Claim Missing Document
Check
Articles

Found 18 Documents
Search

Criteria of Offenses as Part of Ta'zir Penalty [Kriteria Tindak Pidana yang Diancam Hukuman Ta‘Zir] Misran Misran
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 10, No 1 (2021)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v10i1.10515

Abstract

Abstract: Jarimah is all deeds that are prohibited by God and threatened with hadd and ta'zir punishment. Hadd is the criminal sanctions that have been regulated in such a way in the texts of the Alquran and Al-Hadith, which consist of: hadd for fornication, hadd for qadhaf, hadd for sariqah (theft), hadd for drink, hadd for hirabah (robbery), hadd for al -baghyu (rebellion), and hadd for riddah (apostasy). The seven forms of hadd are the rights of Allah swt. which cannot be changed in future time. The judge in this case only has to decide with authentic evidence that is determined according to Alquran and al-Hadith. Hadd here also includes jarimah qishash/diyat because there is already a limit on the provisions in the texts. Meanwhile, jarimah ta'zir is a crime that is not determined by God, both in the Alquran and Al-Hadith. Therefore, the authority to determine this kind of punishment is ulil amri or the leader for the sake of achieving the benefit of the ummah. There are three criteria for jarimah ta'zir, namely: first, jarimah hudud that does not meet the requirements or there are doubts, second, jarimah qishash that does not meet the requirements or there are doubts, and thirdly, jarimah ta'zir that stands alone, and has nothing to do with jarimah hudud and qishash that do not meet the requirements or there are doubts. Thus, the ta'zir becomes the authority of the leader to determine it and it is also flexible which can change or even be deleted one day because the existence of the ta'zir follows the demands of benefit. Abstrak: Jarimah yaitu segala perbuatan yang dilarang oleh Allah swt. dan diancam dengan hukuman had dan ta’zir. Had adalah tindak pidana dan sanksi pidananya sudah diatur sedemikian rupa dalam nash Alquran dan Al-Hadis, yang terdiri dari: Had zina, had qadhaf, had sariqah (pencurian), had minum, had hirabah (perampokan), had al-baghyu (pemberontakan) dihukum mati, dan had riddah (murtad). Ketujuh bentuk had tersebut merupakan hak Allah swt. yang tidak dapat diubah lagi. Hakim dalam hal ini tinggal memutuskan dengan bukti-bukti otentik yang ditetapkan menurut Al-Qur’an dan Al-Hadis. Had di sini juga termasuk jarimah qishash/diyat, karena sudah ada batas ketentuannya di dalam nas. Sedangkan jarimah ta’zir adalah tindak pidana yang tidak ditentukan oleh Syari’, baik dalam Alquran dan Al-Hadis. Oleh karena itu yang berwenang menentukannya adalah ulil amri atau pemimpin demi tercapainya kemaslahatan umat. Terdapat tiga kriteria jarimah ta’zir, yaitu: pertama, jarimah hudud yang tidak memenuhi syarat atau terdapat syubhat, kedua, jarimah qishash yang tidak memenuhi syarat atau terdapat syubhat, dan yang ketiga, jarimah ta’zir yang berdiri sendiri, tidak ada kaitannya dengan jarimah hudud dan qishash yang tidak memenuhi syarat atau terdapat syubhat. Dengan demikian jarimah ta’zir menjadi kewenangan pemimpin menentukannya. Jarimah ta’zir yang berdiri sendiri bersifat fleksibel yang suatu saat bisa berubah bahkan dihapus, karena keberadaan jarimah ta’zir mengikuti tuntutan kemaslahatan.
The Implementation of Sharia in Aceh (Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh) Misran Misran
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v1i2.1423

Abstract

Implementation of sharia in Aceh is identified as the historical-sociological value. This provision is developed based on the reaction of the Acehnese people who expect the rules of sharia are born through the Qanun. Therefore, imposition of Islamic sharia and how well are they enforced, seems adapted to the prevailing customs and traditions, as proof with the Qanun 9/2009 on the implementation of indigenous life and Qanun 10 of the customary institutions ratified on December 30, 2008, which previously was in the form of local government 7/2003. Then how are the views and the response to the enactment and implementation of sharia in Aceh. This course requires an effort to consider the legal systems that do not experience gaps in supporting the establishment of sharia in Aceh.
The Existence of Gayo Adat Law in Resolving Cases in Kutacane, Southeast Aceh [Eksistensi Hukum Adat Gayo dalam Menyelesaikan Perkara di Kutacane Aceh Tenggara] Misran Misran
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 9, No 1 (2020)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v9i1.7327

Abstract

Abstract: The Gayo community in Kutacane, Southeast Aceh Regency, does not apply Gayo customary law in resolving disputes. The Gayo community in Kutacane uses the customary law of Alas in resolving all disputes/cases in the community. There are four customary law criteria imposed on perpetrators of customary violators, namely: (1) Opat (four), (2) Waluh Eight, (3) Sixteen, and (4) Tige Due. The amount of this customary fine is following the conditions and agreements or decisions of the customary court. Thus, the existence of Gayo customary law in Kutacane, Southeast Aceh is not realized in the life of the Gayo community. However, the implementation of Kutacane customary law in resolving disputes/cases does not conflict with Islamic law, because the customary law integrates Islamic legal values, namely the principle of peace, the principle of forgiveness, and the principle of eliminating revenge. In addition, it is also following the concept of ta'zir punishment in the theory of Islamic criminal law. Ta'zir punishment is a punishment decided by the leader, to realize the benefit. Abstrak: Masyarakat Gayo di Kutacane Kabupaten Aceh Tenggara, tidak menerapkan hukum adat Gayo dalam menyelesaikan sengketa. Masyarakat suku Gayo di Kutacane menggunakan hukum adat Alas dalam menyelesaikan segala sengketa/perkara dalam masyarakat. Terdapat empat kriteria hukum adat yang dijatuhkan kepada pelaku pelanggar adat, yaitu: (1) Opat (empat), (2) Waluh Delapan), (3) Enam Belas, dan (4)Tige Due. Besaran denda adat ini sesuai dengan kondisi dan kesepakatan atau keputusan peradilan adat. Dengan demikian, eksistensi hukum adat Gayo di Kutacane Aceh Tenggara tidak direalisasikan dalam kehidupan masyarakat Gayo. Namun demikian pelaksanaan hukum adat Kutacane dalam menyelesaikan sengketa/perkara, tidak bertentangan dengan hukum Islam, karena dalam hukum adat tersebut terintegrasi nilai hukum Islam, yakni asas perdamaian, asas kemaafan, asas menghilangkan dendam. Di samping itu, juga sesuai dengan konsep hukuman ta’zir dalam teori hukum pidana Islam. Hukuman ta’zir adalah hukuman yang diputuskan oleh pemimpin, untuk mewujudkan kemaslahatan.
Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pasal 332 KUHP Tentang Melarikan Perempuan di Bawah Umur: Analisis Putusan PN.Ba293/Pid/B/2015/PN.Bna Misran Misran; Arif Firmansyah
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 7, No 2 (2018)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v7i2.3976

Abstract

Tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur merupakan salah satu jenis kejahatan delik aduan yang diatur dalam KUHP, yang di ancam dengan pasal 332 ayat (1) ke-1 dan ke-2 dengan hukumunnya tujuh tahun penjara dan paling lama sembilan tahun dalam penjara. Namun dalam putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh No.293/Pid/B/2015/PN.BNA, menyatakan bahwa terdakwa dibebaskan karena ada alasan pemaaf dari keluarga korban serta dengan surat perdamaian dan pencabutan delik aduan dari keluarga korban. Oleh karena itu penelitian ini menarik diteliti untuk menjawab dua pertanyaan penelitian. Pertama, bagaimana dasar hukum dan pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh No.293/Pid/B/2015/PN.BNA, yang kedua bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan hakim putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh No.293/Pid.B/2015/PN.BNA. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data melalui studi kepustakaan (Library Research) yaitu dengan mempelajari dan meneliti sejumlah buku-buku, karya ilmiah, dan dokumen-dokumen yang ada kaitannya dengan topik pembahasan yang diteliti. Data-data yang telah terkumpul tersebut dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode yang berupaya menemukan fakta-fakta seadanya dan berusaha memberikan gambaran atau mendeskripsikan suatu permasalahan yang akan dibahas. Hasil penelitian menunjukan bahwa dasar hukum putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh No.293/Pid/B/2015/PN.BNA yaitu, pertama putusan bebas pasal 191 ayat (1) KUHAP, kedua putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum pasal 191 ayat (2) KUHAP, ketiga putusan pemidanaan pasal 193 ayat (1) KUHAP. Dan pertimbangan  hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh No.293/Pid/B/2015/PN.BNA yaitu, pertama putusan  diambil dengan suara terbanyak, kedua pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa, dan disertai dengan adanya alasan pamaafan dari keluarga korban. Bahwa hukuman bagi pelaku melarikan perempuan di bawah umur dalam KUHP diancam dengan pasal 332 dalam putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh No.293/Pid/B/2015/PN.BNA, dinyatakan dengan putusan bebas dari segala tuntutan karena keluarga korban menyatakan mencabut pengaduan disertai surat perdamaian dari keluaga korban dan alasan pemaaf dari keluarga  korban. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh No.293/Pid/B/2015/PN.BNA, tidak bertentangan dengan hukum pidana Islam karena sesuai dengan konsep ta’zir, hukuman dapat gugur apabila adanya perdamaian dan pemaafan dari korban dan walinya.
Combined Punishment in Islamic Criminal Law Theory [Teori Gabungan Hukuman dalam Hukum Positif Ditinjau Menurut Hukum Pidana Islam] Misran Misran; Desi Royanti
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 9, No 2 (2020)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v9i2.8514

Abstract

Abstract: The combined theory of punishment is a theory that means a threat of punishment that is more than one punishment because there are several crimes committed by the perpetrator. The combined theory of punishment in Islamic law and positive law tends to be different, both regarding the types and forms and in terms of the fulfillment of the principles of legal justice, benefit, and legal certainty. There are two research questions in this paper. First, how is the combined theory of punishment according to positive law? Second, how to fulfill the principles of justice, benefit, and legal certainty in the combined theory of punishment according to positive law. This research was conducted with a literature study approach, in which research data were analyzed qualitatively using descriptive analysis. The results show that: First, the theory of combined punishment according to positive law is included in three theories, namely multiple, absorption, and mixed theories. The three combined theories of punishment are covered in Articles 60 to 71 of the Criminal Code which teaches about the combination of criminal acts of concursus idealism, concursus realis, and voortgezette handelling. Second, the combined theory of punishment according to positive law has fulfilled the principles of justice, expediency, and legal certainty. Third, conceptually, the combined theory of punishment in positive law is not the same as that stipulated in Islamic criminal law. These provisions tend to be looser than those regulated in Islamic law. Islamic law only recognizes the imposition of one penalty for different actions if each action has the same direction and purpose. If the purpose of the legal sanctions is different, the perpetrator must be punished according to the type of crime he has committed. Abstrak: Teori gabungan hukuman merupakan satu teori yang bermakna sebuah ancaman hukuman yang lebih dari satu hukuman sebab ada beberapa kajahatan dilakukan oleh pelaku. Teori gabungan hukuman dalam hukum Islam dan hukum positif cenderung ada perbedaannya, baik mengenai jenis dan bentuk-bentuknya maupun dalam tinjauan pemenuhan asan keadilan hukum, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Ada dua pertanyaan penelitian dalam tulisan ini. Pertama, bagaimanakah teori gabungan hukuman menurut hukum positif. Kedua, bagaimana pemenuhan asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum di dalam teori gabungan hukuman menurut hukum positif. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan studi pustaka, di mana data penelitian dianalisis secara kualitatif dengan cara deskriptif-analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pertama, teori gabungan hukuman menurut hukum positif tercakup dalam tiga teori yaitu teori berganda, penyerapan dan campuran. Ketiga teori gabungan hukuman di atas dicakup dalam Pasal 60 sampai dengan Pasal 71 KUHP yang mengajarkan mengenai gabungan tindak pidana concursus idealis, concursus realis, dan voortgezette handelling. Kedua, teori gabungan hukuman menurut hukum positif sudah memenuhi asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Ketiga, secara konseptual, teori gabungan hukuman dalam hukum positif tidak persis sama dengan yang diatur dalam hukum pidana Islam. Menurut hukum positif, beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pelaku bisa dijatuhi satu jenis hukuman saja, dengan syarat antara satu kejahatan dengan kejahatan yang lain dilakukan dalam masa yang berdekatan atau tidak lama, sehingga di dalamnya masuk tindakan berlanjut. Ketentuan ini cenderung longgar dari pada yang diatur dalam hukum Islam. Hukum Islam hanya mengakui penjatuhan satu hukuman atas tindakan yang berbeda apabila masing-masing tindakan memiliki arah dan tujuan yang sama. Apabila memiliki tujuan sanksi hukum yang berbeda maka pelaku wajib dijatuhi hukuman sesuai jenis pidana yang dilakukannya.
SOSIALISASI QANUN JINAYAT ACEH NO. 6 TAHUN 2014 PADA MADRASAH ALIYAH BLANGKEJEREN KABUPATEN GAYO LUES Misran Misran
Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 9, No 1 (2019)
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/dusturiyah.v9i1.4365

Abstract

There are two questions in the study under study, namely: First, what is the knowledge and understanding of students in Gayo Lues District Madrasah Ali about the implementation of the Jinayat Aceh Qanun Number 6 of 2014? Secondly, What is the knowledge and role of the Gayo Lues District Madrasah Aliyah religious teacher in disseminating to students about the enactment of the 2014 Jinayat Aceh Qanun? This study uses a normative juridical and sociological juridical approach. The normative juridical approach is done by first examining the Aceh regulation or qanun that is relevant to the problem under study. In other words the normative approach is to examine library materials or secondary data which includes primary, secondary and tertiary legal materials. The results showed that Gayo Lues State students in general knew about the implementation of Islamic Shari'a in Aceh, but the majority of them did not know and understand about the material regulated in Aceh No. 3 Qanun. 6 of 2014. Especially they do not know and understand about the terms contained in the Aceh jinayat qanun. Among the terms referred to in the Jinayat Aceh Qanun Number 6 of 2014 are Jarimah / Jinayat, Uqubat, Hudud, Ta'zir, Khamar, Maisir, Khalwat, Ikhtilath, Adultery, Sexual Harassment, Rape, Qadzaf, Liwath, Business. Students only know the term zina, sexual harassment, rape. While the Fiqh teacher knows and understands the qanun, but does not have the authority to socialize it, because the subjects in this madrasa refer to the 2017 revised 2017 curriculum, so the syllabus and lesson plans have been determined by the government based on the curriculum.
URGENCY OF RUNNING HANDLING IN DIVORCE CASE (Study of the Circuit Court Program at the Jantho Syar'iyyah Court) Misran Misran; Mirza Hazaki
Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 10, No 2 (2020)
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/dusturiyah.v10i2.8113

Abstract

According to a 2007 study, the poor face major financial barriers to accessing the Religious Courts relating to court fees and transportation costs to come to court. The Supreme Court responded to these findings by paying great attention to the holding of circuit courts and waiving court fees with the Prodeo process. This response is manifested in the Supreme Court Circular (SEMA) Number 10 of 2010 concerning Guidelines for Legal Aid, which is divided into two attachments, namely attachment A for the General Courts and Annex B for the Religious Courts. Based on data from the Syar'iyah Jantho Court, the divorce case that occurred in Aceh Besar District was classified as high. The divorce rate is the number registered with the Jantho Syar'iyah Court, not including those who are not registered or divorce in secret without being registered with the Jantho Syar'iyah Court. Because traditionally, many people divorce without registering with the Syar'iyah Court, especially those whose social, educational and economic status is middle to lower, coupled with the long distance between their homes and the Syar'iyah Court. Therefore, the problems in this thesis are how the circuit court procedure in divorce cases at the Jantho Syar'iyah Court, how the community's participation in the implementation of circuit courts in divorce cases at the Jantho Syar'iyah Court and how the influence of circuit courts in the social life of the community. With the method of field research (field research) conducted at the Syar'iyah Jantho Court, the result of the research is that the procedure for conducting a circuit court consists of pre-trial stages, namely case registration, appointment of a panel of judges (PMH), appointment of a substitute clerk (PP) and a substitute bailiff. (JSP), Determination of Session Day (PHS), and Summons of the parties. The second stage of the trial is peace efforts, reading of lawsuit / petition, answer-answer, verification, deliberation of the panel of judges, reading of decisions / decisions, implementing the divorce vow and submitting divorce certificates. Insofar as it is implemented, community participation is very high so that it affects public awareness that the termination of a marriage relationship is very important to obtain legal certainty.
PENDIDIKAN ANAK DALAM KELUARGA (Suatu Kajian dalam Perspektif Gender) Misran Misran
Takammul : Jurnal Studi Gender dan Islam Serta Perlindungan Anak Vol 10, No 1 (2021): TAKAMMUL
Publisher : Pusat Studi Wanita UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/takamul.v10i1.12599

Abstract

Proses dan tawaran pendidikan dewasa ini cenderung memperlihatkan adanya ketimpangan dari sisi perolehan pendidikan bagi sang anak di dalam keluarga. Pada kenyataanya pendidikan anak-laki lebih diutamakan daripada pendidikan anak perempuan dalam keluarga. Ketimpangan ini seharusnya bisa dihindari karena keluarga adalah komunitas terkecil yang dapat memudahkan untuk memahami sejumlah kebutuhan sang anak. Akibatnya, anak perempuan adalah pilihan yang harus menerima sanksi mental-pendidikan lantaran praktek budaya patriarkhi. Untuk itu, solusi yang ditawarkan adalah menjadikan nilai profetik agama sebagai upaya pencegahan, agar anak perempuan memiliki hak yang sama dengan anak laki-laki, dan gender sebagai alat ukur untuk merespon praktek masyarakat yang dinilai keliru. Oleh karena itu, etika keislaman menjadi titik ukuran yang dipakai dalam menentukan pendidikan anak dalam keluarga. Bagaimanapun, tujuan dari strategi pendidikan Islam adalah membentuk ruang batin si anak agar memperoleh nilai-nilai Ilahiah. Sementara dalam konteks penentuan strategi pendidikan, nilai-nilai ilahiah perlu diperhatikan agar kadar etika keislaman dapat membentuk mental si anak, termasuk karakteristik jiwa si anak itu sendiri.
MEKANISME PELAKSANAAN HUKUMAN CAMBUK DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ISLAM MISRAN MISRAN
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 2, No 2 (2017)
Publisher : Law Department, Sharia and Law Faculty.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/justisia.v2i2.2650

Abstract

Menurut konsep hukum pidana Islam, ada beberapa kriteria tindak pidana yang diancam dengan hukuman cambuk yang terakumulasi dari beberapa bentuk tindak pidana hudud dan ta’zir, yaitu: qazaf, zina, khamar, khalwat, maisir (judi), saksi palsu dan lain-lain. Hukuman untuk tindak pidana tersebut adalah cambuk, yang jumlah bilanganya tergantung kepada masing-masing kejahatannya. Mekanisme pelaksanaan hukuman cambuk menurut konsep hukum pidana Islam adalah di tempat terbuka, yang dapat dilihat oleh khalayak ramai. Tujuan pelaksanaan hukuman cambuk di tempat-tempat umum adalah untuk tercapainya tujuan dari pelaksanaan hukuman itu sendiri. Adapun tujuannya adalah untuk memberi rasa malu kepada pelakunya, sehingga di masa yang akan datang tidak berani lagi melakukan tindak pidana. Tujuan selanjutnya adalah untuk menjadi pelajaran bagi orang-orang yang melihat pelaksanaan hukuman cambuk, sehingga orang-orang yang melihat prosesi cambuk tidak berani melakukan kejahatan atau tindak pidana. Dengan demikian tujuan atau landasan filosofis pelaksanaan hukuman cambuk di tempat umum adalah untuk pencegahan dan pelajaran. Kata Kunci: Mekanime, Hukuman Cambuk, Hukum Pidana Islam
Al-Mashlahah Mursalah: Suatu Metodologi Alternatif dalam Menyelesaikan Persoalan Hukum Kontemporer Misran Misran
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 1, No 1 (2016)
Publisher : Law Department, Sharia and Law Faculty.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/justisia.v1i1.2641

Abstract

Al-Qur’an dan al-Sunnah adalah sebagai sumber hukum utama dalam menetapkan suatu persoalan hukum yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Namun seiring berkembangnya zaman, maka persoalan hukum barupun bermunculan yang adakalanya tidak dapat diselesaikan dengan sumber hukum yang baku (al-Qur’an dan al-Sunnah), sehingga perlu adanya pengembangan metodologi terbaru untuk menghadapi persoalan-persoalan baru tersebut, tentu saja tanpa mengenyampingkan tujuan yang ingin dicapai oleh kedua sumber utama. Dalam hal ini, sebahagian fuqaha sepakat menawarkan metode mashlahah mursalah sebagai upaya penyelesaian persoalan hukum kontemporer yang muncul pada masa sekarang ini. Metode mashlahah mursalah yaitu kemashlahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci. Mashlahat ini dikatakan mursalah karena ia terlepas dari dalil yang mengesahkan ataupun membatalkannya. Ia merupakan mashlahat mutlaq, yang tidak memiliki kaitan atau gantungan khusus pada teks syari’at, tetapi sesuai dengan ruh syari’at. Kata Kunci: Al-Mashlahah, Mursalah.