Ihwan Amalih
Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien Prenduan

Published : 8 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Sufisme dalam Perspektif K.H. Muhammad Idris Jauhari Amalih, Ihwan
TEOSOFI: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Vol. 4 No. 1 (2014): June
Publisher : Program Studi Filsafat Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (534.818 KB) | DOI: 10.15642/teosofi.2014.4.1.119-144

Abstract

This article explores Sufism in the perspective of K.H. Idris Muhammad Jauhari. It will also reveal the patterns of his mystical thought. In this study, the author finds that: firstly, in the view of Kiai Jauhari, Sufism is an attempt to straighten out the intention of heart and to understand the essence of deeds conducted by human beings in order to live a life to reach its final destination in accordance with the will of the Creator. Secondly, the patterns of Kiai Jauhari?s mystical thought are: a). Sufism developed by Kiai Jauhari built on a tradition of tasawuf akhlâqî (consistency to maintain Islamic orthodoxy, humanist Sufism, activist and functional, dichotomous relationship pattern between the servant and the Lord as well as the urgency of dhikr Allâh in the spiritual journey toward the Lord), b). Sufism developed and offered by Kiai Jauhari is an effort to redefine and reorient so that Sufism in both theoretical and practical aspect is no longer positioned as being elitist, mystical, and individualist. Kiai Jauhari has developed inclusive Sufism, which is easily accessible by all people. Thirdly, according to Kiai Jauhari there are six steps to become a Sufi, are: îqân al-nafs (convincing one?s self), taqwîn al-niyyah (straightening intention), al-dirâsah wa al-istitlâ? (learning and studying), al-tafakkur wa al-tadabbur (thinking and contemplation), al-takhallî wa al-tahallî (emptying and filling), and al-tajallî (manifestation).
Sufisme dalam Perspektif K.H. Muhammad Idris Jauhari Ihwan Amalih
Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Vol. 4 No. 1 (2014): June
Publisher : Department of Aqidah and Islamic Philosophy, Faculty of Ushuluddin and Philosophy, Sunan Ampel State Islamic University Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (534.818 KB) | DOI: 10.15642/teosofi.2014.4.1.119-144

Abstract

This article explores Sufism in the perspective of K.H. Idris Muhammad Jauhari. It will also reveal the patterns of his mystical thought. In this study, the author finds that: firstly, in the view of Kiai Jauhari, Sufism is an attempt to straighten out the intention of heart and to understand the essence of deeds conducted by human beings in order to live a life to reach its final destination in accordance with the will of the Creator. Secondly, the patterns of Kiai Jauhari’s mystical thought are: a). Sufism developed by Kiai Jauhari built on a tradition of tasawuf akhlâqî (consistency to maintain Islamic orthodoxy, humanist Sufism, activist and functional, dichotomous relationship pattern between the servant and the Lord as well as the urgency of dhikr Allâh in the spiritual journey toward the Lord), b). Sufism developed and offered by Kiai Jauhari is an effort to redefine and reorient so that Sufism in both theoretical and practical aspect is no longer positioned as being elitist, mystical, and individualist. Kiai Jauhari has developed inclusive Sufism, which is easily accessible by all people. Thirdly, according to Kiai Jauhari there are six steps to become a Sufi, are: îqân al-nafs (convincing one’s self), taqwîn al-niyyah (straightening intention), al-dirâsah wa al-istitlâ‘ (learning and studying), al-tafakkur wa al-tadabbur (thinking and contemplation), al-takhallî wa al-tahallî (emptying and filling), and al-tajallî (manifestation).
IDENTITAS MANUSIA DALAM KONSEP INSAN AL-KÃMIL (Studi Atas Pemikiran Abdul Karîm Al-Jilî) Ihwan Amalih; Meihesa Khairul Maknun
El-Waroqoh : Jurnal Ushuluddin dan Filsafat Vol 6, No 1 (2022)
Publisher : Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien Prenduan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28944/el-waroqoh.v6i1.678

Abstract

Fenomena krisis identitas yang dialami manusia di zaman modern kian menggerus pemahaman dan kesadaran manusia akan esensi dan identitas dirinya sendiri. Manusia terlalu mementingkan kebutuhan jasmani daripada kebutuhan rohaninya. Tidak seimbangnya antara kebutuhan jasmani dan rohani manusia menyebabkan manusia kehilangan identitas dirinya. Manusia mulai lupa akan identitasnya sebagai manusia, padahal mengenal identitas diri merupakan kunci seseorang untuk mengenal tuhannya. Untuk mejawab persoalan tersebut, Abdul Karim al-Jili dengan konsep insan kamilnya menjelaskan tentang bagaimana karakteristik  identitas manusia. Penelitian ini ditulis dengan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian library research (studi pustaka). Teori yang digunakan merupakan analisis isi (content analysis) untuk membuat inferensi yang valid dari teks-teks yang relevan dengan pemikiran Abdul Karim al-Jili. Penelitian ini akan membahas: 1. Definisi identitas manusia dan insan kamil. 2. karakteristik identitas manusia dalam konsep insan kamil Abdul Karim al-Jili. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa definisi identitas manusia menurut Abdul Karim al-Jili merupakan keadaan ataupun ciri-ciri yang ada pada diri manusia berupa daya rohaniyah (metafisik) dan lahiriyah (fisikal) yang menguatkan kedudukan manusia sebagai khalifah Allah di muka Bumi. Adapun karakteristik dari identitas manusia dalam konsep insan kamil Abdul Karim al-Jili adalah bahwa al-Jili mendudukkan identitas manusia dalam kerangka konsep insan kamilnya, sehia al-Jili lebih menitikberatkanidentitas manusia pada aspek rohaniyah (metafisik) sekalipun dia tidak menafikan peran lahiriah atau jasmani (fisikal). Kemudian untuk mencapai tingkatan tajalli, dalam rangka pencapaian sebagai manusia yang sempurna, manusia harus mengamalkan nilai-nilai yang ada pada rukun Islam atau peribadatan secara baik dan sempurna baik lahir maupun batin. Dari segi lahir, manusia harus mengamalkan dengan petunjuk-petunjuk syariat. Sementara dari segi batin, manusia harus mampu untuk menghayati makna-makna yang tekandung dalam amalan-amalan dan ibadah yang dilakukan
KONSEP ILMU LADUNÎ DALAM AL-QURAN (STUDY ATAS TAFSIR SUFI AL-QUSYAIRI DALAM LATAIF AL-ISYARAT) Baidawi Baidawi; Ihwan Amalih
El-Waroqoh : Jurnal Ushuluddin dan Filsafat Vol 4, No 2 (2020)
Publisher : Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien Prenduan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (863.592 KB) | DOI: 10.28944/el-waroqoh.v4i2.316

Abstract

Ilmu ladunnî merupakan ilmu yang sangat langka dan tidak sembarangan orang bisa memperolehnya. Untuk memperoleh ilmu ini dibutuhkan tekad yang kuat. Siapa saja yang ingin memperolehnya diharuskan menyucikan hati dari sifat tercela, mendekatkan diri kepada Allah, melakukan dzikrullâh, dan lain lain ketika hatinya telah bersih, maka Allah akan menurunkan ilmu itu ke dalam hatinya. Sehingga, ia pun dapat menerima ilmu Allah secara langsung tanpa belajar. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan jenis penelitian kepustakaan (Library Reseach). Adapun hasil  penelitian ini adalah bahwa makna ilmu ladunî dalam Al-Qur’an merupakan ilmu atau pemahaman yang dianugerahkan oleh Allah kepada seseorang melalui ilham atau wahyu. Kemudian penafsiran Al-Qusyairi tentang ilmu ladunnî dalam Al-Qur’an ialah ilmu yang dimiliki seorang hamba yang diberi rahmat, bukanlah ilmu manusia pada umumnya yang masih bisa difahami melalui hukum sebab akibat. Ilmu tersebut adalah salah satu ilmu ladunnî yang diberikan kepadanya atas kuasa-Nya sebagai hikmah yang dikuasainya. 
MAKNA SABAR DALAM AL-QUR’AN (STUDY KOMPARASI ATAS KISAH NABI YUSUF DAN NABI AYYUB DALAM TAFSIR AL-MISBAH) Bahrul Ulum; Ihwan Amalih
El-Waroqoh : Jurnal Ushuluddin dan Filsafat Vol 5, No 1 (2021)
Publisher : Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien Prenduan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (759.907 KB) | DOI: 10.28944/el-waroqoh.v5i1.272

Abstract

Allah telah memberkati manusia dengan berbagai potensi yang sangat luar biasa sebagai modal untuk mencapai tujuan hidupnya yang diridhoi Allah Swt. Berbagai macam potensi diri yang dimiliki oleh manusia adalah alat yang sangat esensial bagi kehidupan manusia. Diantaranya yaitu tentang potensi kesabaran. Dalam dinamika kehidupan sehari-hari, manusia akan menemukan banyak masalah yang beranekaragam, dengan demikian kekuatan kesabaran akan menjadi alat pengontrol seluruh masalah yang dihadapi. Potensi sabar merupakan sub-potensi manusia yakni turunan dari potensi kalbu. Dalam penyampaikan pentingnya nilai-nilai tentang kesabaran, al-Qur’an sering menggunakan kisah-kisah Nabi dalam medianya. Seperti ayat-ayat yang menjelaskan tentang kisah Nabi Yusuf, Nabi Ayyub, Nabi Nuh, Nabi Muhammad. Artikel ini akan menganalisa secara mendalam makna sabar dalam al-Qur’an yang terdapat dalam kisah Nabi Yusuf dan Nabi Ayyub pada tafsir al-Misbah karya M. Quraisy Shihab melalui riset kepustakaan (library research) dan disajikan secara deskriptif-analitis dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini adalah konsepsi sabar yang terdapat dalam kisah Nabi Yusuf dan Nabi Ayyub  adalah ikhlas dari segala cobaan yang diberikan oleh Tuhan dan menahan diri dari suatu keinginan demi mencapai sebuah kemuliaan. Adapun letak perbedaan dan persamaan karakteristik sabar dalam dua kisah tersebut adalah kesabaran yang ada dalam kisah Nabi Yusuf posisinya adalah sebagai tangga atau syarat bagi beliau, hingga beliau diangkat menjadi seorang Nabi. Sedangkan dalam kisah Nabi Ayyub, kesabaran yang beliau miliki adalah sebagai ujian terhadap keautentikan beliau sebagai seorang Nabi. Dan cobaan yang diberikan kepada Nabi Yusuf berupa cobaan yang bersifat mental dan juga fisik, sedangkan cobaan yang diberikan kepada Nabi Ayyub, lebih condong pada bentuk cobaan fisik saja.
KARAKTERISTIK WANITA ṢÃLIHAH DALAM AL-QUR’AN (Studi Komparatif Tafsîr Al-Sha’râwî Karya Syaikh Mutawallî Al-Sha’râwî Dan Tafsîr Firdaus Al-Na’îm Karya Kyai Thaifur Alî Wafâ) Elliyatul Masruroh; Ihwan Amalih
El-Waroqoh : Jurnal Ushuluddin dan Filsafat Vol 6, No 2 (2022)
Publisher : Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien Prenduan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28944/el-waroqoh.v6i2.704

Abstract

Di zaman sekarang banyak kaum hawa atau para wanita yang mengingkari hak-hak asasinya dengan mengatas namakan Islam, para wanita juga mengikuti gaya barat secara membabi buta tanpa memikirkan sebab dan akibatnya, dengan mengingkari serua-seruan Al-Qur’an. Juga didapati para wanita hari ini yang penuh kontradiksi, melampaui batas, dan berlebih-lebihan dalam sesuatu dan kehidupan sehari-harinya. Seharusnya sebagai wanita. Dalam permasalahan ini terdapat perbedaan wanita shalihah atau karakter wanita shalihah yang dapat dijadikan teladan para kaum wanita. Maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Penafsiran Syekh Mutawalli Al-Sha’rawi tentang ayat-ayat karakteristik wanita Ṣalihah dalam al-Qur’an, serta bagaimana Penafsiran Kyai Thoifur Alî  Wafâ tentang ayat-ayat karakteristik wanita  Ṣalihah dalam al-Qur’an. Dan bagaiamana perbedaan penafsiran Syekh Mutawalli Al-Sha’râwî dalam Tafsîr Al-Sha’râwî dengan Penafsiran Kyai Thoifur Alî  Wafâ dalam Tafsîr  Firdaus Al-Na’îm tentang karakteristik wanita Ṣalihah. Penelitian ini di tulis dengan pendekatan kualitatif denganjenis penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang menitik beratkan pada data-data kepustakaan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif. Dalam penafsiran Syekh Al-Sha’râwî dan Kyai Thaifur, Salah satu wanita yang dapat dijadikan teladan para kaum wanita yang diabadikan dalam al-Qur’an ialah Asiyah bint Muzahim yang  mana keimanan dan ketaqwaaannya kepada Allah SWT sangat tinggi. Yang mana dalam ketaqwaannya terhalang oleh sikap suaminya. Yaitu dengan selalu menghasutnya, menghukumnya dengan sangat kejam agar Asiyah tidak lagi menetap dalam agamanya yakni Islam.
SOLIDARITAS SOSIAL DALAM MASYARAKAT MULTI RELIGIUS DI DESA POLAGAN DUSUN CANDI LAOK GALIS PAMEKASAN Fendi Permana Putra; Ihwan Amalih
El-Waroqoh : Jurnal Ushuluddin dan Filsafat Vol 7, No 1 (2023)
Publisher : Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien Prenduan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28944/el-waroqoh.v7i1.1116

Abstract

Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk (plural society) yaitu sebuah masyarakat negara yang terdiri atau lebih dari 500 suku bangsa, dengan berbagai macam agama dan keperacayaan yang dipersatukan oleh sistem nasional, sebagai bangsa dalam wadahsebuah negara kesatuan Republik Indonesia. Pada kenyataanya untuk memelihara atau merawat masayarakat Indonesia yang majemuk ini tidak mudah. Maraknya konflik sosial politik, juga dan bernuasa agama dalam kehidupan bangsa Indonesia belakangan ini salah satunya disebabkan oleh ketidaksiapan dan ketidakmampuan kita memelihara dan merawat kemajemukan yang ada. Maka dari itu agar tidak menjadi ladang konflik untuk masyarakat majemuk pentingnya bagi kita untuk menanamkan solidaritas sosial. Permasalahan yang diangkat oleh peneliti, Bagaimana bentuk solidaritas sosialmasyarakat multi religius di desa Polagan dusun Candi Laok, Galis Pamekasan? Bagaimana nilai-nilai bentuksolidaritas sosial masyarakat multi religius di desaPolagan dusun Candi Laok, Galis Pamekasan? Untukmegetahui fenomena solidaritas sosial masyarakat ini, maka peneliti menggunakan pendekatan penelitiankualitatif lapangan. Adapun metode yang digunakanadalah metode wawancara, observasi dan dokumetasi. Dari metode ini, kemudian peneliti olah dan analisisuntuk memperoleh data atau informasi. Adapun hasilpenelitian meunjukkan bahwa, bentuk solidaritassosial masyarakat desa Polagan dusun Candi GaliPamekasan, prinsip bentuk solidaritas sosial, prinsipgotong royong, saling menghargai keyakinan, persaudaraan, hukum dan warisan tradisi, dan prinsipnilai-nilai solidaritas sosial, Prinsip Persatuan, Kedamaian, Kesejahteraan Desa Polagan. Sehinggamampu membuat masyarakat desa Polagan menjadidesa yang sangat erat solidasritas sosialnya.Kata Kunci: Solidaritas, Sosial, Masyarakat Multi religius
KEISTIMEWAAN ZAITUN DALAM AL-QUR’AN (Kajian Tafsir Saintifik Perspektif Fakhr Al-Dîn Al-Râzî Dalam Kitab Tafsîr Al-Kabîr Aw Mafâtîh Al-Ghaib) Nabiila Kamalia; Ihwan Amalih
El-Waroqoh : Jurnal Ushuluddin dan Filsafat Vol 7, No 1 (2023)
Publisher : Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien Prenduan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28944/el-waroqoh.v7i1.1224

Abstract

ABSTRAKZaitun merupakan buah yang sering disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits. Di dalam Al-Qur’an ia  disebutkan sebanyak  7 kali dalam ayat yang berbeda. Disebutkan sebanyak 5 kali dengan kata Zaitun, satu kali dengan kata Shajarah Mubârokah dan satu kali dengan kata Shajaratan Takhruju Min ṭurisaynai yang menunjukkan makna Zaitun. Zaitun adalah buah sangat istimewa bagi kaum muslimin, ia mengandung berbagai macam komponen yang berkhasiat bagi kesehatan, terutama minyaknya. Apa yang terkandung dalam minyak Zaitun tidak didapati dalam  jenis minyak lain. Dari uraian di atas, maka penulis ingin mengupas lebih jauh mengenai zaitun dan keistimewaan-keistimewaannya dalam Al-Qur’an prespektif  Fakhr Al-Dîn Al-Râzî. Peneliti memilih tokoh ini karena Fakhr Al-Dîn Al-Râzî adalah dikenal sebagai mufassir yang terkenal dengan penafsirannya di bidang tafsir saintifik, maka fokus penelitian ini adalah bagaimana Zaitun dalam Al-Qur’an prespektif Fakhr Al-Dîn Al-Râzî, dan bagaimana keistimewaan Zaitun menurut Al-Qur’an dan sains prespektif Fakhr Al-Dîn Al-Râzî. Penelitian yang peneliti lakukan ini merupakan penelitian kualitatif pustaka. Dalam analisis ini peneliti menggunakan metode analisis deskriptif, yaitu teknik analisa data yang dilakukan dalam rangka mencapai pemahaman terhadap sebuah fokus kajian yang kompleks, dengan cara memisahkan tiap-tiap bagian dari keseluruhan fokus yang dikaji. Adapun hasil dari penelitian ini, bahwa Zaitun dalam Al-Qur’an menurut Al-Râzî adalah zaitun yang pohonnya tumbuh di Thursinai, dan dijuluki sebagai pohon yang diberkati karena pohonnya berumur Panjang dan tidak tumbuh di timur ataupuna barat. Pohon ini tidak memerlukan perawatan manusia sebagaimana tanaman lain. Buahnya juga mempunyai banyak manfaat. Bisa dimakan langsung ataupun di kupas, perasannya menghasilkan minyak yang baik untuk kesehatan. Minyaknya dapat dikonsumsi sebagai lauk dan dapat dijadikan obat, selain itu minyaknya dapat menjadi bahan bakar pelita. Sedangkan keistimewaan zaitun menurut Al-Râzî dan Sains adalah : 1.Allah bersumpah dengan Zaitun, 2. Allah memuji pohon Zaitun sebagai pohon yang diberkati, 3. Zaitun merupakan bagian dari nikmat yang Allah berikan,4.Zaitun merupakan makanan, lauk dan obat, 5.Pohon Zaitun adalah pohon yang berumur Panjang, 6. Minyaknya jernih, bening dan bercahaya, 7. Minyak Zaitun sangat bermanfaat untuk kesehatan dan kecantikan.