This Author published in this journals
All Journal Varia Justicia
Agna Susila, Agna
Unknown Affiliation

Published : 11 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

PELAKSANAAN DEPONERING DALAM PERSPEKTIF ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW Kurnianto, Diska; Susila, Agna; Kurniaty, Yulia
Varia Justicia Vol 13 No 1 (2017): Vol 13 No. 1 Maret 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (203.074 KB)

Abstract

       This study examines and analyzes related criminal cases abuse in the criminal justice system in Indonesia under Law No. 16 of 2004 on the Prosecutor of the Republic Indonesia by closing a criminal case under the Code of Criminal Procedure (Criminal Procedure Code). This research method using a normative juridical approach to law (Statute Approach). Primary legal materials, secondary, and tertiary obtained by the author will be analyzed using analytical techniques interpretation of the law, namely: Content Analysis, which is used as a reference in resolving legal issues that become the object of study.        From the research results to the above method, the authors obtain answers to existing problems that the implementation case abuse accordance with the principles of opportunity in Article 35 letter c of Law Number 16 of 2004 on the Prosecutor of the Republic of Indonesia is still relatively small only be carried out by the Attorney General as the head chief prosecutor Court of the Republic of Indonesia in excluding criminal cases, and the closure of the case can be implemented by all prosecutors as the public prosecutor (prosecutor) without a process of public interest but can only be enforced closure of the case in the interest of law-related problems that menyangkat communities concerned in criminal cases.
IMPLEMENTASI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER/ DOKTER GIGI YANG TIDAK MEMBUAT REKAM MEDIK SESUAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN Hariyono, Totok; Susila, Agna
Varia Justicia Vol 11 No 2 (2015): Vol 11 No. 2 Oktober 2015
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (150.451 KB)

Abstract

Dokter dan dokter gigi adalah dokter , dokter spesialis dokter gigi, dan dokter spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran baik di dalam maupun luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hak dan kewajiban dokter/ dokter gigi diatur dalam UU RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, diantaranya tentang rekam medik. Salah satu kewajiban dokter/  dokter gigi adalah membuat Rekam Medik. Pasien mempunyai hak untuk memperoleh isi rekam medik. Mengabaikan rekam medik akan berakibat sanksi pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 79 UU RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Oleh karena itulah Penulis melakukan karya ilmiah dengan judul “ Implementasi pertanggungjawaban pidana bagi dokter/dokter gigi yang tidak membuat rekam medik sesuai UU RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran”. Rumusan masalah dalam karya ilmiah ini yang pertama Apakah  Rekam medik di Rumah Sakit Tingkat II dr Soedjono Magelang telah dilaksanakan sesuai UU RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ? kedua Bagaimana pertanggungjawaban  pidana bagi dokter / dokter gigi yang tidak membuat Rekam medik sesuai dengan UU RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ? yang ketiga Apa saja langkah yang telah dilakukan oleh kepala Rumah sakit tingkat II dr Soedjono Magelang agar Rekam medik berjalan sebagaimana diatur dalam UU RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ? Karya ilmiah ini menggunakan metode normative empiris untuk mengetahui apakah hukum positif masih sesuai atau tidak dalam pelayanan kedokteran. Spesifikasi karya ilmiah ini adalah deskriptif analitik. Data diperoleh dari data primer dan sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan dan wawancara dan obeservasi langsung di lapangan. Hasil karya ilmiah ini adalah sanksi pidana bagi dokter / dokter gigi yang tidak membuat rekam medik tidak bisa dilaksanakan karena syarat – syarat untuk dapat dipidananya seseorang tidak terpenuhi. Dokter/dokter gigi melaksanakan ketentuan Undang-Undang, rumusan Pasal 79  UU RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran belum jelas maksudnya dan hubungan dokter /dokter gigi dengan pasien diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Undang-Undang RI Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran khususnya Pasal 79 perlu direvisi agar tidak menimbulkan kekacauan pengaturan hukum dalam pelayanan kesehatan.
KAJIAN YURIDIS PP NO 4 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PEMULIHAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Hendrawati, Heni; Susila, Agna
Varia Justicia Vol 13 No 2 (2017): Vol 13 No. 2 Oktober 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (178.225 KB)

Abstract

Perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga khususnya istri maupun anak, diperlukan juga suatu pemulihan korban yang mengalami suatu penderitaan baik itu secara kekerasan fisik, psikis, seksual, maupun penelantaran rumah tangga. Maka disusunlah PP No.4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Mengingat banyaknya kasus yang terjadi terhadap kekerasan dalam rumah tangga pada saat ini dan juga kejamnya tindakan yang dilakukan terhadap korban, maka kepentingan korban sangat perlu diperhatikan. Berdasarkan PP No 4 Tahun 2006 Penyelenggaraan pemulihan korban dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan pemerintah daerah serta lembaga sosial sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing, termasuk menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk pemulihan korban. Penyelenggaran pemulihan korban merupakan tindakan yang meliputi pelayanan dan pendampingan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga. Pendampingan dapat diberikan berupa konseling, terapi psikologis, advokasi dan bimbingan rohani, guna menguatkan diri korban untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
PELAKSANAAN PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Hafid Rahman, Indra; Susila, Agna; Krisnan, Johny
Varia Justicia Vol 12 No 1 (2016): Vol 12 No. 1 Maret 2016
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (130.388 KB)

Abstract

Tujuan khusus yang hendak dicapai dalam hal pemberantasan korupsi secara hukum adalah penegakan hukum secara tegas bagi siapa saja yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi, termasuk mengenai upaya pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi, agar harta negara yang hilang dapat kembali, di mana salah satu cara mengembalikan uang negara yang hilang akibat suatu perbuatan korupsi tersebut adalah dengan memberi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Upaya ini diharapkan dapat memberikan hasil berupa pemasukan terhadap kas negara dari hasil pembayaran uang pengganti tersebut.Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana pelaksanaan pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi?DanApakah kendala yang ditemui dan bagaimana mengatasinya dalam pelaksanaan pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi?Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris, dengan menggunakan bahan penelitian berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat preskriptif. Metode pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan Undang-undang (Statute Approach) dan pendekatan kasus (Case Approach). Metode analisa data yang digunakan adalah metode berpikir induktif dan deduktif. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa, pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi dilaksanakan setelah putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht), terpidana diberi tenggang waktu 1 (satu) bulan untuk melunasi, di mana setelah dilakukan pelunasan pembayaran, Jaksa akan menyetorkan hasil pembayaran ke Kas Negara dan mengirimkan tembusan berita acara pembayaran uang pengganti yang ditandatangani oleh Jaksa dan terpidana kepada Pengadilan Negeri yang mengadili perkara. Kendala yang ditemui meliputi; terpidana tidak membayar uang pengganti yang dibebankan kepadanya; dan terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti yang dibebankan kepadanya. Kemudian cara untuk mengatasinya yaitu, terhadap terpidana yang tidak membayar uang pengganti, maka Jaksa wajib melakukan penyitaan dan pelelangan terhadap harta benda yang dimiliki terpidana, dan menyetorkan hasil pelelangan ke Kas Negara; kemudian terhadap terpidana yang tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka pelunasan tunggakan uang penggantinya dilakukan melalui tuntutan subsider pidana penjara, atau hukuman badan yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokok dan sudah ditentukan dalam putusan pengadilan (subsidair uang pengganti). Apabila masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara, maka negara melalui Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan/atau ahli warisnya agar membayar uang pengganti sebagaimana ditetapkan oleh hakim yang memutus perkara korupsi yang bersangkutan.
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENYIDIKAN DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA Setiyo, Setiyo; Hendrawati, Heni; Susila, Agna
Varia Justicia Vol 10 No 2 (2014): Vol 10 No. 2 Oktober 2014
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (350.698 KB)

Abstract

Negara Indonesia dalam pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana yang utamanya penyidikan masih belum adanya koordinasi satu sama lain antar instansi penegak hukum. Pada kenyataannya keterpaduan antara satu sistem dengan sistem yang lain pada keterpaduan dan koordinasi satu sama lain masih sering mengalami kendala bahkan tidak adanya koordinasi satu sama lain dalam menangani suatu kasus pidana maupun kasus-kasus yang lain karena yang penulis lihat bahwa setiap instansi berhak menyidik serta undang-undang penyidikan masih tercecer dimana-mana. Permasalahan dalam penelitian ini adalah (1)Bagaimana sistem pengaturan tentang penyidikan dalam KUHAP (2)Bagaimana sistem pengaturan tentang penyidikan dalam Undang-undang khusus di luar KUHAP (3) Bagaimana pengaturan penyidikan dalam RUU KUHAP?. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu suatu penelitian yang menekankan pada ilmu hukum atau berpedoman pada segi hukumnya yaitu berusaha untuk menelaah suatu peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah hukum yang berlaku dimasyarakat. Penelitian hukum normatif mengkaji hukum yg dikonsepkan sebagai norma atau kaedah yg berlaku di dalam masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyidikan menurut hukum pidana positif saat ini di Indonesia diatur didalam KUHAP. Pengaturan penyidikan diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Bab IV Bagian kesatu dan Bab IV Bagian Kedua pasal 6 sampai dengan pasal 12 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan Bab XIV bagian Kedua Penyidikan mulai dari pasal 106 sampai dengan pasal 136 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang diberi kewenangan melakukan penyidikan adalah Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
IMPLEMENTASI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER/ DOKTER GIGI YANG TIDAK MEMBUAT REKAM MEDIK SESUAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN Hariyono, Totok; Susila, Agna
Varia Justicia Vol 11 No 2 (2015): Vol 11 No. 2 Oktober 2015
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (150.451 KB)

Abstract

Dokter dan dokter gigi adalah dokter , dokter spesialis dokter gigi, dan dokter spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran baik di dalam maupun luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hak dan kewajiban dokter/ dokter gigi diatur dalam UU RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, diantaranya tentang rekam medik. Salah satu kewajiban dokter/  dokter gigi adalah membuat Rekam Medik. Pasien mempunyai hak untuk memperoleh isi rekam medik. Mengabaikan rekam medik akan berakibat sanksi pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 79 UU RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Oleh karena itulah Penulis melakukan karya ilmiah dengan judul ? Implementasi pertanggungjawaban pidana bagi dokter/dokter gigi yang tidak membuat rekam medik sesuai UU RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran?. Rumusan masalah dalam karya ilmiah ini yang pertama Apakah  Rekam medik di Rumah Sakit Tingkat II dr Soedjono Magelang telah dilaksanakan sesuai UU RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ? kedua Bagaimana pertanggungjawaban  pidana bagi dokter / dokter gigi yang tidak membuat Rekam medik sesuai dengan UU RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ? yang ketiga Apa saja langkah yang telah dilakukan oleh kepala Rumah sakit tingkat II dr Soedjono Magelang agar Rekam medik berjalan sebagaimana diatur dalam UU RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ? Karya ilmiah ini menggunakan metode normative empiris untuk mengetahui apakah hukum positif masih sesuai atau tidak dalam pelayanan kedokteran. Spesifikasi karya ilmiah ini adalah deskriptif analitik. Data diperoleh dari data primer dan sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan dan wawancara dan obeservasi langsung di lapangan. Hasil karya ilmiah ini adalah sanksi pidana bagi dokter / dokter gigi yang tidak membuat rekam medik tidak bisa dilaksanakan karena syarat ? syarat untuk dapat dipidananya seseorang tidak terpenuhi. Dokter/dokter gigi melaksanakan ketentuan Undang-Undang, rumusan Pasal 79  UU RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran belum jelas maksudnya dan hubungan dokter /dokter gigi dengan pasien diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Undang-Undang RI Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran khususnya Pasal 79 perlu direvisi agar tidak menimbulkan kekacauan pengaturan hukum dalam pelayanan kesehatan.
PELAKSANAAN PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Hafid Rahman, Indra; Susila, Agna; Krisnan, Johny
Varia Justicia Vol 12 No 1 (2016): Vol 12 No. 1 Maret 2016
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (130.388 KB)

Abstract

Tujuan khusus yang hendak dicapai dalam hal pemberantasan korupsi secara hukum adalah penegakan hukum secara tegas bagi siapa saja yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi, termasuk mengenai upaya pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi, agar harta negara yang hilang dapat kembali, di mana salah satu cara mengembalikan uang negara yang hilang akibat suatu perbuatan korupsi tersebut adalah dengan memberi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Upaya ini diharapkan dapat memberikan hasil berupa pemasukan terhadap kas negara dari hasil pembayaran uang pengganti tersebut.Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana pelaksanaan pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi?DanApakah kendala yang ditemui dan bagaimana mengatasinya dalam pelaksanaan pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi?Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris, dengan menggunakan bahan penelitian berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat preskriptif. Metode pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan Undang-undang (Statute Approach) dan pendekatan kasus (Case Approach). Metode analisa data yang digunakan adalah metode berpikir induktif dan deduktif. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa, pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi dilaksanakan setelah putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht), terpidana diberi tenggang waktu 1 (satu) bulan untuk melunasi, di mana setelah dilakukan pelunasan pembayaran, Jaksa akan menyetorkan hasil pembayaran ke Kas Negara dan mengirimkan tembusan berita acara pembayaran uang pengganti yang ditandatangani oleh Jaksa dan terpidana kepada Pengadilan Negeri yang mengadili perkara. Kendala yang ditemui meliputi; terpidana tidak membayar uang pengganti yang dibebankan kepadanya; dan terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti yang dibebankan kepadanya. Kemudian cara untuk mengatasinya yaitu, terhadap terpidana yang tidak membayar uang pengganti, maka Jaksa wajib melakukan penyitaan dan pelelangan terhadap harta benda yang dimiliki terpidana, dan menyetorkan hasil pelelangan ke Kas Negara; kemudian terhadap terpidana yang tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka pelunasan tunggakan uang penggantinya dilakukan melalui tuntutan subsider pidana penjara, atau hukuman badan yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokok dan sudah ditentukan dalam putusan pengadilan (subsidair uang pengganti). Apabila masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara, maka negara melalui Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan/atau ahli warisnya agar membayar uang pengganti sebagaimana ditetapkan oleh hakim yang memutus perkara korupsi yang bersangkutan.
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENYIDIKAN DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA Setiyo, Setiyo; Hendrawati, Heni; Susila, Agna
Varia Justicia Vol 10 No 2 (2014): Vol 10 No. 2 Oktober 2014
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (350.698 KB)

Abstract

Negara Indonesia dalam pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana yang utamanya penyidikan masih belum adanya koordinasi satu sama lain antar instansi penegak hukum. Pada kenyataannya keterpaduan antara satu sistem dengan sistem yang lain pada keterpaduan dan koordinasi satu sama lain masih sering mengalami kendala bahkan tidak adanya koordinasi satu sama lain dalam menangani suatu kasus pidana maupun kasus-kasus yang lain karena yang penulis lihat bahwa setiap instansi berhak menyidik serta undang-undang penyidikan masih tercecer dimana-mana. Permasalahan dalam penelitian ini adalah (1)Bagaimana sistem pengaturan tentang penyidikan dalam KUHAP (2)Bagaimana sistem pengaturan tentang penyidikan dalam Undang-undang khusus di luar KUHAP (3) Bagaimana pengaturan penyidikan dalam RUU KUHAP?. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu suatu penelitian yang menekankan pada ilmu hukum atau berpedoman pada segi hukumnya yaitu berusaha untuk menelaah suatu peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah hukum yang berlaku dimasyarakat. Penelitian hukum normatif mengkaji hukum yg dikonsepkan sebagai norma atau kaedah yg berlaku di dalam masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyidikan menurut hukum pidana positif saat ini di Indonesia diatur didalam KUHAP. Pengaturan penyidikan diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Bab IV Bagian kesatu dan Bab IV Bagian Kedua pasal 6 sampai dengan pasal 12 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan Bab XIV bagian Kedua Penyidikan mulai dari pasal 106 sampai dengan pasal 136 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang diberi kewenangan melakukan penyidikan adalah Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
PELAKSANAAN DEPONERING DALAM PERSPEKTIF ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW Kurnianto, Diska; Susila, Agna; Kurniaty, Yulia
Varia Justicia Vol 13 No 1 (2017): Vol 13 No. 1 Maret 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (203.074 KB) | DOI: 10.31603/variajusticia.v13i1.1860

Abstract

       This study examines and analyzes related criminal cases abuse in the criminal justice system in Indonesia under Law No. 16 of 2004 on the Prosecutor of the Republic Indonesia by closing a criminal case under the Code of Criminal Procedure (Criminal Procedure Code). This research method using a normative juridical approach to law (Statute Approach). Primary legal materials, secondary, and tertiary obtained by the author will be analyzed using analytical techniques interpretation of the law, namely: Content Analysis, which is used as a reference in resolving legal issues that become the object of study.        From the research results to the above method, the authors obtain answers to existing problems that the implementation case abuse accordance with the principles of opportunity in Article 35 letter c of Law Number 16 of 2004 on the Prosecutor of the Republic of Indonesia is still relatively small only be carried out by the Attorney General as the head chief prosecutor Court of the Republic of Indonesia in excluding criminal cases, and the closure of the case can be implemented by all prosecutors as the public prosecutor (prosecutor) without a process of public interest but can only be enforced closure of the case in the interest of law-related problems that menyangkat communities concerned in criminal cases.
KAJIAN YURIDIS PP NO 4 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PEMULIHAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Hendrawati, Heni; Susila, Agna
Varia Justicia Vol 13 No 2 (2017): Vol 13 No. 2 Oktober 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (178.225 KB) | DOI: 10.31603/variajusticia.v13i2.1885

Abstract

Perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga khususnya istri maupun anak, diperlukan juga suatu pemulihan korban yang mengalami suatu penderitaan baik itu secara kekerasan fisik, psikis, seksual, maupun penelantaran rumah tangga. Maka disusunlah PP No.4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Mengingat banyaknya kasus yang terjadi terhadap kekerasan dalam rumah tangga pada saat ini dan juga kejamnya tindakan yang dilakukan terhadap korban, maka kepentingan korban sangat perlu diperhatikan. Berdasarkan PP No 4 Tahun 2006 Penyelenggaraan pemulihan korban dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan pemerintah daerah serta lembaga sosial sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing, termasuk menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk pemulihan korban. Penyelenggaran pemulihan korban merupakan tindakan yang meliputi pelayanan dan pendampingan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga. Pendampingan dapat diberikan berupa konseling, terapi psikologis, advokasi dan bimbingan rohani, guna menguatkan diri korban untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.