Penyebaran informasi yang begitu cepat ternyata kurang dapat diimbangi dengan jaminan bahwa informasi tersebut benar adanya. Fenomena beredarnya berita di dunia maya yang kontennya tidak sesuai dengan kenyataan, dikenal dengan istilah berita palsu (fake news). Semakin sering seseorang mendengar sebuah informasi, terlepas dari apakah informasi tersebut benar atau tidak, semakin mungkin pula ia mempercayai bahwa informasi tersebut benar. Fenomena tersebut dinamakan dengan efek kebenaran semu (illusory truth effect). Kecenderungan menggunakan salah satu dari dua proses kognitif yang ada, yakni proses tipe 1 (intuitif) atau tipe 2 (reflektif), ketika menerima berita palsu dinamakan gaya kognitif. Orang dengan gaya kognitif reflektif cenderung lebih mungkin untuk mampu membedakan berita palsu dari berita asli, dibandingkan orang dengan gaya kognitif intuitif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah dalam situasi efek kebenaran semu terjadi, seseorang yang diinduksikan gaya kognitif reflektif lebih mampu menilai berita palsu sebagai palsu dibandingkan orang yang tidak terinduksi. Penelitian ini menggunakan pendekatan eksperimen dengan metode between participant post-test only design yang dilakukan pada 215 mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran menggunakan simple random sampling. Induksi gaya kognitif reflektif diberikan pada kelompok eksperimen menggunakan metode Visual Priming gambar patung The Thinker. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan uji statistik Mann-Whitney U dua sampel bebas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh induksi gaya kognitif reflektif terhadap persepsi akurasi berita palsu dalam situasi adanya efek kebenaran semu. Penjelasan dominan yang menjadi dugaan peneliti ialah karena induksi menggunakan visual priming gambar patung The Thinker tidak dapat direplikasi pada penelitian ini.