Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Pembagian Harta Warisan secara Adat pada Masyarakat Bolaang Mongondow Naskur Naskur; Effendy Tubagus; Fahri Fijrin Kamaru
Al-Mujtahid: Journal of Islamic Family Law Vol 2, No 1 (2022)
Publisher : IAIN Manado

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30984/ajifl.v2i1.1886

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan fenomena pembagian harta warisan secara adat masyarakat Bolaang Mongondow dan meninjau proses tersebut dalam kacamata Islam. masyarakat Bolaang Mongondow tidak menggunakan hukum waris seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur'an melainkan adat pembagian harta warisan yang ditinggalkan. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dengan mengumpulkan data secara wawancara kepada para tokoh agama yang mengerti proses pembagian warisan secara adat tersebut. Hasil yang ditemukan adalah masyarakat Bolaang Mongondow dalam perihal pembagian harta warisan mengutamakan pembagian secara adat. Proses pembagian secara adat ini dimana pembagian antara satu dara baik laki-laki maupun perempuan adalah sama. Orang-orang di Bolaang Mongondow tidak mengutamakan hukum Islam dalam hal pewarisan karena sudah menjadi kebiasaan menggunakan pembagian adat dalam pembagiannya, dan juga dikhawatirkan akan terjadi perpecahan jika seseorang menggunakan hukum Islam karena bagian-bagiannya yang ditentukan dalam Al-Qur'an. Meskipun begitu ada juga masyarakat yang mengikuti aturan Islam dalam pembagian warisan hal ini dibebaskan kepada masyarakat dalam masalah pembagian hak harta warisan.
Muslim Society's Response to the New Rule of Marriage Age Rosdalina Bukido; Nurlaila Harun; Muhammad Alwi; Fahri Fijrin Kamaru
AL-ISTINBATH : Jurnal Hukum Islam Vol 8, No 1 May (2023)
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Curup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29240/jhi.v8i1.5521

Abstract

This study aims to describe the response of the Muslim community to the new marriage age regulation. The existence of this new provision reaps pros and cons because the community and the government understand the age of marriage, especially Muslim people, who basically consider the age limit for marriage to be when they have reached puberty. This research was conducted in North Sulawesi with a qualitative-descriptive research type and a sociological approach. Data was collected through interviews with informants starting from the community level, religious leaders and community leaders and then analyzed in a descriptive way. The results obtained are that there is a strong religious doctrine and public ignorance of the issuance of Law no. 16 of 2019. With this rule in place, they hinder many couples who are ready to get married. Most people show an attitude of disapproval of the 19-year age limit for marriage. For society, the law does not look good, especially for those who are not yet 19 years old. The community’s understanding is that both partners have reached puberty, as explained in Islamic teachings. Even so, for religious figures to show the opposite attitude, the 19-year marriage penalty rule is very necessary because it involves emotional and economic stability in living a household life. Actually, the implementation of Law No. 16 of 2019 could be more effective if Perma No. 15 of 2019 was also socialized because they related it to the purpose and reasons for the intended marriage age limit. There is a lack of public understanding of the 19-year age limit for marriage because Law No. 16 of 2019, which is socialized, is only a prohibition which prohibits it. Perma No. 15 of 2019 is the answer to the regulatory age limit for marriage at 19 years, which is always questioned in society.
Pemahaman Petani Cengkeh Terhadap Zakat Pertanian di Desa Sapa Timur Kecamatan Tenga Safirah Anissa Utiah; Ardi Damopolii; Fahri Fijrin Kamaru
Al-'Aqdu: Journal of Islamic Economics Law Vol 2, No 1 (2022): June
Publisher : IAIN Manado

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30984/ajiel.v2i1.1992

Abstract

Pemahaman petani cengkeh terhadap zakat pertanian adalah hal yang harus diketahui oleh semua petani. Dalam megeluarkan sebagian harta hasil pertanian untuk zakat aalah hal yang hukumnya wajib untuk mereka yang beragama islam. Zakat tidak hanya diperuntukkan untuk mereka yang berkeluarga saja, bekerja maupun mempunyai profesi (zakat profesi) namun dalam hal zakat ini, mereka yang memiliki kebun pertanian wajib mengeluarkan zakat dari hasil pertanian mereka yang disebut sebagai zakat pertanian. Bagi masyarakat Desa Sapa Timur, pertanian merupakan salah satu mata pencaharian yang paling dominan. Namun sebagian besar petani di Desa Sapa Timur masih sangat minim pengetahuannya mengenai konsep zakat pertanian yang wajib untuk dikeluarkan setiap memanen hasil dari kebun mereka, misalnya kebun cengkeh yang banyak ditemui di Desa Sapa Timur Kecamatan Tenga. Dalam hal zakat pertanian ini, petani di Desa Sapa Timur kurang memahami bagaimana mengelola hasil panen mereka untuk dikeluarkan sebagai zakat pertanian, baik dari jumlah batasan harta yang wajib di keluarkan (Nisab), Kemampuan (Kadar), dan kapan waktu dalam mengeluarkan zakat pertanian. Sehingga hal yang wajib untuk dikeluarakan dalam hal ini zakat pertanian kurang optimal dilakukan oleh sebagian petani di Desa tersebut.