl was born, weighing 2500 grams, with Apgar score 9/10. The operation lasts for 1 hour with hemodynamics TD 90-120/60-80 mmHg, HR 65-100 x/min, SpO2 99-100%, bleeding 400 cc, urine production 0.5 ml/kgBW/hour. In postoperative period, patient was observed in the recovery room until the Bromage score was 0 before transferred to the ward.
Penggunaan Skor Indeks Plasenta Akreta (IPA) sebagai Prediktor Manajemen Perioperatif Seksio Sesarea Pasien dengan Plasenta Previa Totalis Suspek Akreta Dadik Wahyu Wijaya; Yusmein Uyun; Sri Rahardjo
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 3 No 2 (2020): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v3i2.47

Abstract

Plasenta akreta adalah suatu kondisi kehamilan yang serius yang disebabkan oleh kelainan perlekatan plasenta yang membutuhkan perhatian khusus secara perioperatif. Kasus ini menggambarkan manajemen anestesi yang sesuai untuk seksio sesarea dan total abdominal histerektomi karena plasenta previa totalis dugaan akreta. Seorang wanita berusia 33 tahun dipersiapkan untuk menjalani seksio sesarea elektif dan histerektomi total akibat plasenta previa totalis dengan kecurigaan tinggi terhadap akreta berdasarkan Indeks Skor Plasenta Akreta (IPA). Pemeriksaan penunjang dilakukan oleh dokter kandungan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Pada pasien ini dilakukan tindakan anestesi umum untuk prosedur operasinya. Kadar hemoglobin pasien sebelum operasi adalah 9,1 g / dl. Dengan total perdarahan selama operasi adalah 2000 mL. Estimasi kehilangan darah yang ditolerir untuk pasien ini adalah 633 ml. Pasien menerima transfusi 2(dua) kantong darah PRC dan 1(satu) kantong darah WB. Kadar hemoglobin setelah transfusi adalah 8,9 g / dL Pasien dipulangkan dari rumah sakit dalam kondisi stabil setelah dirawat selama 3 hari diruangan. Sebagai kesimpulan, evaluasi dan persiapan perioperatif dan kolaborasi multidisiplin adalah kunci keberhasilan manajemen pasien dengan plasenta previa suspek akreta. The Use of Placenta Acreta Index (PAI) Score as Perioperative Management Predictor of Sectio Caesarean Patient with Total Placenta Previa Suspected Acreta Placenta accreta is a serious pregnancy condition caused by disorder of placenta attachment that needs a special consideration perioperatively. This case was described the propriate anesthesia management for Cesarean Section and Total Abdominal Hysterectomy due to Total Placenta Previa suspected Accreta. A 33 years old woman considered for elective cesarean section and hysterectomy due to Total Placenta Previa with high suspicion of Accreta according to Placenta Accreta Index (PAI) Score. Supportive examination was done by the obstetrician to confirm the diagnosis. She underwent general anesthesia for the surgery. Patient’s hemoglobin level before surgery was 9.1 g/dL. With total bleeding during the surgery is 2000 mL. The allowable blood loss for the patient is 633 mL. Patient was transfused with 2 bags of PRC and 1 bag of Whole Blood. The hemoglobin level after transfusion was 8.9 g/dL She was discharged from the hospital in stable condition after being treated for 3 days at normal ward. As conclusion, perioperative evaluation and preparations and multidiscipline collaboration are the key for successful management for patient with Placenta previa/accreta
Trombositopenia Berat pada Ibu Hamil dengan Sistemik Lupus Erythematosus yang Dilakukan Seksio Sesarea Mariza Fitriati; Ratih Kumala Fajar Apsari; Sri Rahardjo
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 3 No 2 (2020): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v3i2.48

Abstract

Trombositopenia adalah hal yang umum muncul pada kehamilan normal, disebut trombositopenia berat bila jumlah trombosit <50.000 /µL. Komplikasi kehamilan oleh penyakit Lupus Eritematosus Sistemik (Systemic Lupus Erythematosus = SLE) dapat menimbulkan trombositopenia berat patologis. Karena peran penting trombosit dalam pembekuan darah, dilain pihak proses persalinan akan menimbulkan perdarahan, maka dibutuhkan jumlah dan fungsi trombosit yang cukup. Trombositopenia-SLE berderajat berat perlu mendapat terapi untuk meningkatkan jumlah dan fungsi trombosit sebelum menjalani persalinan. Upaya peningkatan jumlah trombosit pada trombositopenia-SLE diawali dengan kortikosteroid sebagai terapi awal, dengan terapi alternatif lanjutan imunosupresif, splenektomi, plasmaferesis, trombopoetic, dan konsentrat trombosit. Pada kasus ini trombositopenia tidak dapat teratasi, sehingga pemeriksaan fungsional pembekuan darah bleeding time dan clotting time digunakan untuk membantu memperkirakan kemungkinan terjadi perdarahan berkelanjutan. Perhatian utama pada pemilihan tehnik anestesi kasus ini adalah kemungkinan terjadi perdarahan berkelanjutan, dalam hal ini dipilih yang dipertimbangkan berisiko terkecil yaitu total intravenous anesthesia (TIVA) dengan ketamin. Perawatan pasca operasi dilaksanakan juga dengan tetap mewaspadai kemungkinan terjadi perdarahan berkelanjutan. Severe Trombositopenia in Pregnant Woman with Sistemic Lupus Erythematosus Ongoing Caesarean Section Abstract Thrombocytopenia is a common occurrence in normal pregnancy, will classified as severe thrombocytopenia if platelet count <50.000/ µL. Pregnancy complicated by Systemic Lupus Erythematosus (SLE) can lead to pathological severe thrombocytopenia. As thrombocytes has a main role in haemostasis, and delivery process will always caused bleeding, thrombocytes needed in proper amount and function. Severe SLE-Thrombocytopenia has to treat aiming higher total thrombocytes and function before delivery. Effort in raising thrombocytes count on SLE-thrombocytopenia patients recommended starting from corticosteroid as first line treatment, followed by any alternatif therapy if thrombocytes count did not responds to corticosteroid therapy, such as immunosuppresif drugs, splenectomy, plasmapharesis, thrombopoetic drugs, and trombocyte concentrate. In this case, severe thrombocytopenia couldn’t be resolved, so then the bleeding time and clotting time taken as tools to estimate blood’s ability to coagulate. The main consideration on choosing anesthesia’s plan in this case is possibility condition to held uncontrolled bleeding. Therefore, the procedure with the lowest risk for maternal and fetal, total intravenous anesthesia with ketamin, had chosen. Caring for post operative SLE-thrombocytopenia patient should never ignoring vigilance for sustainable bleeding.
Penanganan Anestesi pada Operasi Olfactory Groove Meningioma Silmi Adriman; Dewi Yulianti Bisri; Sri Rahardjo; A Himendra Wargahadibrata
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 4, No 1 (2015)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2708.602 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol4i1.108

Abstract

Angka kejadian Olfactory Groove Meningioma adalah 10–15% dari total meningioma yang terjadi di intrakranial, dimana tumor ini berasal dari basis cranii anterior. Manifestasi klinis berupa penurunan penciuman akibat terjepitnya saraf olfaktori dan apabila tumor cukup besar dan menekan saraf optikus, pasien akan mengalami penurunan penglihatan, bahkan buta. Pada kasus ini dilaporkan seorang wanita berusia 38 tahun, GCS 15 dengan diagnosis olfactory groove meningioma akan dilakukan operasi kraniotomi untuk pengangkatan tumor. Pasien datang dengan keluhan tidak bisa melihat dan tidak bisa mencium bebauan. Hasil CT Scan menunjukkan gambaran hiperdens berbentuk enhancing lesion pada regio frontal. Pasien dilakukan tindakan anestesi umum dengan intubasi. Induksi dengan propofol, fentanyl, lidokain dan vecuronium. Pengelolaan cairan perioperatif dengan ringerfundin, manitol dan furosemid. Pembedahan dilakukan selama 6 jam. Pasca bedah, pasien dirawat di Unit Perawatan Intensif (Intensive Care Unit/ ICU) selama 2 hari sebelum pindah ruangan. Anesthesia Management for Olfactory Groove Meningioma RemovalOlfactory Groove Meningioma, a type of meningioma is primarily derived from anterior cranial base, manifest in approximatelly 10-15% of meningioma cases. Clinical manifestations include smelling disorder and blurred vision or even cause blindness due to compression of the tumor to the optic nerve. This case reported a 38 years old woman with GCS 15 and diagnosed with olfactory groove meningioma, planned for a craniotomy tumor removal under general anesthesia. She was admitted to hospital due to blurred vision and smelling disorder. Computed Tomography (CT) scan showed a enhancing lesion in the frontal region. Induction of anesthesia was done using propofol, fentanyl, lidocaine and vecuronium. Ringerfundin, manitol and furosemide were used for perioperative fluid management. The surgery was conducted for 6 hours. Patient was managed in the Intensive Care Unit post operatively for 2 days prior to ward transfer
Penatalaksanaan Anestesi pada Pembedahan Akustik Neuroma dengan Monitoring Saraf Kranialis Sandhi Christanto; I Putu Pramana Suarjaya; Sri Rahardjo
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 5, No 1 (2016)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3198.439 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol5i1.59

Abstract

Tumor di daerah Cerebello pontine Angle (CPA) mencakup kurang lebih 10% dari seluruh angka kejadian tumor primer intrakranial pada orang dewasa. Sebagian besar kasus tumor CPA (80–90%) adalah akustik neuroma dan sisanya berupa meningioma, epidermoid, kista arakhnoid dan lain sebagainya. Akustik neuroma bersifat jinak namun dapat mengancam jiwa karena lokasinya yang berdekatan dengan struktur- struktur vital di daerah CPA. Pengelolaan anestesi pasien dengan neuroma akustik perlu memperhatikan pertimbangan-pertimbangan seperti lokasi tumor yang berdekatan dengan struktur vital, posisi operasi dan risiko yang dapat ditimbulkan, risiko emboli udara selama tindakan operasi, gangguan hemodinamik akibat manuver pembedahan di regio infratentorial dan monitoring neurofiologis selama operasi untuk mencegah kerusakan saraf kranial didaerah tersebut. Wanita 46 th, berat badan 48 kg diagnosa tumor CPA kanan, dengan diagnosa banding akustik neuroma dan meningioma. Pasien mengeluh telinga kanan berdenging dan pendengaran menurun sejak 1 tahun yang lalu namun keluhan dan gejala neurologis lain tidak didapatkan. Pemeriksaan MRI didapatkan massa di daerah CPA dextra ukuran 2,2 x 1,2 x 2,2 cm yang mendesak saraf kranial V ke supero-medial. Tindakan pembedahan dengan monitoring saraf kranialis diperlukan untuk mengambil tumor dengan meminimalkan risiko kerusakan pada saraf kranialis yang ada disekitar tumor tersebut. Tujuan dari laporan kasus ini adalah membahas pengelolaan pasien yang dilakukan pembedahan di daerah CPA dan pertimbangan-pertimbangan anestesi yang berkaitan dengan tehnik diatas.Surgery Anesthesia Management on Acoustic Neuroma with Cranial Nerves MonitoringCerebellopontine angle tumor represent 10% of all adult primary intracranial tumor. Most common form of CPA tumor (80–90%) is acoustic neuroma and the rest are meningiomas, epidermoid, arachnoid cyst and many others. Although acoustic neuroma is benign lesion, this tumor can bring threat to life because the complex anatomy and important neurovascular structures that traverse this space. Like all posterior fossa surgery, perioperative considerations of acoustic neuroma management related to anatomical complexity, patient positioning, the potential for venous-air embolism, brainstem dysfunctions, hemodynamic arousal caused by surgical maneuver and intraoperative neurophysiologic monitoring. A 46 years old woman, 48kg was diagnosed with right CPA tumor with differential diagnose between acoustic neuroma and meningioma. She complained of gradual loss of hearing in right ear and associated with tinnitus . Other neurologic defisit was not found. Right CPA mass, 2,2 x 1,2 x 2,2 cm size with pressure over fifth cranial nerve to supero-medial region was found in MRI examination. Surgical approach with intraoperative neuromonitoring need to be done in order to resect tumor while minimizing risk of cranial nerve injury. The purpose of this case report is to discuss management patient with CPA tumor and its anestetic considerations which are connected to the procedure.