Spanduk menjadi pemandangan biasa dan mengganggu bagi manusia Indonesia dasawarsa kedua abad ke-21. Namun, itu sekaligus bisa digunakan sebagai sumber penulisan sejarah terutama penting untuk menyingkap periode paling krusial dalam historiografi Indonesia yang didominasi oleh laki-laki serta menghapus skeptisme tentang ketiadaan sumber penulisan sejarah perempuan yang berkaitan dengan kebangsaan atau konsensus keindonesiaan. Berangkat dari foto-foto protes perempuan yang membawa spanduk pada masa revolusi di Yogyakarta, saya menangkap empat realitas. Pertama, aksi-aksi protes perempuan adalah manifestasi kewarganegaraan baru mereka Kedua, agenda protes mereka sangat kompleks dan heterogen, namun mengekspresikan hal yang sama, yaitu kesetiaan, imajinasi warga negara baru, dan pergulatan keindonesiaan mereka. Ketiga, penggerak protes itu adalah perempuan-perempuan dari etnis minoritas, diliyankan, atau dicap tidak nasionalis, dan kaki tangan penjajah. Terakhir, aktivitas protes perempuan masa revolusi terlihat seperti pertunjukkan imaji perempuan tentang negara baru dan nasib mereka di masa depan.