Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Pemberian Restitusi dan Kompensasi Bagi Korban Tindak Pidana Berdasarkan Nilai Keadilan Halomoan Freddy Sitinjak Alexandra
Jurnal Pendidikan dan Konseling (JPDK) Vol. 4 No. 5 (2022): Jurnal Pendidikan dan Konseling
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/jpdk.v4i5.7637

Abstract

Korban tindak pidana, baik itu korban tindak pidana teroris, korban pelanggaran HAM berat maupun korban tindak pidana konvensional mempunyai posisi yang sama selaku warga negara yang harus dilindungi keamanan atas diri, nyawa, harta benda, kehormatan dan nama baiknya oleh negara dan sebagai konsekuensinya walaupun terjadi kejahatan maka hakikatnya semua korban harus mendapat perlindungan hukum yang sama dalam hal pengaturan restitusi dan kompensasi dalam undang-undang. Pemberian kompensasi dari negara sangat dibutuhkan oleh korban tindak pidana manakala restitusi tidak didapatkan dari pelaku kejahatan. Kenyataan restitusi dan kompensasi terhadap korban tindak pidana konvensional belum diatur dengan jelas dalam undang-undang, masih menjadi perdebatan dari aspek keadilan. Kecenderungan lemahnya regulasi substansi hukum tentang perlindungan korban tindak pidana dalam hal kompensasi dan restitusi sehingga jaminan keadilan bagi korban tindak pidana secara umum belum dapat dirasakan oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia. Hal ini semakin diperparah dengan lembaga hukum yang ada saat ini yang tidak memberikan jaminan maksimal bagi korban untuk mendapatkan ganti rugi. Oleh karena itu, menurut penulis, permasalahan ini sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut di mana permasalahan utama yang dibahas adalah kelemahan pemenuhan hak atas restitusi dan kompensasi bagi korban tindak pidana berdasarkan hukum formil dan hukum materiil di Indonesia dan bagaimana solusi hukum materiilnya. Penelitian dilakukan dalam perspektif paradigma Konstruktivisme dengan jenis penelitian sosio legal dan metode pendekatan kualitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari wawancara dan kuesioner yang didukung oleh literatur, peraturan perundang-undangan dan berbagai dokumen publik, sedangkan analisis data dilakukan dengan metode analisis kritis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemenuhan restitusi korban terkendala karena pada umumnya pelaku tergolong tidak mampu. Demikian pula dengan ganti rugi, dengan jaminan dalam undang- undang, meskipun terbatas pada korban kejahatan tertentu, kesiapan negara untuk itu belum maksimal terbukti dengan pengelolaan dana APBN di Kementerian Keuangan; tidak ada alokasi dana yang disiapkan untuk pembayaran kompensasi. Demikian pula instansi yang mengajukan permohonan anggaran dengan membuat Rancangan Pembiayaan Kegiatan Kerja tidak pernah mengajukan permohonan pos pembayaran ganti kerugian bagi korban tindak pidana. Fakta ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak konsisten dengan apa yang dijanjikan dalam undang- undang kepada korban tindak pidana mengenai hak ganti rugi. Selanjutnya regulasi hukum pidana materiil, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan pidana restitusi (penguatan kekuatan restitusi) perlu penguatan norma. Jaminan hak atas restitusi dan kompensasi harus diberikan kepada semua korban tindak pidana, dengan mekanisme yang mudah dan efektif serta memerlukan peran serta aparat penegak hukum yaitu penyidik, masyarakat, jaksa, dan hakim untuk memberikan keadilan bagi korban tindak pidana sehingga diperlukan norma hukum yang tegas dan jelas dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang baru untuk mengatur pemberian restitusi dan/atau kompensasi.
Implementasi Keadilan Restoratif Sebagai Upaya Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Penganiayaan Kejaksanaan Negeri Lebong Elsa Kristina Hutapea; Achmed Sukendro; Halomoan Freddy Sitinjak Alexandra; Pujo Widodo
Jurnal Kewarganegaraan Vol 7 No 1 (2023): Juni 2023
Publisher : UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31316/jk.v7i1.4770

Abstract

Abstrak Upaya Perdamaian melalui Keadilan Restoratif merupakan jalur penghentian tuntutan ketika suatu perkara pidana tidak dilanjutkan hingga Pengadilan. Tidak semua perkara pidana dapat diadili melalui keadilan Restoratif. Ada beberapa kasus perkara pidana yang dapat diselesaiakan salah satunya perkara pidana penganiayaan yang ada di Kabupaten Lebong. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisa Kejaksaan Negeri Lebong dalam melaksanakan Keadilan Restoratif. Artikel ini dibentuk peneliti dengan mengumpulkan data dari berbagai sumber, seperti artikel jurnal, buku, laporan dan sumber lain yang terkait. Hasil penelitaian ini menunjukkan bahwa Penerapan Restoratif Justice Kejaksaan Lebong pada kasus penganiayaan di Lebong sebagian besarnya sudah sejalan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif yang dalam hal ini penghentian penuntutan berdasarkan keadilan Restoratif. Oleh karena itu, Kejaksaan sebagai Fasilitator telah mengedepankan hak dari pada korban dan upaya damai dengan pelaku. Keywords: Kejaksaan, Keadilan Restoratif, Penganiayaan Abstract Peace Efforts through Restorative Justice is a path to stop prosecutions when a criminal case is not continued until the Court. Not all criminal cases can be tried through Restorative justice. There are several criminal cases that can be resolved, one of which is the criminal persecution case in Lebong Regency. The purpose of this study is to find out and analyze the Lebong District Attorney's Office in implementing Restorative Justice. This article is formed by collecting data from various sources, such as journal articles, books, reports and other related sources. The results of this study show that the application of Restorative Justice of the Lebong Prosecutor's Office in the persecution case in Lebong is largely in line with the Prosecutor's Regulation of the Republic of Indonesia number 15 of 2020 concerning Termination of Prosecution Based on Restorative Justice which in this case stops prosecution based on Restorative justice. Therefore, the Prosecutor's Office as a Facilitator has prioritized the rights of victims and peaceful efforts with perpetrators. Keywords: Prosecution, Restorative Justice, Persecution
Tantangan dan Upaya Penanganan Politik Identitas pada Pemilu 2024 Elsa Kristina Hutapea; Puguh Santoso; Halomoan Freddy Sitinjak Alexandra; Achmed Sukendro; Pujo Widodo
Jurnal Kewarganegaraan Vol 7 No 1 (2023): Juni 2023
Publisher : UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31316/jk.v7i1.4811

Abstract

Abstrak Indonesia akan menghadapi pesta demokrasi yang akan menentukan pemimpin dalam Pemilu 2024. Sudah selayaknya masyarakat Indonesia melakukan sikap toleransi akan perbedaan dan tidak menunjukkan hal yang berdasarkan kepentingan masing-masing agar tidak terjadi Politik Identitas. Tulisan ini akan menganalisis tantangan masyarakat Indonesia dalam menghadapi pemilu 2024 dan Upaya Penanganan Politik Identitas. Metode penulisan yang dilaksanakan menggunakan studi pustaka (library research). Penulis selanjutnya akan merumuskan hal-hal yang menjadi tantangan terutama kaitannya dengan teknologi, internet dan media sosial. Hasil penelitian menunjukan tantangan-tangan Pemilu 2024 jika tidak ada tokoh yang mengajukan diri, perlunya perekrutan kaderisasi yang baik agar membentuk kandidasi, serta menjadi tantangan apabila kualitas suara yang berasal dari dukungan politik identitas. Upaya penanganan dengan dilakukan pendidikan politik, Partai politik memiliki peran untuk memberikan pendidikan politik pada masyarakat. Sebagai kesimpulan bahwa persiapan Pemilu 2024 dibutuhkannya sinergi dalam menghadapi tantangan maupun upaya penanganan politik identitas dengan pendidikan politik yang dilakukan aktor politik. Keywords: politik identitas, tantangan, upaya Abstract Indonesia will face a democratic party that will determine the leader in the 2024 elections. It is appropriate for the Indonesian people to tolerate differences and not show things based on their respective interests so that Identity Politics does not occur. This paper will analyze the challenges of Indonesian society in facing the 2024 elections and Efforts to Handle Identity Politics. Methode writing is carried out using library research. The author will then formulate things that pose challenges, especially in relation to technology, the internet and social media. The results show the challenges of the 2024 election if no figures volunteer, the need for good regeneration recruitment to form candidates, and a challenge if the quality of votes comes from identity politics support. Efforts to handle political education are carried out, political parties have a role to provide political education to the community. In conclusion that preparation for the 2024 elections requires synergy in facing challenges and efforts to handle identity politics with political education carried out by political actors. Keywords: identity politics, challenge, effort
Kerjasama Indonesia dan Amerika Serikat Mendukung Peran Indonesia Sebagai Leading Sector Dalam Pembentukan Asean Counter Terrorism And Peacekeeping Task Force Yulian Tri Saptono; I Gede Sumertha; Halomoan Freddy Sitinjak Alexandra; Pujo Widodo
Jurnal Kewarganegaraan Vol 7 No 1 (2023): Juni 2023
Publisher : UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31316/jk.v7i1.4846

Abstract

Abstrak Penelitian ini membahas tentang peran Association of South East Asian Nations (ASEAN) dalam menangani masalah keamanan di kawasan Asia Tenggara, terutama dalam mengatasi ancaman terorisme yang semakin meningkat. Pembentukan ASEAN pada tahun 1967 didasari oleh keinginan untuk melakukan kerjasama di berbagai bidang, termasuk ekonomi dan keamanan. Namun, prinsip non-intervensi masih menjadi kendala dalam pelaksanaannya. Meskipun ASEAN telah mengadakan berbagai pertemuan dan menghasilkan beberapa kesepakatan, tetapi kasus terorisme masih sering terjadi di kawasan tersebut. Oleh karena itu, pada tahun 2003 Indonesia mengajukan saran kepada ASEAN untuk membentuk ASEAN Peacekeeping Force, namun hal ini tidak mendapat perhatian khusus di antara anggota ASEAN itu sendiri. Baru-baru ini, terjadi serangkaian bom dan serangan teroris di Indonesia yang semakin menguatkan tuntutan untuk ASEAN agar berperan lebih besar dalam menyelesaikan masalah ini. ASEAN diharapkan dapat makin memperkuat kerjasama antar anggotanya khususnya dibidang keamanan kawasan untuk mengatasi tantangan transnasional yang semakin kompleks dan Indonesia dapat berperan sebagai leading sector dalam agenda pembentukan Counter Terrorism and Peacekeeping Task Force di kawasan ASEAN. Kata kunci : ASEAN, Kerjasama, Kontraterorisme, Indonesia, Leading sector. Abstract This research discusses the role of the Association of South East Asian Nations (ASEAN) in addressing security issues in the Southeast Asian region, particularly in dealing with the increasing threat of terrorism. The formation of ASEAN in 1967 was driven by the desire to cooperate in various fields, including economy and security. However, the principle of non-intervention remains a constraint in its implementation. Despite ASEAN holding various meetings and producing several agreements, terrorism cases still frequently occur in the region. Therefore, in 2003, Indonesia proposed the establishment of an ASEAN Peacekeeping Force, but this did not receive significant attention among ASEAN members themselves. Recently, there have been a series of bombings and terrorist attacks in Indonesia, further emphasizing the demand for ASEAN to play a larger role in resolving this issue. ASEAN is expected to strengthen cooperation among its members, particularly in the field of regional security, to address increasingly complex transnational challenges, and Indonesia can take the lead in the establishment of the Counter Terrorism and Peacekeeping Task Force within the ASEAN region. Keywords : ASEAN, Cooperation, Counter-terrorism, Indonesia, Leading sector.
MAKNA SIMBOLIK BUDAYA “Ata Dike” (Manusia Yang Baik/Bermoral/Beradab) DALAM MEMBANGUN PERDAMAIAN, MEWUJUDKAN KEAMANAN NASIONAL (Studi Resolusi Konflik Berbasis Penguatan Nilai Budaya di Pulau Adonara Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur) ANDREAS GAMA LUSI; HALOMOAN FREDDY SITINJAK ALEXANDRA; ADNAN MADJID; PUJO WIDODO
JURNAL EKONOMI, SOSIAL & HUMANIORA Vol 4 No 10 (2023): INTELEKTIVA : JURNAL EKONOMI, SOSIAL DAN HUMANIORA - EDISI JUNI 2023
Publisher : KULTURA DIGITAL MEDIA ( Research and Academic Publication Consulting )

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya konflik komunal di Pulau Adonara Kabupaten Flores Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur. Konflik komunal ini telah banyak memakan korban jiwa dan harta benda. Upaya pencegahan dan pengendalian konflik oleh pemerintah daerah dan aparat penegak hukum melalui jarlur pengadilan maupun di luar jalur pengadilan tidak juga mengakhiri konflik. Malah eskalasi konflik semakin tinggi akibat dendam dari generasi ke generasi. Tujuan dari penelitian ini mengkaji secara mendalam spirit/kekuatan dari Makna Simbolik Budaya “Ata Dike” (Manusia Yang Baik/Bermoral/Beradab) dalam meresolusi konflik agar terciptanya kehidupan penuh damai. Metode penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Subyek penelitian ini adalah tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh politik, penegak hukum dan tokoh agama di Kabupaten Flores Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukan bahwa, Makna Simbolik Budaya “Ata Dike” (Manusia Yang Baik/Bermoral/Beradab) memiliki kekuatan resolusi konflik masyarakat di Pulau Adonara. Proses resolusi konflik dilakukan dengan ritual-ritual yaitu :1) Gencatan Senjata (ta’o dopi, ledang gala); 2) Proses Pencarian Kebenaran (gahin koda, turu irak); 3) Sumpah Adat (nayu geto, baya bolak); 4) Perdamaian atau Rekonsiliasi (hodi limat atau mela sareka).