Supardjo Supardjo
Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Published : 1 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 1 Documents
Search

Warisan Intelektual bidang Pengobatan Tradisional dalam Naskah Racikan Boreh Saha Parem karya ISKS Pakoeboewono IX sebagai Peninggalan Leluhur Supardjo Supardjo; Sudarsini Sudarsini
Jumantara: Jurnal Manuskrip Nusantara Vol 2, No 2 (2011): Desember
Publisher : Perpustakaan Nasional RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (196.735 KB) | DOI: 10.37014/jumantara.v2i2.139

Abstract

Hingga dewasa ini masyarakat masih mengakui peranan obat tradisional dan masih mempertahankan serta mengembangkannya. Oleh karena itu dalam rangka peningkatan dan pemerataan pelayanan kesehatan masyarakat, obat tradisional perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya dan dikembangkan agar lebih berdaya guna dan berhasil guna. Obat tradisional yang merupakan hasil karya nenek moyang bangsa Indonesia memiliki fungsi sosial yakni sebagai penunjang pemeliharaan dan peningkatan kesehatan masyarakat. Masyarakat akan merasa aman dalam menggunakannya dan akan lebih percaya atas khasiatnya bila dilakukan pemantauan terhadap efek samping dari pemakaiannya. Hal tersebut menjadi tugas bagi pemerintah, produsen, ilmuwan obat, dan konsumen. Tulisan ini mengidentifikasi dan membahas ramuan boreh saha parem serta pemanfaatannya terhadap naskah Jawa. karya ISKS Pakoeboewono IX dengan judul Racikan Boreh saha Parem no katalog 37 koleksi Perpustakaan Museum Radya Pustaka. Naskah ini hanya memuat jenis pengobatan luar saja yakni sebanyak 47 macam ramuan boreh, dan 34 macam ramuan parem. Pada awalnya pengobatan tersebut dibuat hanya untuk kalangan kraton khususnya untuk putri-putri kraton. Ramuan tersebut perlu dirahasiakan agar kecantikannya tidak mudah ditiru, dan dimiliki oleh orang awam sehingga mendukung kedudukannya sebagai kalangan orang atas. Pengukuran atau penentuan dosis secara tradisional dilakukan dengan cara kira-kira, misalnya sejimpit, sanyari, sakuwik, sagegem, sacowok, saduman, sathithik, dan sebagainya. Jadi sulit untuk dimengerti dan untuk menentukan ukuran yang tepat. Walaupun para peramu yang sudah terbiasa dengan pekerjaan tersebut seolah tangannya sudah dapat mengukur dengan sendirinya seperti seorang ibu yang sedang membuat bumbu masakan. Tetapi untuk mencapai hasil yang lebih baik, aman, dan tingkat yang lebih luas pemasarannya maka perlu dibuat standarisasi.