Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Percerain karena Syiqaq Akibat tidak Perawan (Analisis Hukum Islam terhadap Putusan Mahkamah Syar'iyah Bireuen Nomor 0223/pdt.g/2015/MS. Bir) Zubaidi, Zaiyad; Miftahul Jannah, Miftahul Jannah
Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Vol 1, No 2 (2017)
Publisher : Islamic Family Law Department, Sharia and Law Faculty, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/sjhk.v1i2.2381

Abstract

Meskipun dalam fikih tidak ditemukan sebab perceraian karena tidak perawan,namun realitas dalam masyarakat perceraian dapat juga terjadi karena kasus tidak perawan isteri. Penelitian ini menganalisisPutusan Mahkamah Syariyah Bireuen Nomor 0223/Pdt.G/2015/Ms.Bir yang memutuskan sebuah kasus perceraian akibat alasan tersebut. Penelitian ini adalah studi pustaka (library research) dengan menggunakan metode deskriptif-analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dasar hukum dan pertimbangan hakim Mahkamah Syar'iyah Bireuen dalam putusan Nomor 0223/Pdt.G/2015/ Ms.Bir yaitu merujuk pada dua ketentuan yaitu hukum Islam dan hukum positif. Hakim mendasari pertimbangannyaatas dasar hukum Islam pada ketentuan surat al-RÅ«m ayat 21, yaitu tentang tujuan pernikahan. Hakim melihat Pemohon dan Termohon tidak lagi bisa mewujudkan tujuan pernikahan. Atas dasar hukum positif, hakim menimbang pada dua syarat. Pertama, terpenuhinya syarat materil pada Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, dan Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam terkait terjadinya perselisihan dalam keluarga dengan sebab tidak perawan. Kedua, terpenuhinya syarat formil tentang kesesuaian fakta dengan keterangan saksi pada Pasal 309 R.Bg jo. Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan. Kesimpulannya bahwa putusan Mahkamah Syariyah Bireuensesuai dengan ketentuan hukum Islam. Fokus masalah yang dilihat oleh hakim adalah terjadi ketidakharmonisan dan perselisihan antara Pemohon dan Termohon yang faktor penyebabnya karena Termohon sering keluar rumah tanpa izin, tidak menghargai orang tua Pemohon dan juga Termohon sudah menipu Pemohon ataskondisi keperawanannya.
PROBLEMATIKA PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DI SAMALANGA-BIREUEN Zaiyad Zubaidi
JURNAL AL-IJTIMAIYYAH Vol 5, No 2 (2019): Jurnal AL-IJTIMAIYYAH
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/al-ijtimaiyyah.v5i2.4779

Abstract

Joint assets are assets obtained either individually or with a husband and wife as long as the marriage is underway without questioning registered in the name of anyone. Although the term jurisprudence of shared assets is not found, the community practice does not separate husband and wife's assets in marriage giving birth to a conception of shared assets which is then considered to be syirkah between husband and wife in the institution of marriage. Divorce is one of the causes of the emergence of problems relating to shared property. The problem that is possible is that there is no division in accordance with the provisions of the applicable laws. The question is how to divide shared assets in Samalanga and what is the problem. The research is qualitative research in the form of field studies using a conceptual approach. The results of the study found that in Samalanga-Bireuen there were cases of joint property controlled by one of the wives or husbands, even though the customary practice of the Samalanga community carried out joint property distribution between husband and wife after divorce with a third pattern. This happened because between the husband and wife found that there was still an attitude of apathy and laity towards the existence of shared assets in the marriage.Keywords: Problems, Joint Assets, Divorce.
Pembinaan Narapidana Anak di Rutan Lhoknga Aceh Besar Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dan Teori Maṣlahaḥ Murṣalaḥ Zaiyad Zubaidi; Riva Attusuha
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 8, No 2 (2019)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v8i2.5854

Abstract

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 3 disebutkan bahwa” Setiap Anak dalam proses peradilan berhak dipisahkan dari orang dewasa”. Namun dalam penerapan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dimana masih ada pemisahan narapidana anak di Cabang Rumah Tahanan Lhoknga. Tulisan ini bertujuan untuk menjawab dua pertanyaan. Pertama bagaimana sistem pembinaan narapidana anak di cabang rumah tahanan Lhoknga Aceh Besar. Kedua Bagaimana relevansi pembinaan narapidana anak Di Cabang Rumah Tahanan Lhoknga dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2102 dan teori Maṣlahaḥ Murṣalaḥ. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penilitian lapangan (field reasearch) serta kajian pustaka (library reasearch). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem pembinaan narapidana anak di cabang rumah tahanan Lhoknga Aceh Besar berjalan sesuai ketentuan perundang-undangan karena sudah menerapkan langkah dan proses pembinaan, kegiatan pembinaan, dan memberikan keterampilan yang sesuai. Kedua relevansi pembinaan narapidana anak di cabang rumah tahanan Lhoknga Aceh Besar dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 pasal 3 tidak sesuai karena masih terdapat narapidana anak di rumah tahanan tersebut. Adapun praktek pembinaan tersebut bertentangan dengan konsep Maṣlahaḥ Murṣalaḥ yang bertujuan memberikan kemanfaatan, kemaslahatan dan mencegah kemudhazaratan, Karena itudengan penggabungan narapidana anak dengan dewasa maka dikhawatirkan akan berdampak negatif pada keberadaan anak. 
Distribution of Zakat fi Sabilillah for the Tahfiz Program at the Baitul Mal Board in Aceh in the Perception of Ulama Dayah Burhanuddin Abd. Gani; Zaiyad Zubaidi
Media Syari'ah : Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol 24, No 1 (2022)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v24i1.10500

Abstract

Fi sabilillah in the Fiqh conception, its meaning is interpreted as people fighting in defense of religion. For this meaning, Ulama (Islamic scholars) clung to distributing zakat fi sabilillah to the mustahiq as guided by the meaning of the text contained in the fiqh books. But in practice, Baitul Mal in Aceh distributes zakat fi sabilillah for the tahfiz Qur'an program. Therefore, based on the issue’s description, it is necessary to conduct a more comprehensive study to determine the legal basis of Baitul Mal in Aceh for channeling zakat fi sabilillah for the Tahfiz Qur'an Program, how the program is realized, and how Ulama Dayah perceive the practice. This research employed qualitative methods in the form of field studies using a conceptual approach. Based on the results of the study, it was found that Baitul Mal in Aceh in giving zakat fi sabilillah for the Tahfiz Qur'an Program already refers to the provisions in the Qur'an and also other rules stipulated in the provisions of the Qanun Baitul Mal, which was then the program realized through the distribution of scholarships to students in the form of a tahfiz program. In addressing this issue, Ulama Dayah do not deny the distribution of zakat fi sabilillah for the tahfiz Qur’an program, although conceptually the interpretation of the meaning of zakat fi sabilillah can only be given to those who fight in defense of religion. Their view is based on the existence of the values of benefit contained in Baitul Mal’s practice.Fi sabilillah dalam konsepsi fikih, ditafsirkan maknanya dengan orang berperang membela agama. Atas makna inilah kemudian para ulama berpegang dalam menyalurkan zakat fi sabilillah kepada para mustahiq sebagaimana petunjuk dari makna teks yang tertera dalam kitab-kitab fikih. Namun praktiknya, Baitul Mal di Aceh menyalurkan zakat fi sabilillah untuk program tahfiz al-Qur`an. Maka atas dasar deskripsi permasalah tersebut perlu adanya kajian lebih komprehensif sehingga diketahui apa dasar hukum Baitul Mal di Aceh menyalurkan zakat fi sabilillah untuk Program Tahfiz al-Qur`an, bagaimana realisasi programnya dan bagaimana persepsi ulama dayah terhadap praktik tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dalam bentuk kajian lapangan dengan menggunakan pendekatan konseptual. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa Baitul Mal di Aceh dalammenyalurkan zakat fi sabilillah untuk Program Tahfiz al-Qur`an sudah mengacu pada ketentuan yang ada baik dalam al-Qur`an dan juga aturan lain yang diatur dalam ketentuan Qanun Baitul Mal yang kemudian programnya direalisasikan melalui penyaluran beasiswa kepada santri dalam bentuk program tahfiz. Para ulama dayah, dalam menyikapi persoalan ini tidak menolak penyaluran zakat fi sabilillah untuk program tahfiz al-Qur`an, meskipun secara konsep penafsiran makna fi sabilillah hanya dapat diberikan kepada orang yang berperang membela agama. Pandangan mereka ini didasarkan pada adanya nilai-nilai kemaslahatan yang terkandung dalam praktek Baitul Mal tersebut.
Perpindahan Wali Nasab Kepada Wali Hakim (Analisis Terhadap Sebab-Sebab ‘Aḍal Wali Pada KUA Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh) Zaiyad Zubaidi; Kamaruzzaman Kamaruzzaman
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 1, No 1 (2018): El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v1i1.5568

Abstract

Perwalian dalam akad nikah merupakan syari’at yang harus dipenuhi. Ketiadaan wali menentukan sah tidaknya pernikahan, sebab wali adalah salah satu rukun nikah. Islam melarang pihak wali enggan untuk menikahkan atau ‘aḍal wali. Terkait ‘aḍal wali, artikel ini berusaha mengungkap permasalahan wali adal di KUA Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh. Tujuan artikel ini yaitu untuk mengetahui sebab-sebab ‘aḍal wali, langkah yang ditempuh ketika ada ‘aḍal wali, dan mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap ‘aḍal wali di KUA Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh. Hasil analisa menunjukan bahwa sebab ‘aḍal wali ini yaitu kedua orang tua bercerai dan pihak ayah menolak menikahkan anak sebab rasa benci yang berlebihan, ayah tidak menyetujui pasangan pilihan anak,  calon laki-laki berasal dari keluarga miskin, dan karena tempat tinggal calon suami yang jauh. Langkah yang dilalui oleh pasangan yang ‘aḍal wali yaitu: Pertama, pihak perempuan memberitahukan permasalahan ‘aḍal wali kepada pihak KUA. Kedua, pihak KUA mengutus salah satu delegasi untuk memberikan nasehat kepada orang tua. Ketiga, pihak KUA menunjuk pengganti wali. Pihak KUA dapat menjadi wali nikah setelah sebelumnya pihak perempuan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah untuk ditetapkan wali hakim baginya. Dalam Islam, wali dilarang menolak (‘aḍal) menikahkan tanpa ada alasan yang dibenarkan syara’. Anak perempuan yang tidak mempunyai wali, maka hakim dapat menjadi wali nikah bagi anak tersebut.
Maslahah dalam Putusan Hakim Mahkamah Syar`iyah di Aceh tentang Perkara Harta Bersama Zaiyad Zubaidi
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 4, No 1 (2021): EL-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v4i1.10080

Abstract

Harta bersama merupakan harta yang diperoleh suami isteri selama dalam ikatan perkawinan. Keberadaannya dalam institusi keluarga merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan berumah tangga. Dalam rumah tangga yang harmonis, tidak ada persoalan berkaitan dengan harta bersama, namun ketika terjadinya keretakan rumah tangga, barulah muncul persoalan berkaitan dengan harta bersama. Dalam hal terjadinya persoalan, maka perkaranya dapat diselesaikan melalui proses ligitasi pada Mahkamah Syar`iyah. Persoalannya, dari 412 putusan hakim Mahkamah Syar`iyah di Aceh tentang harta bersama, semua putusannya didominasi dasar pertimbangan hakim pada ketentuan perundang-undangan tertulis yaitu Pasal 97 KHI, hampir tidak ditemukan putusan yang contra legem, padahal dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengamanahkan bahwa hakim wajib menggali dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Atas dasar itulah, artikel ini mengupas bagaimana pemenuhan aspek maslahah dalam putusan hakim tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif bersifat deskriptif dengan pendekatan yuridis normatif dan pertimbangan maslahah. Hasil penelitian bahwa untuk memenuhi aspek maslahah dalam putusan hakim Mahkamah Syar`iyah di Aceh, langkah yang dapat dilakukan oleh hakim adalah mempertimbangkan kembali adat masyarakat dalam pembagian harta bersama. Mengidentifikasi kandungan aspek maslahah secara sungguh-sungguh dalam setiap putusan. Menerapkan aspek maslahah secara konsisten dalam setiap pengambilan keputusan hukum dalam menyelesaikan perkara harta bersama, serta perlu keberanian hakim berijtihad dalam menyelesaikan perkara harta bersama.
Tanggapan Ulama Dayah Terhadap Pembagian Harta Bersama Menurut Pasal 97 KHI Zaiyad Zubaidi
Media Syari'ah Vol 22, No 1 (2020)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v22i1.6615

Abstract

Abstrak: Ketentuan tentang cara pembagian harta bersama diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 97 dengan pola seperdua. Namun dalam prakteknya, masyarakat di Kabupaten Bireuen melakukan pembagian harta bersama dengan pola sepertiga. Karena itu, muncul pertanyaan apa dasar filosofi pembagian KHI dengan pola seperdua pasal 97 KHI tersebut dan mengapa praktek pembagian harta bersama di Kabupaten Bireuen dilakukan pembagiannya dengan pola sepertiga. Pertanyaan selanjutnya bagaimana tanggapan mereka terkait pola pembagian harta bersama pasal 97 KHI. Ketiga pertanyaan itulah menjadi fokus pembahasan dalam artikel ini. Berdasarkan data yang diperoleh dan wawancara dengan beberapa responden menyatakan bahwa filosofi pembagian harta bersama dengan pola seperdua untuk melindungi dan memperkuat eksistensi perempuan secara finansial. Sedangkan praktek pembagian harta bersama di Kabupaten Bireuen pada umumnya dilakukan dengan pola sepertiga, dalam kasus-kasus tertentu juga diterapkan seperti halnya pola pembagian KHI. Menanggapi ini, ulama dayah di Kabupaten Bireuen tidak menolak rumusan pembagian harta bersama pasal 97 KHI dengan pola seperdua. Keberadaan KHI dengan pola seperdua di tengah masyarakat untuk memperkuat tradisi masyarakat yang melakukan pembagian harta bersama dengan pola sepertiga.Abstract: Provisions on how to divide shared assets are regulated in Article 97 Compilation of Islamic Law in a half pattern. However, in practice, the people in Bireuen Regency divide shared assets in a third pattern. Therefore, the question arises as to what is the basis for the philosophy of the division of KHI with the pattern of the twofold article 97 of the KHI and why is the practice of sharing shared assets in Bireuen Regency carried out in a one-third pattern. The next question is how their response is related to the pattern of sharing assets with article 97 KHI. These three questions are the focus of the discussion in this article. Based on data obtained and interviews with several respondents stated that the philosophy of the distribution of assets together with the pattern of the two to protect and strengthen the existence of women financially. While the practice of sharing assets in Bireuen Regency is generally carried out in a third pattern, in certain cases it is also applied as a pattern of KHI distribution. In response to this, the dayah ulemas in Bireuen Regency did not reject the formulation of the division of joint assets of article 97 KHI in a second pattern. The existence of KHI with the pattern of one-half in the middle of the community to strengthen the traditions of the people who do joint property with a pattern of one third.
Implementasi Wasiat Berupa “Honorarium” Menurut Pandangan Wahbah Zuhaili Zaiyad Zubaidi; Muhammad Yanis
Media Syari'ah Vol 20, No 2 (2018)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v20i2.6514

Abstract

Abstrak: Peralihan harta selain kewarisan dalamIslam salah satunya dikenal dengan wasiat, yaitu dengan cara berpesan seseorang terhadap sebagian harta kekayaannya pada saat seseorang tersebut masih hidup dan berlaku setelah meninggalnya pewasiat.Salah satu bentuk wasiat ialah wasiat yang berupa honorarium.Wasiat honorarium adalah wasiat yang berasal dari pokok harta peninggalan mayit, dan jenis ini masuk dalam wasiat  yang berupa benda yang mempunyai ukuran tertentu yang harus di berikan kepada orang yang berhak menerima wasiat yang telah di wasiatkan oleh seseorang sebelum ia meninggaldunia, seperti angsuran tahunan, bulanan, atau harian, yang  tidak berbeda dengan wasiat pada umum nya hanyasajaiamenggunakan system angsuran. Wasiat berupa honorarium ini umumnya dikenal di wilayah timur seperti Mesir. Mengenai batas waktu pemberian wasiat berupa honorarium ini terdapat perbedaan pendapat Wahbah Az-zuhaili yang mengatakan bahwa  wasiat honorarium  tidak boleh melebihi dua (2) generasi jika lebih maka untuk generasi selebihnya dianggap batal. Untuk memperoleh jawaban dari hal tersebut maka dalam Penelitian ini penulis menggunakan kepustakaan (library Research)dan dilakukan dengan menggunakan metode deskriktif-analisis-kompratif, yaitu menggambarkan konsep pemikiran wahbah Az-Zuhaili tentang wasiat berupa Honorarium berikut dengan landasan hukumnya.Hasil penelitian menunjukkan bahwa. Wasiat berupa Honorarium sama seperti wasiat lainnya hanya saja berbeda dalam pemberiannya yang dilakukan secara berangsur-angsur. Wahbah Az-Zuhaili menggunakan metode istimbat hukum maqasid syari’ah (Dharuriyat) yaitu kepentingan untuk memelihara harta. Dalam hal ini pemeliharaan harta si pewasiat yang akan diwasiatkan kepada penerimanya harus dapat dipastikan sampai untuk yang berhak. Pemberian wasiat secara berangsur-angsur dilakukan agar harta yang diwasiatkan dapat membawa manfaat untuk jangka waktu yang lama sehingga tidak sia-sia. Dan juga pemberian wasiat dengan jalan angsuran sering terjadi dalam kasus si penerima wasiat yang masih berada dibawah umur yang mana ia tidak dapat menggunakan hartanya secara baik, maka oleh sebab itu untuk menghindari pemanfaatan dari pihak lain jalan terbaik adalah dengan angsuran sesuai kebutuhan si penerima wasiat namun tidak melebihi dari sepertiga harta yang dimiliki keseluruhan si pewasiat tentunya.Abstract:  The transition of treasures other than religious in Islam, one of which is known as a testament, is through a message of some of its wealth when the person is alive and occurs after the death of a testament. One form of wills is an honorarium. The honorarium will be a testament derived from a Mayite estate, and this type is entered into a will which has a certain size that must be given to the person who has the right to accept a will that has been waged by a person before he passed away, such as annual, monthly, or daily installments, which is no different from his generalized wills in his general drifting system installments. Wills in the form of honorarium is commonly known in the eastern regions such as Egypt. As for the deadline for this honorarium, there is a difference in the opinion of Wahbah Az-Zuhaili who said that an honorarium will not exceed two (2) generations if more then for the other generation is considered void. To obtain an answer from this, in this research the author uses library Research and is done using the method-analysis-comparative methods, namely, describing the concept of the thought of the Wahbah Az-Zuhaili of wills in the form of Honorarium with its legal basis. The results showed that. Wills in the form of the Honorarium is just as other wills are only different in the grade given.  Wahbah Az-Zuhaili uses the special method of law Maqasid Syari'ah (Dharuriyat), which is the interest to preserve wealth. In this case, the maintenance of the property will be disclosed to the recipient must be ensured to the right. Probate will gradually be done so that the declared property can bring benefits for a long period so it is not in vain. And also the provision of a will in installments often occur in the case of the recipient who is still under the age of which he is not able to use his property properly, therefore to avoid the utilization of the other parties the best way is in installments according to the needs of the recipient but not exceeding the third property owned by the wills, of course.