Asti Widuri, Asti
Departement Of Otorhinolaryngology Head And Neck Surgery, Faculty Of Medicine And Health Science, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Published : 25 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 17 Documents
Search
Journal : Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan

Hubungan Umur Deteksi Ketulian dengan Tingkat Intelegensi Siswa di SLB-B Karnnamanohara Yogyakarta Adhiapto, Luhur Budi; Widuri, Asti
Jurnal Mutiara Medika Vol 12, No 3 (2012)
Publisher : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Deteksi ketulian pada anak khususnya sebelum usia 3 tahun yang kemudian dilakukan intervensi dini akan menghasilkan perkembangan anak yang sangat memuaskan. Akan tetapi, deteksi dini ketulian di Indonesia masih dilaksanakan secara pasif. Hal ini menyebabkan keterlambatan deteksi dan intervensi yang diberikan pada anak, sedangkan dampak ketulian pada anak khususnya ketulian prelingual sangat besar dan dapat berpengaruh pada masa depan anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan deteksi dini ketulian terhadap tingkat intelegensi siswa di SLB-B Karnnamanohara. Jenis penelitian adalah observasional dengan rancangan cross sectional. Subjek penelitian adalah 35 siswa SLB-B Karnnamanohara terbagi dua kelompok yaitu kelompok deteksi dini (<3 tahun) dan terlambat (>3 tahun) dengan total sampling. Pengambilan data menggunakan kuesioner untuk pengelompokkan status umur deteksi ketulian dan tes intelegensi CPM (Coloured Progressive Matrices) untuk menilai tingkat intelegensi siswa yang dikelompokkan menjadi tingkat intelegensi dibawah rata-rata (<25%), rata-rata (75% > x >25%) dan diatas rata-rata (>75%). Data dianalisis menggunakan Crosstab dilanjutkan uji Spearman. Hasil penelitian menunjukkan nilai signifikansi hubungan antara umur deteksi ketulian dengan tingkat intelegensi adalah p=0,321 (p>0,05). Disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara umur deteksi ketulian dengan tingkat intelegensi siswa di SLB-B Karnnamanohara Yogyakarta. Early detection of deafness in hearing loss children especially before 3 years old and then followed by early intervention will produced a satisfactory child’s growth. In other hand, early detection of deafness children in Indonesia still were done passively. This situation can make late detection and late intervention that given to the children, however deafness impact to the children, especially for prelingual deafness is very huge, and can influence with the child’s future. This research is purposed to know the relation between early detection of deafness with degree of intelligence in Karnnamanohara Hearing Impaired School of Yogyakarta. Design of the research is observational and the data taken by croossectional. Research’s subject were all of the Karnnamanohara Hearing Impaired School of Yogyakarta’s student, the amount were 35 students that devided into two groups, early detection group (<3 years old) and late detection group (>3  years old). The data taken by questionaire to classified the status of age of deafness’s detection and CPM  (Coloured Progressive Matrice) intelligency test to assess the degree of intelligence that finally divided into under average (<25%), average (75%>x>25%), and above average (>75%). Collected data was analysed with Crosstab continued with Spearmann Test. The result showed the significancy value for the relation between the age of deafness’s detection with the degree of intelligency
Terapi Antibodi IgE pada Rinitis Alergi Widuri, Asti
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 9, No 1 (2009)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Allergic rhinitis is a highly prevalent respiratory disease, affecting up to 40% of the population in some countries, and has an important impact on quality of life. Although a number of different drug types are available for treating allergic rhinitis, antihistamines are currently considered first line therapy. Most current treatments only relieve symptoms and do not modify the course of the disease. IgE may play a role in allergic sensitization, interaction between allergens and IgE leads to activation of mast cell, with consequent release of histamine andother pro-allergic mediators. IgE therefore potentially represents an important target for pharmacological intervention in allergic rhinitis.Rinitis alergi adalah penyakit saluran pernafasan yang tinggi prevalensinya, mengenai sampai 40% populasi di beberapa negara, dan menimbulkan dampak yang serius pada kualitas hidup. Meskipun bermacam-macam obat dapat digunakan untuk mengobati rinitis alergi, antihistamin yang merupakan pilihan obat pertama. Hampir seluruh pengobatan rinitis alergi hanya ditujukan untuk mengurangi gejala tetapi tidak merubah perjalanan penyakitnya. IgE kemungkinan berperan pada proses sensitisasi, interaksi antara alergen-alergen dengan IgE akan mengaktivasi sel mast yang akan mengeluarkan histamin dan mediator-mediator alergi yang lain. Sehingga IgE memiliki potensi sebagai target intervensi pengobatan secara farmakologis yang penting dalam penanganan rinitis alergi.
Kemampuan Membaca pada Anak Tuna Rungu di SLB-B Karnnamanohara Yogyakarta Widuri, Asti
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 10, No 1 (2010)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Reading activity is an important factor in almost all aspects of life and is significantly correlated with gaining information and knowledge. Speech perception, production and the development of language are closely associated as well as become the key of learning to reading process. Deaf children who received early intervention at SLB-B Karnnamanohara, actually to improve verbal communication ability at the optimal age of speech and language development were expected to have optimal language quotient in order to support their learning to read process and gain normal reading ability. The aim of this study is to identify the reading ability of deaf children at SLB-B Karnnamanohara Yogyakarta. The design of this study was descriptive. The subjects were all student at SLB-B Karnnamanohara Yogyakarta who met the inclusion and exclusion criteria. Reading skill test was conducted when the subjects had received 1 year training minimally. The average of reading ability score of deaf children at SLB-B Karnnamanohara Yogyakarta is 11, 89 or 74%. The deaf children that reach over the average score were 63%. Higher average score was found in early training, higher class, feminin, hearing aid wearing children.Kegiatan membaca merupakan faktor yang penting dalam hampir seluruh aspek kehidupan dan berhubungan secara signifikan dengan pencapaian informasi dan pengetahuan. Persepsi suara, produksi suara dan perkembangan bahasa berhubungan sangat erat bahkan menjadi kunci dalam proses belajar membaca. Anak tuna rungu yang mendapatkan intervensi awal di SLB-B Karnnamanohara secara nyata meningkatkan kemampuan komunikasi verbal pada masa optimal perkembangan bicara dan bahasa sehingga mencapai kecerdasan bahasa yang optimal yang mendukung kegiatan belajar membaca pada anak tuna rungu sehingga dapat mencapai kemampuan membaca yang normal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui skor kemampuan membaca pada anak tuna rungu yang bersekolah di SLB-B Karnnamanohara Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, sampel diambil dari seluruh siswa SLB-B Karnnamanohara yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Tes kemampuan membaca diberikan pada siswa yang telah mendapatkan minimal 1 tahun pendidikan. Rata-rata hasil skor tes kemampuan membaca pada anak tuna rungu di SLB-B Karnnamanohara adalah 11,89 atau 74%. Anak tuna rungu yang mempunyai skor kemampuan membaca diatas rata-rata adalah 63%, Skor lebih tinggi diperlihatkan pada anak dengan pendidikan awal, kelas yang lebih tinggi, anak dengan jenis kelamin wanita, dan anak yang memakai alat bantu dengar.
Hubungan antara Tingkat Pendidikan Orang Tua dengan Kesadaran untuk Deteksi Dini Gangguan Pendengaran pada Bayi Baru Lahir Widuri, Asti; Susyanto, Bambang Edy; Supriyatiningsih, Supriyatiningsih
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 19 No 1: January 2019
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Gangguan pendengaran pada anak-anak di negara yang belum ada program deteksi gangguan pendengaran pada bayi baru lahir diawali dari kecurigaan saat anak terlambat bicara. Keterlambatan deteksi tersebut karena kurangnya pengetahuan orang tua terhadap perkembangan bicara dan bahasa sebelum anak berumur 2 tahun. Tujuan penelitian ini adalah melihat pengaruh tingkat pendidikan orang tua terhadap sikap/kesadaran tentang deteksi gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. Penelitian dengan desain potong lintang menilai pendidikan orang tua dan sikap terhadap pemeriksaan deteksi gangguan pendengaran pada bayi baru lahir dilakukan pada orang tua/pasien klinik Asri Medical Centre Yogyakarta (AMC) bulan Juni-Juli 2018. Hasil penelitian menunjukkan 55 responden, 6 (10,9%) dengan pendidikan sangat tinggi, 42 (76,3%) dengan pendidikan tinggi, dan 7 (12,7%) dengan pendidikan menengah. Hasil uji Chi-square menunjukkan tidak adanya pengaruh yang bermakna antara skor pendidikan orang tua, pengetahuan tentang tumbuh kembang anak, usia dan jumlah anak terhadap sikap orang tua pada program deteksi gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. Tingkat pendidikan orang tua tidak berpengaruh pada sikap positif/tertarik pada program deteksi dini pemeriksaan pendengaran, sehingga dibutuhkan kebijakan pemerintah agar deteksi dini gangguan pendengaran berjalan optimal.
Bising Lingkungan Tempat Tinggal Kota Sebagai Faktor Risiko Presbiakusis Widuri, Asti; Kurniawati, Dewi Kartika
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 11, No 1 (2011)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v11i1.929

Abstract

Seperti organ-organ yang lain, telinga pun mengalami kemunduran pada usia lanjut dari derajat yang ringan sampai dengan yang berat yang akan menimbulkan banyak masalah bagi penderita dengan orang-orang sekitarnya. Ketulian pada usia lanjut (presbiakusis) disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah bising tempat tinggal. Untuk lebih mengetahui efek faktor lingkungan tempat tinggal kota terhadap terjadinya presbiakusis perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Desain penelitian adalah cross sectional. Penelitian dimulai dengan mengidentifikasi data dari rekam medis pasien yang positif menderita presbiakusis dengan pasien yang negatif. Kemudian diteliti ada atau tidaknya faktor risiko tempat tinggal dari pasien. Dalam penelitian ini digunakan 94 sampel yang dibagi dalam 47 sampel terdiagnosis presbiakusis dan 47 lainnya terdiagnosis non-presbiakusis. Selanjutnya digunakan uji analisis chi-square terhadap variabel diagnosis dengan variabel lainnya. Hasil pada penelitian ini didapatkan terdapat perbedaan yang bermakna antara diagnosis dengan tempat tinggal sampel di lingkungan kota dan desa dengan nilai p=0,023 (p 0,05). Disimpulkan bahwa didapatkan perbedaan yang bermakna antara kejadian presbiakusis dengan lingkungan tempat tinggal sampel, yang berarti bahwa bising lingkungan tempat tinggal berpengaruh terhadap kejadian presbiakusis.
Paresis Nervus Fasialis pada Otitis Media Supuratif Kronik Tipe Unsafe Widuri, Asti
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 5, No 2 (2005)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v5i2.1871

Abstract

Manifestasi klinis otitis media supuratif kronis (OMSK) dapat dibagi dalam dua jenis yaitu OMSK benigna atau tubotimpanal dan OMSK maligna atau attikoantral, yang jenis terakhir ini dapat menimbulkan komplikasi intra dan ekstrakranial.Paresis saraf kranialis adalah salah satu komplikasi ekstrakranial OMSK maligna, disebabkan tumbuhnya kolesteatom timpani yang progresif, destruktif dan merupakan ciri khas OMSK maligna. Paresis saraf fasialis yang disebabkan oleh OMSK maligna bila diketahui sedini mungkin dan cepat ditanggulangi secara operatif akan kembali normal karena bersifat reversibel.Dilaporkan satu kasus OMSK maligna dengan komplikasi paresis yang ditemukan lebih dini dan segera dilakukan operasi mastoidektomi, dekompresi saraf fasialis serta eksplorasi kavitas timpani yang hasilnya mengalami kesembuhan.The chronic suppurative otitis media (CSOM) manifestation is divided into two types, there are the benign type or tubotympanic type and the malignant type or atticoanthral type, the latest can occur intracranial and extracranial complication.Facial nerve paresis is one of the extracranial complication due to malignant type CSOM, caused by progresif cholesteatom grotwh and invasion process JFacial nerve paresis as a extracranial complication due to malignant type CSOM if can detect early and as soon as possibel perform decompression will be back to normal function because still reversibel.A case report of chronic suppurative otitis media malignant type with paresis facialis nerve complication that detected early, perform mastoidectomy operation, facialis nerve dehompression and tympanic cavity exploration have been succes to facialis nerve function.
Pengaruh Rintis Alergi terhadap Kelelahan Bersuara pada Remaja Puspita, Erika Zahra Fristy Praja; Widuri, Asti
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 13, No 1 (2013)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v13i1.1052

Abstract

Kelelahan bersuara akibat lingkungan kerja merupakan kombinasi dari efek vokasional, personalitas dan faktor biologi. Faktor biologi yang dimaksud adalah semua faktor yang dapat menyebabkan gangguan pada mukosa pita suara seperti merokok, minum alkohol, kafein, sinusitis, penyakit alergi dan Gastroesophageal Refluks Disease (GERD). Reaksi alergi dan infeksi saluran napas atas menyebabkan suara menjadi serak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh rinitis alergi terhadap kualitas bersuara. Penelitian analitik observasional dengan desain kohort retrospektif. Subjek penelitian ini adalah 64 mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UMY yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Instrumen penelitian ini menggunakan Voice Handicap Index dan kuesioner rinitis alergi yang sudah tervalidasi. Hasil uji Chi-square menunjukkan adanya hubungan antara variabel rinitis alergi dengan kelelahan bersuara secara signifikan (p 0,05). Selanjutnya uji regresi nominal didapatkan penderita rinitis alergi memiliki kecenderungan 6,9 kali lebih besar mendapatkan kelelahan bersuara dibandingkan yang tidak menderita rinitis alergi (RR=6.9). Hasil uji regresi logistik terdapat pengaruh konsumsi kafein terhadap kelelahan bersuara (p 0.05). Rinitis alergi yang berlangsung lama dapat berpengaruh pada viskoelastisitas pita suara sehingga terdapat pengaruh rinitis alergi terhadap kelelahan bersuara dibandingkan seseorang yang normal atau tidak mempunyai rinitis alergi, meskipun faktor penggunaan suara, penggunaan kafein, dan faktor lingkungan atau perilaku masih harus dipertimbangkan. Voice fatigue due to work environment is a combination of vocational, personality and biological factors. Biological factors are all factors that may cause vocal cord mucosa such as smoking, drinking alcohol, caffeine, sinusitis, allergic diseases, and Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Allergic reactions and upper respiratory infections cause a hoarse voice. This research aim to know influence of allergic rhinitis on quality of voice. Research used observational analytic with a retrospective cohort design. The subjects were 64 students of Medical Study Programme FKIK UMY accordance with the inclusion and exclusion criteria. The research instrument were Voice Handicap Index and allergic rhinitis questionnaire that has been validated. Chi-square test results showed there was an association between allergic rhinitis variables with voice fatigue significantly (p 0.05). Furthermore, nominal regression showed allergic rhinitis had a tendency 6,9 times more likely to get  voice fatigue than non suffered allergic rhinitis (RR = 6.9). Results of logistic regression there is the influence of caffeine consumption on voice fatigue (p 0.05). Prolonged allergic rhinitis can affect the viscoelastic vocal cords so it was concluded that there was an effect of allergic rhinitis to voice fatigue of Medical students at universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Although the factor of use of voice, use of caffeine, and environmental or behavioral factors still should be considered.
Faktor Risiko Gangguan Pendengaran pada Skrining Pendengaran Bayi Baru Lahir di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Susyanto, Bambang Edy; Widuri, Asti
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 15, No 1 (2015)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v15i1.2491

Abstract

Jenis ketulian neonatus yang banyak dijumpai adalah sensori. Upaya habilitasi hanya dengan memasang alat bantu dengar dan melatih dengan metode audiovisual. Habilitasi sangat efektif bila dilakukan pada periode perkembangan bicara anak sekitar usia 9 bulan sampai 3 tahun. Untuk itu perlu dideteksi dini adanya ketulian pada neonatus, dan segera dimulai habilitasi pendengaran. Penelitian ini untuk mengetahui frekuensi jenis faktor risiko yang potensial penyebab ketulian neonatal. Penelitian ini menggunakan rancang penelitian potong lintang, dengan menggunakan alat otoacoustic emission (OAE) untuk deteksi ketulian neonatus yang lahir antara bulan Januari dan December 2014 di RS PKU Muhammadiyah. Faktor risiko di lihat dalam rekam medik, data dianalisis menggunakan  chi-square. Faktor risiko ketulian yang paling banyak adalah hiperbilirubin sejumlah 44 (53.0%) kasus, prematuritas sejumlah 30 (36.1%) kasus, ventilasi mekanik sejumlah 27 (32.5%) kasus, dan BBLR sejumlah 16 (19.3%). Uji statistik chi-square menunjukkan p=0,001 pada risiko BBLR. Disimpulkan BBLR menjadi salah satu risiko gangguan pendengaran pada skrining pendengaran bayi baru lahir.The most common congenital neonatus hearing loss is sensory disorder. The habilitation is wearing hearing aids, and audiovisual training. Effective habilitation  if perform at optimal early childhood speech development around 9 month to 3 years old. For this reason need early neonatus hearing detection and habilitation. The aims to know the frequency and potential of neonatal hearing loss risk factors.  The method by cross sectional method newborns were tested with OAE screening test, between Januari 2014 and December 2014 in PKU Muhammadiyah Hospital. From medical report all risk factors data and analyzed by chi-square.  Most hearing impairment risk factors are hyperbilirubinemia 44 (53.0%) cases, prematurity 30 (36.1%) cases, mechanical ventilation 27 (32.5%) cases, and low birth weight LBW 16 (19.3%) cases. By chi-square shown p=0,001 for low birth weight. LBW as one of risk factor to  hearing impairment at newborn hearing screening.
Otitis Media Supuratif Kronik Maligna dengan Tetanus Widuri, Asti
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 8, No 1 (2008)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v8i1.1656

Abstract

The chronic otitis media is a chronic middle ear infection followed by producing discharge continuously or intermittently, the perforated tympanic membrane and normally with hearing disorder. It is divided into two types, there are 1) the safe type, the infection limited to mucous membrane, normally does not affect the bone, seldom inducing dangerous complication and without cholesteatoma. 2) the unsafe type, the infection passed throught periosteum and often inducing dangerous intra and extracranial complications. Tetanus is an infectious disease that caused by exotoxin produced by Clostridium tetani, the symptom is increasing tonus and skeleton muscle spasm. The spasm begin from masseter muscle and could spreading to all of the body. Respiratory muscle spasm can caused mortality in tetanus infection. During more or less four decades of the antibiotic era, during this era there are many benefit found, including therapy in serious injury that tetanus not become as threatening. But in slighted little injury such as dental infection, ulcer diabetic, intravena tool user, and middle ear infection there were as risk factors of tetanus infection. Unsafe chronic suppurative otitis media that happen erosion bone process can produced anaerobic condition and become a risk factor on Clostridium tetani growth. A case of the chronic suppurative otitis media unsafe type with abcess retroauricular and tetanus infection treated by ENT and Internal department Dr. Sardjito hospital was reported. After sufficient therapy, the tetanus infection was cured and the patient prepared for radical mastoidectomy operation to eradication the focal infection and the risk factor to tetanus infection.Otitis media kronik (OMK) adalah infeksi telinga tengah yang berlangsung lebih dari dua bulan ditandai dengan keluarnya cairan mukopurulen secara terus-menerus, perforasi membran timpani dan penurunan pendengaran, dibagi menjadi duajenis yaitu 1) tipe benigna, jika infeksi terbatas pada mukosa tidak mengenai tulang, jarang menimbulkan komplikasi dan tanpa kolesteatom.2) tipe maligna, jika infeksi menyebabkan erosi tulang (adanya kolesteatom) dapat menimbulkan komplikasi ekstrakranial maupun intrakranial. Tetanus adalah suatu penyakit infeksi kuman Clostridium tetani yang mengeluarkan eksotoksin, ditandai dengan meningkatnya tonus dan spasme otot rangka. Gejala kaku dan kejang otot rangka, biasanya pertama kali mengenai otot-otot-rahang dan leher kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Kematian biasanya disebabkan karena spasme pada otot-otot pernafasan. Selama lebih dari 4 dekade era antibiotik tetanus bukan merupakan ancaman pada trauma besar, tetapi pada luka kecil yang terabaikan seperti infeksi gigi, ulkus diabetik, pemakai alat-alat intravena dan infeksi telinga tengah merupakan faktor risiko infeksi tetanus. Otitis media kronik tipe maligna yang disertai proses erosi pada tulang dapat menimbulkan suasana anaerob dan merupakan faktor risiko untuk pertumbuhan bakteri Clostridium tetani. Telah dilaporkan sebuah kasus tetanus pada pasien Otitis Media Supuratif Kronik tipe maligna dengan abses retroauricular, dilakukan perawatan bersama dari bagian THT dengan bagian UPD dan dilakukan operasi mastoidektomi dengan tujuan untuk pembersihan fokal infeksi dan menghilangkan faktor risiko terjadinya infeksi tetanus.
Hubungan Umur Deteksi Ketulian dengan Tingkat Intelegensi Siswa di SLB-B Karnnamanohara Yogyakarta Adhiapto, Luhur Budi; Widuri, Asti
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 12, No 3 (2012)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v12i3.1031

Abstract

Deteksi ketulian pada anak khususnya sebelum usia 3 tahun yang kemudian dilakukan intervensi dini akan menghasilkan perkembangan anak yang sangat memuaskan. Akan tetapi, deteksi dini ketulian di Indonesia masih dilaksanakan secara pasif. Hal ini menyebabkan keterlambatan deteksi dan intervensi yang diberikan pada anak, sedangkan dampak ketulian pada anak khususnya ketulian prelingual sangat besar dan dapat berpengaruh pada masa depan anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan deteksi dini ketulian terhadap tingkat intelegensi siswa di SLB-B Karnnamanohara. Jenis penelitian adalah observasional dengan rancangan cross sectional. Subjek penelitian adalah 35 siswa SLB-B Karnnamanohara terbagi dua kelompok yaitu kelompok deteksi dini (3 tahun) dan terlambat (3 tahun) dengan total sampling. Pengambilan data menggunakan kuesioner untuk pengelompokkan status umur deteksi ketulian dan tes intelegensi CPM (Coloured Progressive Matrices) untuk menilai tingkat intelegensi siswa yang dikelompokkan menjadi tingkat intelegensi dibawah rata-rata (25%), rata-rata (75% x 25%) dan diatas rata-rata (75%). Data dianalisis menggunakan Crosstab dilanjutkan uji Spearman. Hasil penelitian menunjukkan nilai signifikansi hubungan antara umur deteksi ketulian dengan tingkat intelegensi adalah p=0,321 (p0,05). Disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara umur deteksi ketulian dengan tingkat intelegensi siswa di SLB-B Karnnamanohara Yogyakarta. Early detection of deafness in hearing loss children especially before 3 years old and then followed by early intervention will produced a satisfactory child’s growth. In other hand, early detection of deafness children in Indonesia still were done passively. This situation can make late detection and late intervention that given to the children, however deafness impact to the children, especially for prelingual deafness is very huge, and can influence with the child’s future. This research is purposed to know the relation between early detection of deafness with degree of intelligence in Karnnamanohara Hearing Impaired School of Yogyakarta. Design of the research is observational and the data taken by croossectional. Research’s subject were all of the Karnnamanohara Hearing Impaired School of Yogyakarta’s student, the amount were 35 students that devided into two groups, early detection group (3 years old) and late detection group (3  years old). The data taken by questionaire to classified the status of age of deafness’s detection and CPM  (Coloured Progressive Matrice) intelligency test to assess the degree of intelligence that finally divided into under average (25%), average (75%x25%), and above average (75%). Collected data was analysed with Crosstab continued with Spearmann Test. The result showed the significancy value for the relation between the age of deafness’s detection with the degree of intelligency