Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENERAPAN HUKUMAN MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA (Suatu Tinjauan Yuridis Normatif) LAIA, LAKADODO
JURNAL EDUCATION AND DEVELOPMENT Vol 5 No 1 (2018): Vol.5. No.1 Juli 2018
Publisher : Institut Pendidikan Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2780.207 KB)

Abstract

Masalah kebijakan penanggulangan kejahatan korupsi akhir-akhir ini masih mendapatkan sorotan tajam dari berbagai kalangan baik masyarakat, profesional maupun dari kalangan penegakan hukum itu sendiri. Berbagai aspek penegakan hukum yang dibicarakan, salah satunya adalah masalah reformasi hukum dan keadilan, “supremasi hukum” dalam arti bahwa peranan pendidikan tinggi hukum dalam meningkatkan kualitas penegakan hukum dan berintegritas moral/berkeimanan/berkeilmuan. Untuk menghasilkan penegak hukum yang berkualitas dan berintegritas  tersebut sebagai upaya dalam kebijakan penanggulangan kejahatan, maka peranan lain yang merupakan bagian dari kebijakan sosial, yang secara strategis dilakukan melalui 3 (tiga) tahap, yaitu tahap formulasi hukum oleh lembaga legislatif, tahap penerapan hukum oleh pengadilan, dan tahap eksekusi. Dalam hal kebijakan dalam penegakan hukum yang berkualitas dilakukannya terobasan baru dalam hukum pidana korupsi, dengan menerapan kebijakan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dianggap lebih efektif dibandingkan dengan memberikan sanksi pidana penjara, kurungan atau denda dan/atau pidana berupa pembayaran uang pengganti kepada pelaku. Penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 Ayat (2) UU PTPK (spesialis derogate) dan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (generalis derogate) manakala pelaku melakukan perbuatan korupsi dalam “keadaan tertentu”. Keadaan tertentu yang dimaksud adalah keadaan yang dapat dijadikan sebagai alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter.
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENERAPAN HUKUMAN MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA (Suatu Tinjauan Yuridis Normatif) LAKADODO LAIA
Jurnal Education and Development Vol 5 No 1 (2018): Vol.5.No.1.2018
Publisher : Institut Pendidikan Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2780.207 KB) | DOI: 10.37081/ed.v5i1.642

Abstract

Masalah kebijakan penanggulangan kejahatan korupsi akhir-akhir ini masih mendapatkan sorotan tajam dari berbagai kalangan baik masyarakat, profesional maupun dari kalangan penegakan hukum itu sendiri. Berbagai aspek penegakan hukum yang dibicarakan, salah satunya adalah masalah reformasi hukum dan keadilan, “supremasi hukum” dalam arti bahwa peranan pendidikan tinggi hukum dalam meningkatkan kualitas penegakan hukum dan berintegritas moral/berkeimanan/berkeilmuan. Untuk menghasilkan penegak hukum yang berkualitas dan berintegritas tersebut sebagai upaya dalam kebijakan penanggulangan kejahatan, maka peranan lain yang merupakan bagian dari kebijakan sosial, yang secara strategis dilakukan melalui 3 (tiga) tahap, yaitu tahap formulasi hukum oleh lembaga legislatif, tahap penerapan hukum oleh pengadilan, dan tahap eksekusi. Dalam hal kebijakan dalam penegakan hukum yang berkualitas dilakukannya terobasan baru dalam hukum pidana korupsi, dengan menerapan kebijakan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dianggap lebih efektif dibandingkan dengan memberikan sanksi pidana penjara, kurungan atau denda dan/atau pidana berupa pembayaran uang pengganti kepada pelaku. Penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 Ayat (2) UU PTPK (spesialis derogate) dan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (generalis derogate) manakala pelaku melakukan perbuatan korupsi dalam “keadaan tertentu”. Keadaan tertentu yang dimaksud adalah keadaan yang dapat dijadikan sebagai alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter.
PEMIDANAAN ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERKOSAAN LAKADODO LAIA
Jurnal Education and Development Vol 6 No 3 (2018): Vol.6.No.3.2018
Publisher : Institut Pendidikan Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (582.178 KB) | DOI: 10.37081/ed.v6i3.752

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana penjara kepada anak sebagai pelaku tindak pidana perkosaan di wilayah hukum Pengadilan Negari Gunungsitoli, dengan jenis penelitian yang digunakan Normatif Yuridis, dan data yang digunakan adalah Data Sekender dengan analisis data Kualitatif Deskriptif dengan menginterprestasikan secara logis, sistematis dan untuk menarik kesimpulan dilakukan dengan metode deduktif dan induktif. Berdasarkan hasil penelusuran bahwa dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana penjara kepada anak pelaku tindak pidana perkosaan, tidak terlepas dari keyakinan hakim semata dan untuk memberikan efek jera kepada pelaku, padahal Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 jo. Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang perlindungan Anak secara substansinya menentukan bahawa dalam hal berkonflik dengan hukum, maka hakim wajib mempertimbangkan mengenai Keadilan Restoratif dan diversi dengan maksud untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berharap dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali kedalam keluarga dan lingkungan sosial secara wajar.
PEMBAGIAN HARTA WARISAN PADA MASYARAKAT NIAS DITINJAU DARI SUDUT HUKUM ADAT Laka Dodo Laia; Magdalenamaria Duha
Jurnal Education and Development Vol 10 No 3 (2022): Vol.10. No.3 2022
Publisher : Institut Pendidikan Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (386.228 KB)

Abstract

Masalah warisan bukan hal yang baru dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Tidak mengherankan bila masalah ini selalu dibicarakan banyak orang, baik di pedesaan maupun di kota besar. Faktanya banyak kasus perebutan harta warisan oleh sesama ahli waris yang sudah sampai di pengadilan bahkan telah diputus oleh pengadilan. Dilihat dari sistem pewarisan di Indonesia antara kelompok masyarakat yang satu daerah dengan masyarakat daerah lainnya tidak sama. Perbedaan ini muncul karena sistem pembagian warisan menurut kaedah hukum adat berkaitan erat dengan sistem kekeluargaan yang berlaku pada masing-masing kelompok masyarakat itu sendiri. Hukum waris di Indonesia didasarkan pada KUHPerdata, Hukum Islam dan Hukum Adat. Menurut Prof. Dr. R. Soepomo, S.H. ada tiga macam sistem pewarisan di Indonesia yaitu : Pertalian darah menurut garis bapak (patrilinial), Pertalian darah menurut garis ibu (matrilinial), dan Pertalian darah menurut garis kebapak-ibuan (parental); Oleh karena dalam jurnal ini peneliti mengangkat judul “Pembagian Harta Warisan Pada Masyarakat Nias Ditinjau Dari Sudut Hukum Adat”. Jenis penelitian yang dipergunakan adalah jenis penelitian hukum sosiologis atau empiris dengan metode pendekatan Undang-Undang, ilmu Hukum, Sosial dan Budaya. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan bahan hukum sekunder yang diperoleh melalui bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif dan menarik kesimpulan dilakukan dengan metode deduktif. Berdasarkan pembahasan, analisis dan temuan peneliti, maka dapat disimpulkan bahwa pembagian harta warisan pada masyarakat Nias didasarkan pada pertalian darah menurut garis bapak (patrilinial). Adapun saran yaitu pembagian harta warisan seyogianya dilakukan secara musyawarah mufakat berdasarkan porsi hak masing-masing.
PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA BAGI PENYALAH GUNAAN NARKOTIKA SESUAI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI GUNUNGSITOLI NOMOR 184/PID.SUS/2018/PN. GST Laka Dodo Laia; Klaudius Ilkam Hulu; Feriana Ziliwu
Jurnal Education and Development Vol 10 No 3 (2022): Vol.10. No.3 2022
Publisher : Institut Pendidikan Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (434.825 KB)

Abstract

Tindak pidana penyahgunaan narkotika adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh Undang-undang dan Pemerintah dimana pelaku juga dapat disebut sebagai korban dengan segala hak-haknya harus diperjuangkan, jika pelaku adalah juga korban, maka sudah jelas bahwa seorang penylahgunaan dan pecandu narkotika jenis shabu harus dijauhkan daristikma pidana, tetapi diberikan perawaatan, tindakan rehabilitasi oleh Pengadilan dan/atau Hakim diatus dalam Pasal54 yunto Pasal 103 UU R.I No 35 Tahun 2009 tentang narkotika serta SEMA No 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korba Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika kedalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.Oleh karena itu peneliti tertarik melakukan penelitian tentang Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Kepada Pelaku Penyalahgunaan Narkotika (Studi Putusan Nomo 184/Pid.Sus/2018/PN.Gst). Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana Hakim menjatuhkan pidana penjara kepada pelaku penyalahgunaan narkotika; Jenis penelitian yang dipergunakan adalah jenis penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus dan pendekatan analitis. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data skunder yang diperoleh melalui bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier. Analisis data yang digunakan yaitu analisis kualitatif dan menarik kesimpulan dilakukan dengan metode deduktif. Berdasarkan temuan peneliti dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa Pengadilan dan/atau Hakim seyogianya tidak menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa, sebagaimana Putusan Nomo 184/Pid.Sus/2018/PN.Gst), tetapi memerintahkan agar terdakwa ditempatkan kedalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.
PENERAPAN HUKUM DALAM PEMIDANAAN PELAKU TINDAK PIDANA TRAFFICKING Fariaman Laia; Laka Dodo Laia
JURNAL PANAH KEADILAN Vol 2 No 2 (2023): Jurnal Panah Keadilan
Publisher : LPPM Universitas Nias Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.57094/jpk.v2i2.979

Abstract

Perdagangan orang dikenal dengan istilah human trafficking muncul menjadi suatu masalah yang banyak ditingkat regional maupun ditingkat global yang saat ini perdagangan orang merupakan tindakan yang memperdagangkan orang untuk tujuan eksploitasi dalam bentuk kejahatan dengan bentuk modus operandi. Korban yang paling rentan adalah perempuan dan anak terutama dari kalangan yang kurang mampu, perempuan yang putus sekolah, dan yang sedang mencari pekerjaan. Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis penelitian hukum normatif dengan menggunakan metode pendekatan peraturan perundang-undangan, metode pendekatan kasus dan metode pendekatan analitis. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data hukum sekunder yang diperoleh melalui bahan pustaka, bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier dengan analisis data yang digunakan yaitu analisis kualitatif yang diperoleh disimpulkan secara deduktif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa dalam penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana trafficking merupakan suatu kasus yang sering muncul diberbagai media elektronik yang hampir setiap hari, maka dari itu pemerintah dan penegakan hukum harus benar-benar dapat mempertingkan kepastian hukum itu sendiri, karena kasus trafficking ini sangat berdampak buruk ditengah-tengah masyarakat luas, dan juga kepentingan Hak Asasi Manusia itu sendiri, maka harus benar-benar diwujudkan tujuan pemidanaan itu supaya ada efek jera kepada setiap pelaku trafficking. Sehingga dimasa yang akan datang kasus trafficking tidak tergeneralisasi suatu saat, meskipun tidak untuk menghapus setidaknya dengan hadirnya peradilan yang baik dan penegak hukum yang baik kasus ini ada pengurungan kejahatan trafficking ini.