Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Pengaruh ekspresi p53 dan HIF1 terhadap peningkatan laktat jaringan nasofaring pada pasien karsinoma nasofaring Kurniawan, Jemmy; Rahaju, Pudji; Soehartono, Soehartono
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 48, No 1 (2018): Volume 48, No. 1 January - June 2018
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (418.431 KB) | DOI: 10.32637/orli.v48i1.258

Abstract

Latar Belakang: Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan tersering pada kepala dan leher. Pilihan terapi KNF adalah radioterapi dan kemoterapi yang berhubungan dengan toksisitas, resistensi obat, dan rekurensi. Intervensi metabolik yang didasarkan pada perubahan metabolisme sel kanker merupakan salah satu strategi terapi kanker pada saat ini. Untuk dapat mengetahuinya perlu dipahami pengaruh ekspresi p53 dan hypoxia-inducible factor 1 (HIF1) terhadap peningkatan kadar laktat jaringan nasofaring pada pasien KNF. Tujuan: Mengetahui pengaruh ekspresi p53 dan HIF1 terhadap peningkatan kadar laktat jaringan nasofaring, dan untuk mengetahui kesesuaian antara kadar laktat darah dengan laktat jaringan nasofaring. Metode: Penelitian cross sectional melibatkan 10 subjek, dilakukan biopsi nasofaring dengan tuntunan nasoendoskopi untuk pemeriksaan histopatologi, ekspresi p53 dan HIF1 dengan imunohistokimia, laktat jaringan nasofaring dengan colorimetric, dan laktat darah. Hasil: Seluruh subjek mengalami peningkatan ekspresi p53 dan HIF1 dengan rerata p53 19,53±7,37 dan HIF1 24,30±12,28. Seluruh subjek penelitian memiliki kadar laktat jaringan meningkat, dengan rerata kadar laktat 0,67±0,39. Kadar laktat darah subjek cenderung meningkat dengan rerata 2,93±0,65. Terdapat pengaruh peningkatan ekspresi p53 terhadap peningkatan kadar laktat jaringan (p=0,002). Terdapat pengaruh peningkatan ekspresi HIF1 terhadap peningkatan kadar laktat jaringan (p=0,042). Tidak terdapat kesesuaian antara kadar laktat darah dengan laktat jaringan nasofaring (p=0,000). Kesimpulan: Peningkatan ekspresi p53 dan HIF1 berpengaruh terhadap peningkatan kadar laktat jaringan nasofaring pada pasien KNF, namun kadar laktat darah tidak menggambarkan kadar laktat jaringan nasofaring. ABSTRACTBackground: Nasopharyngeal carcinoma (NPC) is the most frequent malignancy of the head and neck. The options of NPC therapy are radiotherapy and chemotherapy, associated with toxicity, drug resistance, and recurrence. Metabolic intervention based on changes in cancer cell metabolism is currently one of the strategies of cancer therapy. Aim: To determine the impact of p53 and hypoxia-inducible factor 1 (HIF1) expression on elevated lactate levels of nasopharyngeal tissue, and to determine the compatibility between blood lactate and nasopharyngeal tissue lactate levels in patients with NPC. Method: This cross-sectional study involved 10 subjects who underwent nasopharyngeal biopsy for histopathologic examination, p53 and HIF1 expression using immunohistochemistry, lactate of nasopharyngeal tissue using colorimetric, and blood lactate. Results: All subjects had increased expression of p53 and HIF1 with p53 mean of 19.53±7.37 and HIF1 mean of 24.30±12.28. All subjects had elevated tissue lactate levels, with lactate levels mean of 0.67±0.39. The blood lactate level of the subjects increased, with blood lactate level mean of 2.93±0.65. There was a significant increasing impact of p53 expression on tissue lactate elevated level (p=0.002) and a significant increasing impact of HIF1 expression on tissue lactate elevated level (p=0.042). There was no correlation between lactate levels of blood lactate and nasopharyngeal tissue (p=0.000). Conclusion: Increased expression of p53 and HIF1 had an effect on increased levels of lactate nasopharyngeal tissue in NPC patients, but blood lactate levels did not have a correlation with lactate levels of nasopharyngeal tissue.
Hubungan ototoksisitas dan kemoterapi neoadjuvan pada karsinoma nasofaring berdasarkan ASHA, CTCAE, dan DPOAE Putri, Meyrna Heryaning; Rahaju, Pudji; Indrasworo, Dyah
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 47, No 2 (2017): Volume 47, No. 2 July - December 2017
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (380.65 KB) | DOI: 10.32637/orli.v47i2.219

Abstract

Latar belakang: Kemoterapi neoadjuvan adalah induksi kemoterapi sebelum radioterapi dengan regimen cisplatin dan 5-Fluorouracil. Kemoterapi cisplatin bersifat ototoksik pada pendengaran sensorineural bilateral progresif dan bersifat irreversible. Kriteria dari American Speech-Language Hearing Association (ASHA) dan Common Terminology Criteria for Adverse Events (CTCAE) merupakan kriteria untuk mengidentifikasi ototoksisitas dengan menggunakan audiometri, selain pemeriksaan Distortion Product Otoacoustic Emissions (DPOAE). Tujuan: Mengidentifikasi hubungan ototoksisitas dengan kemoterapi neoadjuvan pada penderita karsinoma nasofaring (KNF) WHO tipe III menggunakan ASHA, CTCAE, serta DPOAE. Metode: Studi ini adalah penelitian observasional dengan desain cohort. Kriteria inklusi penelitian yaitu penderita baru KNF WHO tipe III, yang mendapatkan kemoterapi regimen standar dan berusia <60 tahun. Kriteria pemeriksaan DPOAE adalah penderita dengan ambang dengar ≤40 dB. Percontoh dilakukan pemeriksaan timpanometri, audiometri, dan DPOAE. Hasil: Terdapat 9 sampel percontoh penelitian. Uji repeated-ANOVA menunjukkan tidak ditemukan perbedaan bermakna pada tiga hasil pengukuran audiometri antara pascakemoterapi pertama, kedua, dan ketiga (p>0,05). Deteksi awal ototoksisitas menggunakan kriteria ASHA menunjukkan sensitivitas sebesar 67% dan dan CTCAE 44%, dibandingkan baku emas menggunakan DPOAE. Kesimpulan: Ototoksisitas cisplatin ditemukan sejak kemoterapi pertama dengan menggunakan pemeriksaan DPOAE walaupun tidak bermakna secara statistik. Kemampuan DPOAE untuk mendeteksi awal ototoksisitas lebih baik dibandingkan kriteria ASHA dan CTCAE yang menggunakan audiometri nada murni.Kata kunci: Karsinoma nasofaring, ototoksisitas sisplatin, DPOAE, CTCAE, ASHA ABSTRACT Introduction: Neoadjuvant chemotherapy is induction chemotherapy before radiotherapy with cisplatin and 5-Fluorouracyl regiment. Chemotherapy cisplatin is ototoxic, leads to frequently progresive and irreversible bilateral sensorineural hearing loss. American Speech-Language Hearing Association (ASHA) and Common Terminology Criteria for Adverse Events (CTCAE) are the criteria to determine ototoxicity with audiometry, beside Distortion Product Otoacoustic Emissions (DPOAE). Purpose: To identify the relationship between ototoxicity with neoadjuvant chemotherapy in patients NPC WHO type III using ASHA, CTCAE, and DPOAE. Method: This observational study approach with cohort design. Inclusion criteria: new patients NPC WHO type III who consented to undergo standard regiment chemotherapy, and age <60 year-old. For DPOAE examination: hearing level ≤40 dB. Exclucion criteria: NPC WHO type III patients who underwent chemotherapy with unconventional standard regiment. Examinations for hearing function conducted with tympanometry, pure tone audiometry, and Distortion Product Otoacoustic Emissions (DPOAE). Result: There were 9 sample in this study. The result of Repeated-ANOVA test showed no significant difference in three audiometry measurements among three series of chemotherapies. Early detection of ototoxicity using ASHA and CTCAE criterias showed sensitivity of 67% and 44% (compared with DPOAE as a gold standard). Conclusion: Cisplatin ototoxicity had occured since the first chemotherapy and detected with DPOAE, but statistically was not significantly related. Early detection of cisplatin ototoxicity with DPOAE was much better than with criteria American Speech-Language Hearing Association (ASHA) and Common Terminology Criteria for Adverse Events (CTCAE), which used pure tone audiometry.Keywords: Nasopharyngeal carcinoma, cisplatin ototoxicity, DPOAE, CTCAE, ASHA
Laporan Kasus: Hiperplasia Pseudokarsinomatus Hipofaring oleh karena Sporotrikosis Halim, Andrew; Rahaju, Pudji; Surjotomo, Hendradi; Murdiyo, Mohammad Dwijo
Jurnal Kedokteran Brawijaya Vol 29, No 1 (2016)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jkb.2016.029.01.18

Abstract

Hiperplasia pseudokarsinomatus merupakan proliferasi epitel reaktif jinak yang secara histopatologi mirip karsinoma sel skuamosa. Salah satu penyebabnya adalah infeksi jamur. Kami melaporkan 1 kasus hiperplasia pseudokarsinomatus hipofaring oleh karena sporotrikosis. Wanita 57 tahun mengeluh tenggorok terasa mengganjal disertai nyeri ulu hati dan sensasi pahit/kecut naik ke tenggorok. Pasien menderita refluks laringofaringeal,alergi seafood, dan riwayat Steven Johnson Syndrome. Pada pemeriksaan laringoskopi, tampak massa berdungkul pada hipofaring dengan kesan jinak. Dari hasil pemeriksaan histopatologi tampak infiltrasi epitel menuju dermis (mirip karsinoma sel skuamosa). Dengan pemeriksaan ulang secara patologi anatomi dan mikrobiologi (baku emas) serta komunikasi antara klinisi, ahli patologi, dan mikrobiologi, massa tersebut diidentifikasi sebagai hiperplasia pseudokarsinomatus oleh karena Sporothrix schenckii. Pasien menjalani eksisi massa dan diberikan ketokonazol dan lanzoprazol selama 6 minggu. Saat evaluasi ulang, pasien merasa rasa mengganjal hilang dan tidak ditemukan massa pada hipofaring. Hiperplasia pseudokarsinomatus hipofaring oleh karena sporotrikosis jarang terjadi. Di indonesia, belum ada laporan kasus mengenai hal ini. Kesalahan diagnosis sebagai karsinoma dapat berakibat fatal. Akan tetapi, dengan diagnosis yang lebih teliti dan tatalaksana yang tepat, prognosis pasien sangat baik.
Laporan Kasus: Myiasis pada Peristoma Trakeostomi Hidayat, Riza; Rahaju, Pudji; Surjotomo, Hendradi; Murdiyo, Mohammad Dwijo
Jurnal Kedokteran Brawijaya Vol 29, No 1 (2016)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jkb.2016.029.01.19

Abstract

Myiasis adalah infestasi larva Diptera (lalat) pada jaringan hidup manusia atau hewan dalam periode tertentu. Kasus myiasis banyak terjadi didaerah tropis terutama pada masyarakat golongan sosio-ekonomi rendah. Myiasis pada trakeostomi jarang didapatkan, literatur di Inggris menyebutkan hanya 2 kasus myiasis pada trekeostomi. Dilaporkan kasus laki-laki 60 tahun dengan myiasis pada peristoma trakeostomi dan karsinoma laring T4N2cMo. Trakeostomi dilakukan 1 tahun yang lalu, datang dengan keluhan keluar belatung dari kanul trakea, terasa seperti ada benda asing dileher, dan rasa nyeri yang menggigit, Pada kassa kanul trakea  sering merembes darah,  dan kanul trakea tidak ditutup oleh kassa atau sapu tangan. Pasien menyatakan sering membersihkan sekitar kanul trakea menggunakan bulu ayam.  Penatalaksanaan dilakukan dengan ekstraksi larva secara manual dan debridemen, serta diberikan antibiotik intravena. Selain itu juga dilakukan perawatan luka dan penggantian anak kanul secara berkala dan  menutup kanul trakea dengan kassa. Larva teridenfikasi sebagai larva lalat Chrysomya sp. Myiasis pada trakeostomi jarang diterjadi, faktor predisposisi myiasis pada luka trakeostomi berupa kebersihan kanul trakea, bau dari luka trakeostomi, dan kebersihan lingkungan tempat tinggal.
Effect of Tetrodotoxin from Crude Puffer Fish (Tetraodon fluviatilis) Liver Extract on Intracellular Calcium Level and Apoptosis of HeLa Cell Culture Untario, Natanael; Dewi, Titik Cinthia; Widodo, M. Aris; Rahaju, Pudji
Journal of Tropical Life Science Vol 7, No 1 (2017)
Publisher : Journal of Tropical Life Science

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.11594/jtls.07.01.04

Abstract

Cervical cancer is the third most commonly diagnosed cancer and fourth leading cause of women death with 8% of total death caused by cancer in women in 2008. Tetrodotoxin (TTX) is a potent neurotoxin found in inner organs puffer fish, with the specific mechanism of sodium channel blocking, and widely used for research purposes. Previous reports claimed that TTX has the capability of inhibiting the metastatic process of cancer and apoptotic effect. Studies also show that apoptosis is a process involving the increase of intracellular calcium level, yet the connection between TTX and increase of intracellular calcium level, therefore triggering apoptosis, has not been established. This is an experimental study with post test only control group design, carried out by exposing HeLa cell culture to a crude liver extract of a puffer fish species, Tetraodon fluviatilis. Crude puffer fish liver extract is administered into HeLa cell culture well in different concentrations 10-4, 10-2, and 10-1. Intracellular calcium level and apoptosis were then measured after 18 hours of incubation. Measurements of intracellular calcium level were done by using CLSM with Fura-2AM staining, and apoptosis by using flowcytometry with Annexin V/PI.  The result shows that there is a significant difference between samples both in intracellular calcium (p < 0.05) and apoptosis (p < 0,05). Both intracellular calcium and apoptosis levels are proportional to liver fish extract concentration. Pearson’s correlation test shows correlation between treatment and intracellular calcium levels (p = 0.000), between treatment and apoptosis (p = 0.002), but not between intracellular calcium and apoptosis (p = 0.05). These results suggest that TTX induces an increase in intracellular calcium level and apoptosis, but calcium pathway is not the sole cause of the apoptosis.Â