During the Japanese occupation of Indonesia from 1942 to 1945, Japan mobilized women as jugun ianfu and placed them in various ianjo, which had been prepared by the Japanese army. The women who were made jugun ianfu also included those still underage. Sri Sukanti is one of the survivors of jugun ianfu who used to be employed at the Gedung Papak. Therefore, the problem in this research is how Gedung Papak was used as an ianjo. This study uses the historical method with four stages, namely heuristics, source criticism, interpretation, and historiography. The purpose of this research is to reconstruct Gedung Papak as an ianjo during the Japanese colonial period, reveal more deeply the suffering of jugun ianfu in Gedung Papak, and find out the views of the people during the Japanese period towards the jugun ianfu in Gedung Papak by using a political history approach. The results showed that Gedung Papak as an ianjo was not too different from other ianjo in its operation but had the characteristics of a turn shuffling system, a round trip system, and a child victim.Dalam masa penjajahan Jepang di Indonesia sejak tahun 1942 sampai 1945, Jepang menjalankan mobilisasi perempuan sebagai jugun ianfu dan menempatkan mereka di berbagai ianjo yang telah disiapkan oleh tentara Jepang. Perempuan-perempuan yang dijadikan jugun ianfu juga meliputi mereka yang masih di bawah umur. Sri Sukanti merupakan salah satu penyintas jugun ianfu yang dulu dipekerjakan di Gedung Papak. Oleh karena itu, permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana Gedung Papak digunakan sebagai ianjo. Penelitian ini menggunakan metode sejarah dengan empat tahapan, yakni heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merekonstruksi Gedung Papak sebagai ianjo pada masa penjajahan Jepang, mengungkap lebih dalam penderitaan para jugun ianfu di Gedung Papak, dan mengetahui pandangan masyarakat di masa Jepang terhadap jugun ianfu di Gedung Papak dengan menggunakan pendekatan sejarah politik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Gedung Papak sebagai ianjo tidak terlalu berbeda dengan ianjo lain dalam pengoperasiannya, tapi memiliki ciri khas berupa sistem pengocokan giliran, sistem pulang pergi, dan korban anak-anak.