Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Pembaharuan Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim Modern Dinamika dan Ragamnya Habibah Nurul Umah; Sadari Sadari
MISYKAT: Jurnal Ilmu-ilmu Al-Quran Hadits Syari'ah dan Tarbiyah Vol 7, No 1 (2022): Misykat: Jurnal-ilmu-ilmu Al-Quran, Hadits, Syariah dan Tarbiyah
Publisher : Pascasarjana Institut Ilmu Al Quran (IIQ) Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33511/misykat.v7n1.86-99

Abstract

Fenomena abad 20 di dunia Islam adanya upaya pembaruan hukum keluarga yang dilakukan oleh negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Hal ini dilakukan sebagai respon terhadap dinamika yang terjadi di tengah masyarakat. Tujuannya secara umum untuk: (1) unifikasi hukum perkawinan, (2) peningkatan status perempuan (3) dan merespon perkembangan dan tuntutan zaman karena konsep fiqh tradisional dianggap kurang mampu menjawabnya. Babak sejarah pembaruan hukum keluarga Islam dimulai dari Turki, sebagai negara pertama yang melakukan reformasi hukum keluarga Muslim, kemudian diikuti Lebanon dan Mesir kemudin Brunei, Malaysia dan Indonesia. Konsepsinya didasarkan pada tiga hal yakni: (1) Konsepsi hukum keluarga, (2) Sumber hukum keluarga yakni Sumber hukum keluarga Islam adalah Al-Qur’an dan Al-Hadis. Kedua sumber tersebut kemudian digali yang hasilnya dapat berupa fiqh, fatwa dan bahkan peraturan perundang-undangan (qânun). (3) Metode dan tujuan pembaharuan hukum keluarga Islam tujuan utamanya adalah untuk terjadinya semacam unifikasi hukum. Sedangkan tujuan utamanya peningkatan status perempuan dengan menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia mencuat kepermukaan bermula dari diakuinya peradilan agama (PA) secara resmi sebagai ‘judicial power’ dalam negara hukum melalui Pasal 10 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970. Lebih lanjut, kedudukan, kewenangan atau yurisdiksi dan organisatorisnya telah diatur dan dijabarkan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, yang mempunyai kewenangan mengadili perkara tertentu: (1) perkawinan, (2) waris, (3) wasiat, (4) hibah, (5) wakaf, (6) infaq,(7) shadaqah, (8) zakat dan (9) ekonomi syariah, bagi penduduk yang beragama Islam.
Fenomena Tingginya Angka Cerai Gugat Di Jakarta Timur dan Solusinya Tanuri Tanuri; Istianah Istianah; Sadari Sadari
MISYKAT: Jurnal Ilmu-ilmu Al-Quran Hadits Syari'ah dan Tarbiyah Vol 7, No 2 (2022): Misykat: Jurnal-ilmu-ilmu Al-Quran, Hadits, Syariah dan Tarbiyah
Publisher : Pascasarjana Institut Ilmu Al Quran (IIQ) Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33511/misykat.v7n2.193-201

Abstract

Penelitian ini dilatar-belakangi karena tingginya angka perceraian di Jakarta Timur. Kami berasumsi bahwa faktor ekonomi adalah faktor yang paling dominan dalam meningkatkan tingginya angka perceraian tersebut. Dan sejatinya setiap insan yang membina rumah tangga menginginkan keluarga yang bahagia dan harmonis. Tidak ada pasangan suami isteri yang berharap rumah tangganya berakhir dengan perceraian, karena semua agama juga memandang bahwa perceraian adalah sesuatu yang tidak baik berkaitan dengan hubungan 2 keluarga suami isteri pasca perceraian maupun dampak terhadap masa depan anak-anak mereka. Melalui penelitian ini kami ingin mengetahui fenomena yang terjadi tentang tingginya angka perceraian di Jakarta Timur dan solusi apa yang bisa kami tawarkan untuk mengurangi angka tersebut. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif dengan pendekatan hukum empiris. Hasil penelitian ini menunjukkan perselisihan dalam rumah tangga, pergi meninggalkan pasangan, murtad atau keluar dari Islam, faktor ekonomi, serta kekerasan dalam rumah tangga menjadi faktor dominan bagi tingginya angka tersebut. Dan solusi yang kami paparkan ada 3 (tiga) hal pentingnya memilih pasangan dengan dasar agama yang baik, selalu dekat dengan ulama, dan tetap menuntut ilmu dalam mengarungi rumah tangga yang penuh tantangan dan godaan.
Hukum Pernikahan Antarumat Beragama di Indonesia: Studi Pemikiran Kontemporer dalam Konsep Islam dan Iman Muhammad Syahrur sadari sadari
AJMIE: Alhikam Journal of Multidisciplinary Islamic Education Vol. 2 No. 2 (2021): Juli-Desember
Publisher : STAI Ma'had Aly Al-Hikam Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32478/ajmie.v2i2.859

Abstract

The marriage laws problem between religious is still not in detail both in legislation and perceptions of religious people. Proven in theory and practice, there is still a polemic in the community. This long debate must be sought to settle up to the point of perception that can accommodate all religious people, for the realization of religious harmony in Indonesia. For this reason, this article offers a new methodology that can flex the tension and pros-cons of marriage between religious law. The concept of Muhammad Syahrur’s Islam and faith is considered able to pass and contribute legal solutions to marriage between religious in Indonesia. The difference in perception lies in the difficulty of categorizing the terms “who are Muslims?” And “who is non-Muslim?” In the Qur'an, the terms appear in three categories, namely: musyrik, ahl al-Kitab and ahl al-iman. With the concept of Syahrur’s Islam and faith, the root of the difference ranges not to the terms, but more on the categorization of “what is Islam?” And “what is faith?” According to Syahrur, Islam refers to the belief in God, days later and good deeds. The faith refers specifically to the actions that follow the teachings of the Prophet Muhammad. All who believe in God, the later days and do good deeds are Muslims. Those who follow the teachings of the Prophet Muhammad are Muslim-believers. Those who participated in the teachings of the Prophet Isa AS were Christian-Muslims, and those who participated in the teachings of the Prophet Musa AS were Jews-Muslim. This Syahrur’s concept needs to be observed and developed further, so that it can provide a complete and contextual legal point on the problem of contemporary Muslims, especially in Indonesia.Problematika hukum pernikahan antarumat beragama, sampai saat ini masih belum terperinci dengan jelas, baik dalam perundang-undangan maupun persepsi umat beragama. Terbukti dalam teori dan praktik, masih terjadi polemik di tengah masyarakat. Perdebatan panjang ini harus diupayakan penyelesaiannya sampai pada titik persepsi yang bisa mengakomodir seluruh umat beragama, demi terwujudnya kerukunan umat beragama di Indonesia. Untuk itu, artikel ini menawarkan metodologi baru yang bisa melenturkan ketegangan dan pro-kontra terkait hukum pernikahan antarumat beragama. Konsep islam dan iman Muhammad Syahrur dinilai mampu meneropong dan menyumbangkan solusi hukum atas pernikahan antarumat beragama di Indonesia. Alasannya, selama ini perbedaan persepsi terletak pada sulitnya mengkategorikan term-term siapa itu muslim? dan siapa itu non-muslim?. Dalam al-Qur’an, term-term itu muncul dalam tiga kategori, yakni: musyrik, ahl al-Kitab dan ahl al-Iman. Dengan konsep islam dan iman Syahrur, maka akar perbedaan berkisar bukan pada term-term tersebut, namun lebih pada pengkategorian apa itu Islam? dan apa itu iman?. Menurut Syahrur, Islam merujuk kepada keyakinan terhadap Tuhan, hari kemudian dan amal saleh. Sementara iman merujuk secara spesifik kepada tindakan yang mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW. Semua yang meyakini Tuhan, hari kemudian dan melakukan amal saleh adalah muslim. Mereka yang mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW adalah muslim-Mukmin. Mereka yang mengikuti ajaran Nabi Isa AS adalah muslim-Kristen, dan mereka yang mengikuti ajaran Nabi Musa AS adalah muslim-Yahudi. Konsep yang dibangun Syahrur ini perlu dicermati dan dikembangkan lebih lanjut, sehingga bisa memberikan titik tolak itjihad hukum yang baru dan kontekstual atas problematika umat muslim kontemporer, khususnya di Indonesia.
Hukum Pernikahan Antarumat Beragama di Indonesia: Studi Pemikiran Kontemporer dalam Konsep Islam dan Iman Muhammad Syahrur sadari sadari
AJMIE: Alhikam Journal of Multidisciplinary Islamic Education Vol. 2 No. 2 (2021): Juli-Desember
Publisher : STAI Ma'had Aly Al-Hikam Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32478/ajmie.v2i2.859

Abstract

The marriage laws problem between religious is still not in detail both in legislation and perceptions of religious people. Proven in theory and practice, there is still a polemic in the community. This long debate must be sought to settle up to the point of perception that can accommodate all religious people, for the realization of religious harmony in Indonesia. For this reason, this article offers a new methodology that can flex the tension and pros-cons of marriage between religious law. The concept of Muhammad Syahrur’s Islam and faith is considered able to pass and contribute legal solutions to marriage between religious in Indonesia. The difference in perception lies in the difficulty of categorizing the terms “who are Muslims?” And “who is non-Muslim?” In the Qur'an, the terms appear in three categories, namely: musyrik, ahl al-Kitab and ahl al-iman. With the concept of Syahrur’s Islam and faith, the root of the difference ranges not to the terms, but more on the categorization of “what is Islam?” And “what is faith?” According to Syahrur, Islam refers to the belief in God, days later and good deeds. The faith refers specifically to the actions that follow the teachings of the Prophet Muhammad. All who believe in God, the later days and do good deeds are Muslims. Those who follow the teachings of the Prophet Muhammad are Muslim-believers. Those who participated in the teachings of the Prophet Isa AS were Christian-Muslims, and those who participated in the teachings of the Prophet Musa AS were Jews-Muslim. This Syahrur’s concept needs to be observed and developed further, so that it can provide a complete and contextual legal point on the problem of contemporary Muslims, especially in Indonesia.Problematika hukum pernikahan antarumat beragama, sampai saat ini masih belum terperinci dengan jelas, baik dalam perundang-undangan maupun persepsi umat beragama. Terbukti dalam teori dan praktik, masih terjadi polemik di tengah masyarakat. Perdebatan panjang ini harus diupayakan penyelesaiannya sampai pada titik persepsi yang bisa mengakomodir seluruh umat beragama, demi terwujudnya kerukunan umat beragama di Indonesia. Untuk itu, artikel ini menawarkan metodologi baru yang bisa melenturkan ketegangan dan pro-kontra terkait hukum pernikahan antarumat beragama. Konsep islam dan iman Muhammad Syahrur dinilai mampu meneropong dan menyumbangkan solusi hukum atas pernikahan antarumat beragama di Indonesia. Alasannya, selama ini perbedaan persepsi terletak pada sulitnya mengkategorikan term-term siapa itu muslim? dan siapa itu non-muslim?. Dalam al-Qur’an, term-term itu muncul dalam tiga kategori, yakni: musyrik, ahl al-Kitab dan ahl al-Iman. Dengan konsep islam dan iman Syahrur, maka akar perbedaan berkisar bukan pada term-term tersebut, namun lebih pada pengkategorian apa itu Islam? dan apa itu iman?. Menurut Syahrur, Islam merujuk kepada keyakinan terhadap Tuhan, hari kemudian dan amal saleh. Sementara iman merujuk secara spesifik kepada tindakan yang mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW. Semua yang meyakini Tuhan, hari kemudian dan melakukan amal saleh adalah muslim. Mereka yang mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW adalah muslim-Mukmin. Mereka yang mengikuti ajaran Nabi Isa AS adalah muslim-Kristen, dan mereka yang mengikuti ajaran Nabi Musa AS adalah muslim-Yahudi. Konsep yang dibangun Syahrur ini perlu dicermati dan dikembangkan lebih lanjut, sehingga bisa memberikan titik tolak itjihad hukum yang baru dan kontekstual atas problematika umat muslim kontemporer, khususnya di Indonesia.