Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA BAGI PELAKU KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP PEREMPUAN Vience Ratna Multiwijaya; Ermania Widjajanti; Rini Purwaningsih
Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum Vol. 4 No. 2 (2022): Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (206.028 KB) | DOI: 10.25105/hpph.v4i2.14774

Abstract

Kekerasan seksual merupakan tindak pidana yang sering terjadi pada wanita dan anak dansudah menjadi permasalahan global. Banyaknya kekerasan terhadap perempuan ini telahmendorong negara untuk mensahkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 Tentang TindakPidana Kekerasan Seksual. Terjadinya kekerasan seksual dapat mengakibatkan korbanmengalami penderitaan fisik, mental, seksual, ekonomi serta sosial yang berkepanjangan. Olehkarenanya, isu yang diangkat adalah Bagaimana Kebijakan Hukum Pidana Terhadap PelakuKekerasan Seksual terhadap perempuan ? Penelitian ini merupakan tipe penelitian normatifdengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Data sekunder sebagai data utama, yangterdiri bahan hukum primer berupa peraturan perundangan-undangan yaitu Undang-UndangNo. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Kitab Undang-Undang HukumPidana (KUHP), RUU-KUHP serta Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang PenghapusanKekerasan Dalam Rumah Tangga dan bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku sertajurnal dan artikel tentang kekerasan seksual terhadap perempuanSeluruh data dianalisis secarakualitatif. Kebijakan hukum pidana terhadap pelaku mengenai tindak pidana kekerasan seksualkhususnya pada perempuan sebenarnya sudah diatur dalam beberapa peraturan, seperti KUHP,RUU KUHP, UU No. 23 tahun 2004. Namun secara khusus pengaturan dalam ketentuan UUNo. 12 tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Resensi Buku Pendekatan Baru dalam Kriminologi Ermania Widjajanti
Jurnal Hukum PRIORIS Vol. 2 No. 2 (2009): Jurnal Hukum Prioris Volume 2 Nomor 2 Tahun 2009
Publisher : Faculty of Law, Trisakti University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (949.501 KB) | DOI: 10.25105/prio.v2i2.330

Abstract

Judul Buku: Pendekatan Baru dalam KriminologiPenulis: Koesriani SiswosubrotoPenerbit: Universitas Trisakti, Jakarta, IndonesiaTahun Terbit: Maret, 2009ISBN: 978-979-26-8938-9 
PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN DENGAN ANAK YANG DILAKUKAN LEBIH DARI SATU KALI (STUDI PUTUSAN NOMOR 109/PID.SUS/2017/PN.AGM) Muhamad Amin Faiz; Ermania Widjajanti
Reformasi Hukum Trisakti Vol. 1 No. 1 (2019): Reformasi Hukum Trisakti
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (314.453 KB) | DOI: 10.25105/refor.v1i1.10457

Abstract

Tindak Pidana persetubuhan terhadap Anak merupakan perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa, dalam hal terdakwa melakukan persetubuhan terhadap Fitri Nanda Sari yang berusia 17 tahun lebih dari satu kali. Berdasarkan Putusan Nomor 109/Pid.Sus/2017/PN.Agm. Pokok permasalahan pada skripsi ini adalah, 1. Apakah perbuatan pelaku telah memenuhi unsur-unsur Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Jo Pasal 64 KUHP? serta 2. Bagaimana penjatuhan sanksi pidana dalam kasus putusan Nomor 109/Pid.Sus/2017/PN.Agm?. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridisnormatif, sifat penelitian adalah deskriptif-analisis, pengumpulan data dengan metode kualitatif dan penarikan kesimpulan dengan logika deduktif. Setelah dilakukannya penelitian maka diperoleh kesimpulan yaitu: 1. Perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yaitu unsur setiap orang, dengan sengaja,melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak dan melakukan persetubuhan dengannya  dan 2. Penjatuhan sanksi pidana seharusnya sesuai dengan Pasal 64 KUHP karena terdakwa telah melakukan Concursus yaitu berupa perbuatan berlanjut dan pidana yang seharusnya diterapkan adalah pidana pokok yang paling berat yaitu 15 tahun penjara dan denda. Hasil penelitian dalam hal ini terdakwa seharusnya dikenakan Pasal  Pasal 81 Ayat (2) Jo 76D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 KUHP.
TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PENGANIAYAAN YANG DIKENAKAN PASAL 170 AYAT (2) KE 2 DAN 3 KUHP (STUDI PUTUSAN NOMOR 526/PID.B/2018/ PN.DPK) Arief Baharsyah; Ermania Widjajanti
Reformasi Hukum Trisakti Vol. 2 No. 1 (2020): Reformasi Hukum Trisakti
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (223.205 KB) | DOI: 10.25105/refor.v2i1.10458

Abstract

Tindak pidana penganiayaan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara  sehingga seringkali dalam pembuktian unsur-unsurnya digunakan pasal kekerasan secara bersama-sama karena antara pengroyokan dengan kekerasan perbuatannya agak sulit untuk dibedakan. Seperti  halnya dalam kasus yang diangkat penulis terhadap pelaku dengan terdakwa Bagoes Alamsyah Putra Umasugi Als Bagus Bin Hidayat Umasugi yang melakukan penganiayaan terhadap korban Darma Aji dan korban Nicolaus Boyvianus Kego Moi yang dibuktikan dengan tindak pidana kekerasan secara bersama-sama. Permasalahan yang diangkat adalah 1) apakah perbuatan pelaku memenuhi unsur Pasal 170 ayat (2) ke 2 dan ke 3 KUHP ? dan 2) bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 526/Pid.B/2018/PN.DPK ?. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analisis dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh melakukan studi kepustakaan dan dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Penjatuhan sanksi pidana yang diberikan kepada terdakwa dengan menggunakan ketentuan Pasal 170 ayat (2) ke 3 dan ke 4 KUHP adalah kurang tepat dan analisis pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 526/Pid.B/2018/PN.DPK Majelis hakim dalam menjatuhkan putusannya menggunakan teori pertimbangan hakim antara lain  teori keseimbangan, teori pendekatan seni dan intuisi, teori pendekatan keilmuan, teori pendekatan pengalaman dan teori pendekatan Ratio Decidendi.
TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN DIPUTUS BERDASARKAN PASAL 362 KUHP (STUDI PUTUSAN NOMOR: 13/PID.B/2019/PN.TJP) Dewo Wapa Soembogo; Ermania Widjajanti
Reformasi Hukum Trisakti Vol. 2 No. 1 (2020): Reformasi Hukum Trisakti
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (251.613 KB) | DOI: 10.25105/refor.v2i1.10459

Abstract

Tindak pidana pencurian dengan pemberatan diputus berdasarkan Pasal 362 KUHP hal itu merupakan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa Tumiran Pgl Miran kepada korban Andrima Pgl An dengan terlebih dahulu melakukan pencurian pada waktu malam hari dengan cara mendobrak sehingga kunci gembok tersebut terbuka dan terdakwa langsung mengambil 1 (satu) buah pompa air beserta 1 (satu) selang air sepanjang 30 meter dan mengangkat barang barang tersebut keatas motornya dan menjualnya kepada saksi Asman Pgl Uwa. P ermasalahan dalam skripsi ini adalah 1. Apakah perbuatan pelaku sudah memenuhi unsur-unsur Pasal 362 KUHP? 2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor: 13/Pid.B/2019/PN.Tjp? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, bersifat deskriptif analitis. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan, dan menggunakan analisa kualitatif dan penarikan kesimpulan secara deduktif. Analisa dari penelitian ini 1.  Perbuatan pelaku tidak memenuhi unsur-unsur berdasarkan Pasal 362 KUHP, 2. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan Pencurian Dengan Pemberatan yang diputus berdasarkan Pasal 362 KUHP adalah Teori Pendekatan Keilmuan yaitu pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusanputusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim, dan Teori Ratio Decidendi yaitu didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara. Hasil penelitian ini bahwa perbuatan terdakwa sesuai dengan rumusan Pasal 363 Ayat (1) Ke-3, dan 5.
ANALISIS YURIDIS PENGENAAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN PADA MALAM HARI (STUDI PUTUSAN NOMOR: 2682/PID.B/ 2018/PN.TNG). Irfan Maulana; Ermania Widjajanti
Reformasi Hukum Trisakti Vol. 2 No. 1 (2020): Reformasi Hukum Trisakti
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (240.416 KB) | DOI: 10.25105/refor.v2i1.10460

Abstract

Tindak pidana pencurian yang dilakukan pada malam hari oleh terdakwa Muhamad Safei Als Asep Bin Kusnadi dilakukan dengan cara membuka pintu pagar besi rumah korban usep heruyono. Akibat tindak pidana pencurian tersebut korban menderita kerugian sebuah sepeda motor merk Honda Beat. Kasus ini telah diputus oleh PN.TNG dengan Nomor Putusan 2682/Pid.B/2018/PN.TNG. Permasalahan dalam skripsi  ini adalah apakah perbuatan pelaku memenuhi unsur-unsur Pasal 362 KUHP dan apakah pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan telah sesuai dengan teori hukum. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, bersifat deskriptif analitis. Data yang digunakan yaitu data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan, dan menggunakan analisa kualitatif serta penarikan kesimpulan secara deduktif. Kesimpulan dari penelitian ini Perbuatan pelaku telah memenuhi unsur-unsur Pasal 362 KUHP , namun menurut penulis kepada terdakwa, seharusnya dikenakan Pasal 363 ayat (1) ke-3 KUHP. hal ini dikarenakan tindak pidana pencurian tersebut dilakukan pada malam hari. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana pencurian ini berdasarkan Teori Pendekatan Keilmuan yaitu pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim, dan Teori Ratio Decidendi yaitu didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara.
ANALISIS YURIDIS PENETAPAN TERSANGKA DALAM PRAPERADILAN (STUDI PUTUSAN PN TENGGARONG NOMOR: 2/PID.PRAP/2017/PN.TRG) Muhammad Fajar Wasitomo; Ermania Widjajanti
Reformasi Hukum Trisakti Vol. 2 No. 1 (2020): Reformasi Hukum Trisakti
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (265.144 KB) | DOI: 10.25105/refor.v2i1.10461

Abstract

Praperadilan merupakan kewenangan PN untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan Pasal 1 butir 10 KUHAP. Alasan pengajuan Praperadilan adalah untuk memeriksa dan memutus tentang; sah tidaknya penangkapan penahanan; sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; serta ganti rugi atau rehabilitasi. Dalam Putusan Praperadilan PN Tenggarong nomor: 2/Pid.Prap/2017/PN Trg, alasan pemohon mengajukan permohonan Praperadilan mengenai penetapan tersangka berdasar Pasal 77 KUHAP jo putusan MK nomor: 21/PUU-XII/2014. Permasalahan dalam skripsi ini; Apakah jangka waktu pemeriksaan dalam Praperadilan telah sesuai dengan Pasal 82 ayat (1) huruf c?; Apakah pertimbangan hakim yang menyatakan tindakan termohon yang menetapkan pemohon sebagai tersangka adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum. (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tenggarong Nomor: 2/Pid.Prap/2017/PN Trg)? Metode yang digunakan dalam penelitian yaitu yuridisnormatif, penelitian ini bersifat deskriptif terhadap jangka waktu dan pertimbangan hakim. Analisis dilakukan secara kualitatif, dan cara menarik kesimpulannya dilakukan dengan deduktif. Kesimpulan penelitian ini, pemeriksaan Praperadilan diberi waktu selambat lambatnya tujuh hari sampai penjatuhan putusan Praperadilan. Pertimbangan hakim tidak sesuai dengan Pasal 1 butir 14 KUHAP jo Putusan MK nomor; 21/PUU-XII/2014, dapat dikatakan putusan Praperadilan Nomor: 2/Pid.Prap/2017/PN Trg adalah cacat formil karena bertentangan dengan aturan hukum.
PERBANDINGAN PENGATURAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM PASAL 285 KUHP INDONESIA DENGAN PASAL 242 KUHP BELANDA (CRIMINAL CODE OF KINGDOM OF NETHERLANDS) Joan Rossy Rumbiak; Ermania Widjajanti
Reformasi Hukum Trisakti Vol. 2 No. 2 (2020): Reformasi Hukum Trisakti
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (305.939 KB) | DOI: 10.25105/refor.v2i2.10462

Abstract

Tindak Pidana Perkosaan adalah kejahatan seksual yang diatur dalam Pasal 285 KUHP Indonesia dan KUHP yang berlaku saat ini adalah KUHP yang diadaptasi dari KUHP Belanda. KUHP Belanda sendiri telah mengalami perubahan terutama pada Pasal 242 tentang perkosaan. Berdasarkan hal tersebut penulis akan membandingkan pengaturan perkosaan antara KUHP Indonesia dan Belanda. Permasalahannya adalah bagaimana persamaan antara Pasal perkosaan dalam KUHP Indonesia dan Belanda dan Bagaimana perbedaan Pasal Perkosaan yang diatur dalam KUHP Indonesia dan KUHP Belanda. Metode penelitiannya adalah penelitian hukum normatif, dengan sifat penelitian deskriptif dan analisis data secara kualitatif serta cara penarikan kesimpulan secara deduktif. Analisa permasalahan pertama adalah mengenai persamaan, bahwa dalam kedua Pasal persamaannya yaitu diatur dalam bab mengenai kejahatan seksual dan ada unsur pemaksaan. Analisa permasalahan kedua adalah mengenai perbedaannya yaitu, (1) Pelaku, dalam KUHP Indonesia pelaku selalu laki-laki, berbeda dengan KUHP Belanda Pelaku bisa dari laki-laki dan Perempuan, (2) Korban, dalam KUHP Indonesia korban adalah perempuan, berbeda dengan KUHP Belanda korban bisa laki-laki dan Perempuan, (3) status antara koban dan pelaku yang dalam KUHP Indonesia disebutkan dengan jelas bahwa tidak ada ikatan perkawinan sedangkan KUHP Belanda tidak menyebutkan sama sekali, dan (4) mengenai sanksi, dalam KUHP Indonesia tidak mengatur mengenai denda sedangkan KUHP Belanda dikenakan juga denda yang diatur menggunakan kategori yang berbeda-beda.
PEMBERATAN SANKSI KEPADA PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK DENGAN KEKERASAN (STUDI KASUS PUTUSAN NO.10/PID.SUS/2019/PN.MRJ). Muchamad Feisal Abduh; Ermania Widjajanti
Reformasi Hukum Trisakti Vol. 2 No. 2 (2020): Reformasi Hukum Trisakti
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (241.066 KB) | DOI: 10.25105/refor.v2i2.10463

Abstract

Anak merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang diharapkan oleh negara dapat menjadi penerus bangsa bagi kelangsungan suatu bangsanya. Sehingga diperlukan perlindungan terhadap anak dari perbuatan kekerasan baik fisik maupun seksual. Oleh karena itu pemerintah sebagai pihak yang membuat Undang – undang harus lebih serius dalam memberikan sanksi pidana kepada pelaku tindak pidana kekerasan seksual khususnya tindak pidana persetubuhan terhadap anak untuk memberikan efek jera terhadap pelaku. Dengan studi kasus adapun pokok permasalahan ini yaitu :1. Apakah perbuatan terdakwa telah memenuhi dengan unsur dalam Pasal 81 Ayat (2) Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang perlindungan Anak ?. 2.Bagaimana penjatuhan sanksi kepada pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak denga kekerasan dalam kasus (studi putusan No.10/Pid.Sus/2019/PN.Mrj)? Metode penelitian yang digunakan terdiri dari objek penelitian adalah putusan, tipe penelitian yaitu penelitian yuridis normatif, sifat penelitian yaitu deskriptif analitis, data yang digunakan adalah data sekunder dengan cara pengumpulan data melalui studi kepustakaan. Analisis data yaitu metode kualitatif, dan penarikan kesimpulan dengan menggunakan logika deduktif. Kesimpulan 1) perbuatan terdakwa tidak memenuhi unsur – unsur Pasal 81 Ayat (2) Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak. 2) menurut penulis dalam penjatuhan sanksi pidana seharusnya hakim mempertimbangkan teori pemidanaan kontemporer dan pemberat pidana dalam Pasal 81 Undang – Undang Nomor 17 tahun 2016 Tentang perlindungan Anak untuk memberikan suatu efek jera kepada terdakwa agar tidak mengulangi perbuatannya lagi karena berdasarkan kasus, hakim hanya memberikan pidana pokok saja tanpa mempertimbangkan pemberat pidana dalam Pasal 81 Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlidungan Anak
Memerangi pencucian uang pejabat korup dengan melakukan perampasan aset dan pembuktian terbalik dalam pembaharuan hukum Agus Sugiyatmo; Ermania Widjajanti
Journal of Law, Administration, and Social Science Vol 4 No 6 (2024)
Publisher : PT WIM Solusi Prima

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54957/jolas.v4i6.953

Abstract

Pencucian uang yang melibatkan pejabat korup menjadi salah satu tantangan utama dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam upaya memerangi praktik ini, strategi yang efektif dan komprehensif diperlukan. Artikel ini mengeksplorasi pendekatan perampasan aset dan pembuktian terbalik sebagai bagian dari pembaruan hukum untuk mengatasi pencucian uang yang dilakukan oleh pejabat korup. Konsep perampasan aset sebagai mekanisme untuk menghilangkan insentif keuangan bagi pejabat yang terlibat dalam tindak pidana korupsi. Teori pembuktian dan legal studi, khususnya konsep praduga tak bersalah, digunakan sebagai landasan untuk mengevaluasi efektivitas dan keadilan dari pendekatan ini. Menganalisis teori-teori pembuktian dan legal studi yang relevan untuk memahami kerangka konseptual yang mendasari perampasan aset dan pembuktian terbalik. Melalui analisis teoritis dan studi kasus, Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan pendekatan konseptual dan peraturan. Dengan menyoroti sejumlah tantangan dalam implementasi perampasan aset dan pembuktian terbalik, termasuk keterbatasan hukum, kendala bukti, perlindungan hak asasi manusia, serta korupsi dalam penegak hukum. Namun demikian, penelitian ini juga menunjukkan potensi besar dari kedua pendekatan ini dalam memberantas pencucian uang pejabat korup jika didukung oleh pembaruan hukum yang tepat dan penguatan kapasitas institusi penegak hukum.