This Author published in this journals
All Journal Edulib
Euis Rosinar, Euis
Unknown Affiliation

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

KIAT-KIAT PEMBERDAYAAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH Rosinar, Euis
Edulib Vol 4, No 1 (2014)
Publisher : Universitas Pendidikan Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.17509/edulib.v4i1.1174

Abstract

AbstractA combination of experts’ idea-generating, dignitaries in librarianship, and decision makers’ concerns at the level of Government should have been made capable of realizing libraries as the facilitator of teaching-learnig process with promising outcomes. Bright learners by way of efforts made in terms of an ever enhanced curriculum should have been developing to sophisticated personalities and geared towards humans with qualities. What has gone in practice proves to be swerving to some extent in that some sort of comprehensive model of running library services is due needed: a standing structure built in the middle of the scholl; collections including books, non-books, digital; and truly Librarian (i.e. main manager of the intellectual asset). Any most interesting activities possible need to be created to make library an area of “play” being the goal of a means to accelerating a reading habit especially among children in their early age. The librarian’s new paradigm should manage to penetrate the academic area of teachers in order that their collaboration with the teaching staff gives the chance to the library’s functioning in an optimal way.Keywords: School library, school library design, school library activities ABSTRAKPerpaduan rancang-gagas pakar, dignitary kepustakawanan, dan decision makers pada tataran Pemerintah seharusnya telah mewujudkan perpustakaan sebagai fasilitas proses belajar-mengajar yang mumpuni. Pembelajar yang dicerdaskan oleh upaya pencanggihan kurikulum sekolah seyogianya bertumbuh menjadi pribadi yang unggul dan berkembang ke arah insan yang berkualitas. Kenyataan di lapangan saat ini memerlukan suatu model menyeluruh penyelenggaraan perpustakaan: gedung yang berdiri tegap ditengah-tengah sekolah; koleksi buku, non-buku, digital; dan Pustakawan (baca: pengelola utama aset intelektual) seutuhnya. Kegiatan-kegiatan menarik harus dikreasikan untuk menjadikan perpustakaan sebagai area “bermain” yang dimaksudkan sebagai ajang penumbuhan minat baca terutama pembelajar usia dini. Paradigma baru Pustakawan selayaknya merambah ke wilayah akademik pengajar agar kolaborasinya kelak berimbas pada berfungsinya perpustakaan secara optimal.Kata kunci: Perpustakaan sekolah, tata ruang perpustakaan sekolah, kegiatan perpustakaan sekolah
PERAN PENTING FRIENDS of LIBRARY DIDALAM MEMELIHARA KEBERLANGSUNGAN FUNGSI PERPUSTAKAAN Rosinar, Euis
Edulib Vol 4, No 2 (2014)
Publisher : Universitas Pendidikan Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.17509/edulib.v4i2.1135

Abstract

ABSTRACTLibrary needs friends. Friends, who are in the library and do something for it, are called friends of library. Friends of library are a non-profit organization consisting a group of people who are very concerned about the library. Friends of library raise money legally through varieties of activities to support unfunded library’s programs and do advocacy. The fundamental structures must be clearly stated to successfully manage the organization. Addressing the structures well will maintain the organization as it is expected in the long run. Keywords: friends of library, advantages of friends of library, disadvantages of friends of library, fundamental structures                                                                               ABSTRAKPerpustakaan memerlukan sahabat.  Sahabat yang berada dan berjuang untuk perpustakaan disebut sahabat perpustakaan (Friends of Library). Sahabat perpustakaan merupakan organisasi nirlaba yang dibentuk karena kepedulian sekelompok orang terhadap keberlangsungan fungsi perpustakaan. Mereka menggalang dana secara  sah dan legal melalui berbagai cara yang dilakukan untuk membantu perpustakaan dalam berbagai kegiatan dan advokasi. Aturan dan tata tertib perlu dibuat agar tidak timbul masalah antara anggota sahabat perpustakaan dan staf perpustakaan dan kelompok sahabat perpustakaan tetap berada pada jalurnya untuk bekerja dengan baik. Kata kunci: sahabat perpustakaan, masalah sahabat perpustakaan, langkah-langkah membentuk sahabat perpustakaan, keuntungan sahabat perpustakaan.
PERAN PUSTAKAWAN MENYUDAHI PLAGIARISME Rusmono, Doddy; Rosinar, Euis
Edulib Vol 2, No 1 (2012)
Publisher : Universitas Pendidikan Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.17509/edulib.v2i1.2259

Abstract

AbstrakPlagiarisme secara “tak sengaja” bisa  terjadi hanya karena “lupa” menyitat. Isi sebuah paragraf bisa tampil sama sekali berbeda dalam hal penggunaan kata tetapi masih bermakna sama (stylish plagiarism) untuk mengantarkan seseorang masuk ke kategori plagiaris. Pada peradaban kuno Yunani, banyak master piece dijiplak begitu saja tanpa sanksi berarti. Di daratan Eropa pada tahun 1601 dikenal isitilah plagiarius yang dijulukkan kepada kegiatan melakukan praktik plagiarisme. Sementara sekarang, 412 tahun kemudian, di kalangan Mahasiswa sangat populer istilah “kopas” atau kopi paste (copy and paste) untuk menyiasati menumpuknya tugas dari Dosen untuk mata kuliah tertentu. Terlepas dari ancaman hukuman yang diberlakukan, plagiarism tetap terus berkibar. Sebesar 40% staf pengajar di Jerman terlibat skandal plagiarism. Sebesar 70% Mahasiswa di Amerika Serikat menjiplak karya orang lain untuk penyelesaian tugas-tugas (THA –Take Home Assignment) yang sarat dibebankan Dosen. Karena ada kesamaan antara plagiarisme dengan korupsi, maka harus ada pemberantasannya. Salah satu garda terdepan yang handal untuk menyudahi praktik plagiarism adalah Pustakawan. Sebagai professional, Pustakawan mengagungkan nilai kejujuran (academic honesty). Pustakawan sudah saatnya diberi peran yang lebih dari porsi yang sekarang didapat. Berkeahlian didalam literasi informasi melalui liaison, Pustakawan perlu diberi peran yang strategis agar dapat membantu staf pengajar dalam menyediakan segala bentuk sumber informasi melalui web dan menyediakan software pendeteksi plagiarisme untuk meneliti keaslian karya tulis ilmiah Mahasiswa yang ditengarai sebagai bukan hasil karya sendiri. Peran baru Pustakawan di era keterbukaan informasi dan perkembangan teknologi dimana informasi tersedia dengan bebas di dunia maya dan dengan mudah di”kopas”, sudah selayaknya diberikan oleh pihak universitas. Pustakawan sebagai pemeran yang berdiri di garda terdepan dalam penyediaan dan pelayanan jasa informasi dapat bersumbangsih besar didalam dunia akademik karena Pustakawan adalah kaum profesional yang berdiri netral dan tidak pernah mempunyai kepentingan apapun selain memberikan pengabdian yang terbaik dalam dunia pendidikan, yang salah satunya, dengan turut serta aktif dalam menyudahi plagiarism dalam segala bentuk dan gayanya. Kata Kunci : Plagiarism, Mahasiswa, Pustakawan, Kejujuran. Abstract                    Plagiarism done “unintentionally” might take place because of “being unaware” to cite. Content of a paragraph can be perfectly different in terms of the wording used yet still remains the same in meaning (stylish plagiarism) to lead someone to a category of a plagiarist. In the era of ancient Greece, there were a bunch of Master Piece being plagiarized without any significant sanctions. Throughout Europe in the year of 1601 was spread out a term of plagiarius  labeled to a practice of plagiarism. Today, though, 412 years afterwards, students are familiarized with the term “kopas” or kopi paste (copy and paste) to ameliorate abundant of take-home assignments (THA) to be written by the instruction of lecturers from certain courses. Aside from the penalty imposed, plagiarism  flourishes. As much as 40 percent faculty members in Germany were involved in the scandal of plagiarism.  Even more impressive was some facts that 70% students in the United States of America copy someone else’s work to produce THAs as required by faculty members. For the reason that plagiarism is considered equal to corruption to some extent, an act of elimination must be taken. One of the frontiers in terms of eliminating the plagiarism is librarians. As professionals, librarians hold in high esteem a value of academic honesty. It is high time the librarians were given a chance to play the role more that they have been holding. Being expert in the field of information literacy through a liaison mode, librarians should be awarded strategic roles to empower them to assist faculty in providing various kinds of information sources through the Web and software available. This, will in turn enable a team in working harmoniously to detect plagiarism and examine students’ work giving signals of acclaiming someone else’s work. A new role in the era of openness of information and the advancement of technology where information is freely accessed copied in today’s virtual world is given by schools and departments. Librarians who stand in the frontlines in giving services of information will remain neutral in terms of judging swerves which may take place in work produced by students or any other prospectus writers. Librarians would have no other interest but giving their best concerns in education, which, one of them is getting involved actively in bringing plagiarism to an end in its various styles and forms.          Key words: librarian, honesty, information, work, plagiarism.
PUSTAKAWAN, TUNJUKKAN GREGETMU! Rosinar, Euis
Edulib Vol 1, No 1 (2011)
Publisher : Universitas Pendidikan Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.17509/edulib.v1i1.1146

Abstract

AbstrakEra lama Pustakawan akan segera berakhir. Pustakawan berparadigma baru sudah saatnya menghidup-cerahkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Selama tiga puluh tahun profesi Pustakawan berkiprah, citra melekat yang kurang pas harus bergeser ke arah yang sebenarnya, yaitu pencerahan citra di satu sisi dan pengakuan masyarakat luas di sisi lainnya. Di Negara-negara maju, perpustakaan menjadi satu-satunya cerminan “kelas” sebuah lembaga pendidikan. Di Indonesia, jargon “jantungnya pendidikan” menjadi populer secara terabaikan: jantung yang sakit dan dibiarkan tetap berdenyut seadanya. Era tahun 1980-1990 menandai suramnya Pustakawan dengan citranya yang terpinggirkan. Citra yang berbanding terbalik dengan keadaan dimana Pustakawan adalah bagian elit politik dan berkedudukan sangat strategis sebagai sosok kepercayaan para penguasa pemerintahan. Profesi yang dilabelkan sebagai A Feminine Profession di sebuah Negara adidaya karena 83% Pustakawannya adalah wanita, perlu memanfaatkan peluang untuk justru menampilkan sisi cerdas seorang berprofesi Pustakawan tanpa harus mengusung citra wanita secara universal. Momen penting ini akan berupa semakin banyaknya jumlah Pustakawan di Indonesia karena mulai tahun 2013 seluruh sekolah dari tingkat SD sampai SMA/K harus memiliki perpustakaan yang dikelola dan ditangani Pustakawan murni – seseorang berpendidikan ilmu perpustakaan dan tuntas-fokus didalam pekerjaan profesinya. Seperti Dokter, Guru, dan Dosen, para Pustakawan ini akan bersertifikasi untuk apa yang sepatutnya dilabelkan yaitu berkiprah secara kompeten dan professional seutuhnya. Saatnya sudah tiba untuk para professional yang pernah terpinggirkan ini untuk menunjukkan gregetnya atau “taringnya”. Perlu ditunjukkan bahwa Bunny Watson – Bunny Watson baru akan bermunculan dan mencerahkan. Kata Kunci: Pustakawan