Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Diagnosis Kanker Prostat dalam Perspektif Spesialis Urologi di Indonesia: Sebuah Survei Kuesioner MONOARFA, RICHARD; HAMID, AGUS; MOCHTAR, CHAIDIR; UMBAS, RAINY
Indonesian Journal of Cancer Vol 6, No 3 (2012): Jul - Sep 2012
Publisher : "Dharmais" Cancer Center Hospital

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (13.115 KB)

Abstract

Tujuan: untuk mengetahui upaya diagnosis kanker prostat yang dilakukan oleh spesialis urologi di Indonesia. Metode: Dilakukan pembagian kuesioner yang dirancang sendiri kepada Spesialis Urologi di Indonesia. Kuesioner berisi 11 pertanyaan tentang jenis dan indikasi pemeriksaan yang dilakukan, serta fasilitas yang tersedia di tempat responden dalam penegakan diagnosis kanker prostat.Hasil: Sebanyak 65 (36%) dari 182 (saat penelitian ini dilakukan) spesialis urologi di Indonesia mengembalikan formulir kuesioner. Dari jenis RS primer tempat bekerja terbanyak berasal dari RS swasta (35%), disusul RS pendidikan utama Fakultas Kedokteran (32%). Seluruh responden menjadikan lower urinary tract symptoms (LUTS) sebagai indikasi untuk melakukan pemeriksaan colok dubur. Selain itu, 83% responden juga menjawab bahwa peningkatan PSA sebagai salah satu indikasi pemeriksaan colok dubur. Pemeriksaan PSA dilakukan oleh 72% responden terhadap penderita dengan kecurigaan kanker prostat tanpa melihat usia. Sebanyak 66% responden mengerjakan sendiri pemeriksaan transrektal ultrasonografi (TRUS) dan biopsi, 18% merujuk pada sejawat lain di provinsi yang sama, dan 15% tidak memiliki fasilitas TRUS dan biopsi di provinsi tempat bekerja. Sebanyak 75% responden memiliki fasilitas bone scan di Rumah Sakit primer, atau tersedia di RS pada provinsi yang sama. Indikasi tersering melakukan biopsi prostat adalah pada PSA lebih dari 10 ng/ml tanpa melihat usia. Sebanyak 86% responden melakukan biopsi pada kecurigaan kanker prostat melalui colok dubur tanpa melihat usia. Sembilan puluh persen responden menggunakan antibiotik profilaksis golongan Kuinolon untuk biopsi prostat. Sebanyak 46% menggunakan analgesia oral atau suppositoria atau kombinasi keduanya sebagai analgesia dalam biopsi prostat.Kesimpulan: Dalam mendiagnosis kanker prostat, spesialis urologi di Indonesia melakukan pemeriksaan colok dubur, PSA, dan TRUS biopsi prostat. Namun, masih terdapat perbedaan pendapat tentang indikasi dan waktu dilakukannya masing-masing pemeriksaan. Ketersediaan fasilitas diagnostik juga berpengaruh terhadap diagnostik kanker prostat di Indonesia. Belum tersedianya guideline Nasional pada saat penelitian ini dilakukan, diduga menyebabkan perbedaan pendapat tersebut.Kata kunci: biopsi, diagnosis, kanker prostat, spesialis urologi, TRUS
HUBUNGAN ANTARA SKOR IPSS DAN SKOR IIEF PADA PASIEN BPH DENGAN GEJALA LUTS YANG BEROBAT DI POLI BEDAH RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO Asalia, Margali; Monoarfa, Richard; Lampus, Harsali F.
e-CliniC Vol 3, No 1 (2015): Jurnal e-CliniC (eCl)
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ecl.v3i1.7479

Abstract

Abstract: Lower urinary tract symptoms (LUTS) due to benign prostatic hyperplasia (BPH) are common in elderly men. In addition to LUTS, patients with BPH also often experience erectile dysfunction (ED). According to the data obtained from 30 BPH patients with symptoms of LUTS using the international prostate symptoms score (IPSS), 53.3% had symptoms of LUTS with a severe degree, and based on the international index of erectile function (IIEF), BPH patients with LUTS symptoms and ED were found to have erectile function (EF) as much as 26.7% with a mild and severe degree, orgasmic function (OF) as much as 40% with a severe degree, sexual intercourse function (SI) as much as 46.7% with a mild-to-moderate degree, sexual satisfaction (SS) as much as 33.3% with a severe degree and overall satisfaction (OS) as much as 43.3% with a mild degree. In this study, the investigators wanted to examine the relationship between the IPSS with the IIEF scores in BPH patients with symptoms of LUTS in the outpatient surgery department of Prof. Dr R. D. Kandou General Hospital Manado. Based on the results of the spearman correlation test, relationship between the IPSS with the IIEF score yielded EF (R: 0.372), OF (R: 389), SI (R: 0.129), SS (R: 0.351), OS (R: 0, 84). These results suggest the presence of a relationship between IPSS and IIEF scores.Keywords: IPSS, IIEF, LUTS, BPHAbstrak: Lower urinary tract symptoms (LUTS) yang disebabkan oleh benign prostatic hyperplasia (BPH) merupakan suatu kondisi yang sering terjadi pada pria usia lanjut. Selain gejala LUTS, pasien BPH sering juga disertai dengan disfungsi ereksi (DE). Menurut data yang diperoleh dari 30 pasien BPH dengan gejala LUTS dengan menggunakan International prostate symptoms score (IPSS) didapatkan 53,3% mengalami gejala LUTS dengan derajat berat dan pasien BPH dengan gejala LUTS yang mengalami DE dengan menggunakan skor international index of erectile function (IIEF) ditemukan fungsi ereksi (FE) sebanyak 26,7% dengan derajat ringan dan berat, fungsi orgasme (FO) sebanyak 40% dengan derajat berat, hubungan seksual (HS) sebanyak 46,7% dengan derajat Ringan-sedang, kepuasan seksual (KS) sebanyak 33,3% dengan derajat berat dan kepuasan menyeluruh (KM) sebanyak 43,3% dengan derajat ringan. Dengan melakukan penelitian ini, peneliti ingin mengetahui hubungan antara skor IPSS dengan skor IIEF pada pasien BPH dengan gejala LUTS di poli Bedah RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Berdasarkan hasil uji kolerasi menggunakan spearman untuk mengetahui hubungan antara skor IPSS dengan skor IIEF didapatkan FE (R:0,372), FO (R: 389), HS (R:0,129), KS (R: 0,351), KM (R: 0,84). Dari hasil tersebut dapat dilihat adanya hubungan antara skor IPSS dan skor IIEF.Kata kunci: IPSS, IIEF, LUTS, BPH
Perbandingan Efektifitas Antibiotik Ceftriaxone dan Ciprofloxacine pada Penderita Infeksi Saluran Kemih di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Wardhana, Sasangka H.; Monoarfa, Alwin; Monoarfa, Richard
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 10, No 3 (2018): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.10.3.2018.21984

Abstract

Abstract: Urinary tract infection (UTI) is the most common infection affecting about 40% of women in their lives. Most infections are mild, albeit, they might cause sepsis. This study was aimed to compare the effectiveness of ceftriaxone to ciprofloxacin in patients with UTIs at Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital Manado. This was an observational study with a cross sectional design implemented from September 2017 until January 2018. Subjects were divided into two groups, Gram positive and Gram negative bacterial infections. Data were analyzed by using the chi-Square test. The results showed that in the Gram negative group, the significance value did not support the difference between efficacy of ciprofloxacin and of ceftriaxone (r = 0.366; P >0.05). However, in the Gram positive group, there was a significant difference (r = 0.003; P <0.05) between the efficacy of the two kinds of antibiotics. Conclusion: Ciprofloxacin was more effective compared to ceftriaxone for the treatment of Gram positive urinary tract infectionKeywords: urinary tract infection (UTI), ceftriaxone, ciprofloxacineAbstrak: Infeksi saluran kencing (ISK) merupakan infeksi tersering yang mengenai sekitar 40% dari populasi perempuan dalam hidupnya. Walaupun umumnya infeksi berlangsung ringan, ISK dapat juga menyebabkan sepsis. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas ceftriaxone dan ciprofloxacin pada pasien dengan ISK di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jenis penelitian ialah observasional dengan desain potong lintang. Penelitian ini dilaksanakan sejak September 2017 sampai Januari 2018. Subyek penelitian dibagi dalam dua kelompok, ISK oleh bakteri Gram positif dan oleh Gram negatif. Data dianalisis menggunakan chi-square test. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pada kelompok Gram negatif, tidak terdapat perbedaan bermakna antara efektivitas ciprofloxacin dan ceftriaxone (r=0,366; P>0,05) namun pada kelompok Gram positif, terdapat perbedaan bermakna antara efektivitas kedua jenis antibiotik (r=0,003; P<0,05). Simpulan: Ciprofloxacin lebih efektif dibandingkan ceftriaxone pada pengobatan ISK yang disebabkan oleh bakteri Gram positif.Kata kunci: infeksi saluran kencing (ISK), ceftriaxone, ciprofloxacine
Hubungan antara intravesical prostatic protrution, International prostatic symptom score, dan uroflowmetry pada kasus benign prostatic hyperplasia di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado ., Jefri; Monoarfa, Alwin; Aschorijanto, Ainun; Monoarfa, Richard; Tubagus, Vonny
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 9, No 2 (2017): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.9.2.2017.16361

Abstract

Abstract: Benign prostatic hyperplasia (BPH) is a prostatic gland enlargement due to hyperplasia of its glandular tissue and stroma which can cause low urinary tract symptoms (LUTS). This prostatic gland enlargement could be evaluated by using intravesical prostatic protrution (IPP) with transabdominal ultrasound. This study was aimed to analyze the relationship among IPP, LUTS (evaluated by using International prostate symptom score/IPSS), and uroflowmetry in BPH patients at Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital Manado. This was an observational analytical correlation study with a cross sectional design. Subjects were BPH patients at Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital from August 2016 to December 2016. IPP with transabdominal ultrasound, IPSS, and uroflowmetry were evaluated in all subjects. Data were anlayzed by using Spearman correlation test. The results showed that there were no significant relationships between IPP and uroflowmetry (r = -0.243; P = 0.165); IPP and IPSS (r = 0.173; P = 0.246); and uroflowmetry and IPSS (r = 0.091; P = 0.360). Conclusion: There were no significant relationships among IPP with transabdominal ultrasound, IPSS. and uroflowmetry.Keywords: IPP, LUTS, uroflowmetryAbstrak: Benign prostatic hyperplasia (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat yang disebabkan oleh hiperplasia jaringan kelenjar dan komponen stroma yang dapat menyebabkan low urinary tract symptoms (LUTS). Pembesaran kelenjar prostat dapat dievaluasi dengan intravesical prostatic protrution (IPP) menggunakan transabdominal ultrasonografi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara IPP, LUTS (yang dinilai dengan International prostate symptom score; IPSS) dan uroflowmetry pada pasien BPH di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jenis penelitian ialah korelasi analitik observasional dengan studi potong lintang. Subyek penelitian ialah pasien BPH di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado sejak bulan Agustus 2016 hingga Desember 2016. Pada semua subyek penelitian dilakukan evaluasi IPP menggunakan transabdominal ultrasonografi, IPSS, dan uroflowmetry. Data dianalisis dengan uji korelasi Spearman. Hasil analisis hubungan antara IPP dan uroflowmetry menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara keduanya (r = -0,243; P = 0,165). Hasil analisis hubungan antara IPP dan IPSS menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara keduanya (r = 0,173; P = 0,246). Hasil analisis terhadap hubungan antara uroflowmetry dan IPSS menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara keduanya (r = 0,091; P = 0,360). Simpulan: Tidak terdapat hubungan bermakna antara hasil evaluasi IPP secara transabdominal ultrasonografi, IPSS, dan uroflowmetry.Kata kunci: IPP, LUTS, uroflowmetry
Karakteristik dan Motivasi Augmentasi Penis dengan Komplikasinya di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou dan RS Jejaring Purba, Adrian; Astram, Ari; Monoarfa, Richard
Jurnal Biomedik : JBM Vol 10, No 2 (2018): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.10.2.2018.20091

Abstract

Abstract: Penile augmentation is an individual effort to enlarge one’s penile size for his sexual satisfaction and his mate without functional alteration. This study was aimed to obtain the profile of motivation, sexual satisfaction, mental distortion, and complications in patients with penile augmentation. This was a descriptive categorical study with a retrospective approach. This study was conducted at Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital and its link hospitals for 10 months involving 23 patients; most of them (34.78%) were 26-35 years old. Most patients (61%) had internal motivation based on NSSS scale >30. Based on ulcer free period, 3 patients had free period of ulcer I; no patient had free period of ulcer II. Based on pain scale, 14 patients (60.87%) had pain scale of <5 and 9 patients (39.13%) had pain scale of >5. Most complications were in the form of ulcers located in preputium (56.52%). The relationships between motivation and NSSS scale before and after penile augmentation were analyzed using Fisher exact test which obtained P = 0.000 for relationship between motivation and NSSS scale (sexual satisfaction) before and after penile augmentation and P = 0.360 between post augmentation (with its complications) and sexual satisfaction. Conclusion: Patients with penile augmentation were internally and externally motivated without any mental distortion. There was a significant relationship between internal motivation and penile augmentation as well as between motivation and sexual satisfaction. Albeit, there was no significant relationship bewteen complications of penile augmentation and sexual satisfaction. Most patients suffered complications.Keywords: penile augmentation, NSSSAbstrak: Augmentasi penis merupakan usaha individu untuk membesarkan ukuran penis demi memenuhi hasrat seksual dan pasangannya tanpa perubahan fungsi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran motivasi, kepuasan seksual, adanya gangguan jiwa, dan komplikasi pada pasien yang melakukan augmentasi penis. Jenis penelitian ialah deskriptif kategorik dengan pendekatan retrospektif. Penelitian ini dilakukan di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou dan RS jejaring selama 10 bulan yang melibatkan 23 pasien. Rentang usia pasien 16-59 tahun, terbanyak pada usia 26-35 tahun (34,78%). Sebagian besar pasien (61%) dengan motivasi secara internal berdasarkan skala NSSS>30. Berdasarkan periode bebas ulkus didapatkan 3 pasien dengan periode bebas ulkus I; tidak didapatkan pasien dengan periode bebas ulkus II. Berdasarkan skala nyeri didapatkan 14 pasien (60,87%) dengan skala nyeri <5 dan 9 pasien (39,13%) dengan skala nyeri >5. Lokasi komplikasi terbanyak berupa ulkus di preputium (56,52%). Analisis menggunakan Fisher exact terhadap hubungan motivasi dan skala NSSS sebelum dan sesudah augmentasi penis memper-lihatkan hubungan antara motivasi dan kepuasan seksual dengan nilai P = 0,000 (<0,05) serta hubungan antara pasca augmentasi (beserta komplikasi) dan kepuasaan seksual dengan nilai P = 0,360 (>0,05). Simpulan: Pasien yang melakukan augmentasi penis termotivasi secara internal dan eksternal tanpa adanya distorsi gangguan psikiatrik. Terdapat hubungan bermakna antara motivasi internal dan augmentasi penis serta antara motivasi melakukan augmentasi penis dan kepuasan seksual. Tidak terdapat hubungan bermakna antara komplikasi augmentasi penis dan kepuasaan seksual. Hampir seluruh pasien disertai komplikasi.Kata kunci: augmentasi penis, NSSS
Diagnosis Kanker Prostat dalam Perspektif Spesialis Urologi di Indonesia: Sebuah Survei Kuesioner RICHARD MONOARFA; AGUS HAMID; CHAIDIR MOCHTAR; RAINY UMBAS
Indonesian Journal of Cancer Vol 6, No 3 (2012): Jul - Sep 2012
Publisher : National Cancer Center - Dharmais Cancer Hospital

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33371/ijoc.v6i3.201

Abstract

Tujuan: untuk mengetahui upaya diagnosis kanker prostat yang dilakukan oleh spesialis urologi di Indonesia. Metode: Dilakukan pembagian kuesioner yang dirancang sendiri kepada Spesialis Urologi di Indonesia. Kuesioner berisi 11 pertanyaan tentang jenis dan indikasi pemeriksaan yang dilakukan, serta fasilitas yang tersedia di tempat responden dalam penegakan diagnosis kanker prostat.Hasil: Sebanyak 65 (36%) dari 182 (saat penelitian ini dilakukan) spesialis urologi di Indonesia mengembalikan formulir kuesioner. Dari jenis RS primer tempat bekerja terbanyak berasal dari RS swasta (35%), disusul RS pendidikan utama Fakultas Kedokteran (32%). Seluruh responden menjadikan lower urinary tract symptoms (LUTS) sebagai indikasi untuk melakukan pemeriksaan colok dubur. Selain itu, 83% responden juga menjawab bahwa peningkatan PSA sebagai salah satu indikasi pemeriksaan colok dubur. Pemeriksaan PSA dilakukan oleh 72% responden terhadap penderita dengan kecurigaan kanker prostat tanpa melihat usia. Sebanyak 66% responden mengerjakan sendiri pemeriksaan transrektal ultrasonografi (TRUS) dan biopsi, 18% merujuk pada sejawat lain di provinsi yang sama, dan 15% tidak memiliki fasilitas TRUS dan biopsi di provinsi tempat bekerja. Sebanyak 75% responden memiliki fasilitas bone scan di Rumah Sakit primer, atau tersedia di RS pada provinsi yang sama. Indikasi tersering melakukan biopsi prostat adalah pada PSA lebih dari 10 ng/ml tanpa melihat usia. Sebanyak 86% responden melakukan biopsi pada kecurigaan kanker prostat melalui colok dubur tanpa melihat usia. Sembilan puluh persen responden menggunakan antibiotik profilaksis golongan Kuinolon untuk biopsi prostat. Sebanyak 46% menggunakan analgesia oral atau suppositoria atau kombinasi keduanya sebagai analgesia dalam biopsi prostat.Kesimpulan: Dalam mendiagnosis kanker prostat, spesialis urologi di Indonesia melakukan pemeriksaan colok dubur, PSA, dan TRUS biopsi prostat. Namun, masih terdapat perbedaan pendapat tentang indikasi dan waktu dilakukannya masing-masing pemeriksaan. Ketersediaan fasilitas diagnostik juga berpengaruh terhadap diagnostik kanker prostat di Indonesia. Belum tersedianya guideline Nasional pada saat penelitian ini dilakukan, diduga menyebabkan perbedaan pendapat tersebut.Kata kunci: biopsi, diagnosis, kanker prostat, spesialis urologi, TRUS